18 Juli 2017

Epidemi AIDS, Akankah Indonesia Bisa Jadi “Afrika Kedua”?

                                               Ilustrasi (Sumber: www.avert.org)

Oleh: Syaiful W. HARAHAP

Pada dekade pertengahan epidemi HIV/AIDS secara global Afrika dihadapkan pada kenyataan penularan HIV yang membuat benua itu jadi ‘sarang’ HIV/AIDS. Dari 36,7 juta warga dunia yang hidup dengan HIV/AIDS pada tahun 2015 dilaporkan 25,5 juta berada di Afrika (www.avert.org).

Bukan hanya itu banyak desa tanpa penduduk. Pertanian dan pertambangan pun berhenti. Berkat uluran tangan penderma dan organisasi internasional epidemi HIV di Afrika mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal tahun 2000-an. Sebaliknya, di Asia Pasifik kasus baru terus terdeteksi pada kalangan dewasa heteroseksual dan bayi. Sedangkan di Afrika kasus baru justru terdeteksi pada bayi karena orang tua mereka mengidap HIV/AIDS.

Fenomena Gunung Es

Di Asia ada tiga negara dengan percepatan infeksi HIV baru yaitu India, Cina dan Indonesia. Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017, menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/ADS secara nasional sejak tahun 1987 sd. Maret 2017 berjumlah 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS dengan 14,754 kematian.

Jumlah kasus yang dilaporkan Ditjen P2M, Kemenkes RI, setiap tiga bulan hanyalah kasus yang ditangani sarana kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di klinik-klinik dan rumah sakit swasta serta dokter praktek bisa jadi tidak dilaporkan atas permintaan pasien.



Maka, kasus yang dilaporkan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi atau yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Persoalannya jadi masalah besar karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat terutama melalaui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom.

Secara faktual penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dibalut dengan norma, moral dan agama dan dilakukan di hilir.

Pertama, membalut informasi HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan perilaku seksual di luar nikah. Ini jelas ngawur karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan akrena sifat hubungan seksual (zina, di luar nikah, pranikah, melacur, selingkuh, homoseksual,seks anal, seks abnormal, dll.) tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama).



Penanggulangan di Hilir

Kedua, terjadi penyangkalan karena disebut-sebut sebagai bangsa yang beradab, berbudaya dan beragama sehingga tidak ada celah masuk HIV/AIDS. Penularan HIV tidak selalu terkait dengan hubungan seksual yang melawan norma, moral dan agama. Hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam nikah pun ada risiko penularan HIV karena bisa saja terjadi salah satu dari pasangan yang pernah melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS. Seperti perilaku kawin-cerai atau mempunyai passangan lebih dari satu karena bisa saja salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS.

Ketiga, penanggulangan yang dilancarkan pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota, dilakukan di hilir. Ini penanggulangan pasif karena menunggu orang sakit datang berobat ke sarana kesehatan kemudian ada gejala terkait HIV dan perilaku pasien terkait dengan risiko penularan HIV selanjutnya dirujuk untuk tes HIV. Itu artinya orang-orang dibiarkan tertular HIV baru dites dan ditangani secara medis.

Tes HIV bagi ibu-ibu rumah tangga yang hamil pun adalah penanggulangan di hilir karena sudah terjadi penularan. Yang lebih celaka ada suami yang menolak tes HIV ketika istrinya terdeteksi mengidap HIV/AIDS, bahkan menuduh istrinya selingkuh. Beberapa kasus di Klinik VCT RSUD Dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten, menunjukkan suami-suami meninggalkan istri dan anak-anaknya ketika istrinya terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Maka, suami-suami itu pun jadi mata rantai penyebar HIV/AIDS.

Adalah hal yang mustahil menghentikan penyebaran HIV/AIDS karena banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya karena tidak ada tanda-tanda, ciri=ciri dan gejala-gejala fisik dan kesehatan yang khas AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Disseminasi Informasi

Yang bisa dilakukan secara konkret dan realistis di hulu adalah menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Intervensi dilakukan melalui regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung. Cara ini sudah terbukti berhasil di Thailang dengan program “wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dengan indikator penurunan kasus HIV/AIDS pada calon taruna militer.

Yang perlu diingat yang bisa dijangkau hanya PSK langsung karena kasat mata, sedangkan PSK tidak langsung tidak kasat mata.

(1) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.



Celakanya, praktek PSK langsung sudah tidak ada yang ‘resmi’ yaitu yang ditangani oleh instansi pemerintah melalui regulasi seperti di masa Orde Baru yang membina PSK langsung melalui program resosialisasi dan rehabilitasi. Biar pun sekarang tidak ada lagi praktek pelacuran yang dilokalisir itu tidak jaminan di daerah tsb. tidak ada praktek pelacuran. Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus dan akan terus terjadi baik melalui seks tidak aman dengan PSK langsung maupun dengan PSK tidak langsung.

Survei yang dilakukan Kemenkes Ri sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta laki-laki yang menjadi pelanggan 230.000 PSK langsung. Dari jumlah 6,7 juta itu ada 4,9 juta yang beristri (antarabali.com, 9/4-2013). Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian dalam laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal ... dari tahun 1987-Maret 2017 kasus AIDS paling banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga yaitu sebesar 12.302 dari 87.453 atau sebesar 14,07 persen.

Maka, untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui PSK langsung pun tidak bisa dilakukan karena transaski seks tidak dilokalisir. Begitu juga dengan PSK tidak langsung jelas tidak bisa dilakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Disseminasi informasi HIV/AIDS yang komprehensif sangat jarang dilakukan melalui media massa dan media online. Celakanya, banyak pengelola media, redaktur dan wartawan, yang memakai ‘baju moral’ ketika menulis berita HIV/AIDS yaitu dengan balutan moral. Berita pun tidak mencerahkan karena informasi yang disampaikan mengandung mitos.

                                             Ilustrasi (Sumber: Women’s Health Encyclopedia)

Untuk itulah pemerintah perlu membentuk badan independen untuk menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang komprehensif agar masyarakat menangkap fakta bukan mitos. Keberhasilan Thailand menannggulangi HIV/AIDS langkah pertama dari lima langkah adalah disseminasi informasi HIV/AIDS melalui media dengan skala nasional secara bersamaan (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).

Karena pemerintah tidak bisa melakukan intervensi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, maka pilihan lain adalah menyebarkan informasi HIV/AIDS yang komprehensif dengan skala nasional dan simultan. Tanpa langkah-langkah konkret bisa jadi Indonesia akan menjelma sebagai “Afrika Kedua”. * (Discalimer: yang tepat adalah epidemi HIV karena yang menular HIV bukan AIDS, dipakai judul AIDS agar cepat dipahami karena banyak orang yang lebih akrab dengan istilah AIDS dari HIV).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.