Oleh:
Syaiful W Harahap
[Sumber: Harian “Pontianak Post”, 2 Desember 2003]
Dengan
472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS), Jawa Timur berada pada
peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasusyang
sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup denganAIDS)
menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS.
Melalui
Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agartidak
melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi(mengasingkan,
mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidupdengan AIDS (Odha)
karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasidan diskriminasi pun
merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hakasasi manusia (HAM).
Selama
ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja seks.Yang
tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standarprosedur tes HIV
yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataankesediaan, asas
anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukanseakan-akan sebagai cara
menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seksyang terdeteksi HIV positif
akan ‘diawasi’.
Perlakuan
itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehinggaada
kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV ‘menyembunyikan’ diri dimasyarakat.
Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat penting untuk mendorongorang tersebut
agar tidak berperilaku berisiko.
Perilaku Berisiko
Mengawasi
pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya.Yang lebih
‘berbahaya’ justru laki-laki yang melakukan hubungan seksualtidak aman dengan
pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jikaada laki-laki yang
tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIVke masyarakat. Dia
akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinyatertular, ada pula risiko
penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutamapada saat persalinan dan
menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkandi Surabaya umumnya
terdeteksi di kalangan pekerja seks.
Jadi,
ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidakmemakai
kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidakmenyadari
dirinya tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak adapula
gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudahmencapai
masa AIDS (5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belummencapai masa
AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIVmelalui cara-cara
yang sangat spesifik.
Sebagai
virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidakaman (tak
memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2)transfusi
darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayiyang
dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.Karena tidak ada
gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yangdiperlukan ialah
kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakahdirinya berperilaku
berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya”ya”, orang tersebut
berisiko tertular HIV.
Perilaku
berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks(sanggama) yang
tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikahdengan pasangan
yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama)yang tidak aman
(tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah denganseseorang yang suka
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3)menerima transfusi darah yang
tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama
dengan bergiliran dan bergantian.Materi KIE.
Setiap orang dapat melindungi diri
sendiri dengan aktif agar tidak tertularHIV, yaitu dengan menghindari perilaku
berisiko. Tapi, hal itu tidak mudahkarena selama ini informasi tentang HIV/AIDS
tidak akurat. Materi KIE(komunikasi, informasi, edukasi) selalu dibalut dengan
moral dan agamasehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang
HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah,
‘seks bebas’ (istilah ini rancu), seks menyimpang, pelacuran, dll.
Padahal,
tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar
nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual
yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di
luar nikah.
Informasi
yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak
yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di
luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan ‘anak sekolah’.
Kalau
hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yangberganti-ganti,
baik ‘anak sekolah’, ‘orang baik-baik’, dll, tetap berisikotertular HIV.
Soalnya, bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yangHIV positif.
Ketika
epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatanmasyarakat,
langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE
yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat
adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Selain itu, ada anjuran
agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV
sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui
status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak
kompromi agar tidak menulari orang lain.
Selain
itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obat
antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah)
sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik.
(Syaiful
W. Harahap, direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta yang bergerak dalam
bidang selisik media/media watch berita HIV/AIDS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.