14 Juli 2017

Diskriminasi terhadap Pengidap HIV

Oleh: Syaiful W Harahap
[Sumber: Harian “Pontianak Post”, 2 Desember 2003]

Dengan 472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS), Jawa Timur berada pada peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasusyang sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup denganAIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agartidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi(mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidupdengan AIDS (Odha) karena akan memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasidan diskriminasi pun merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hakasasi manusia (HAM).

Selama ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja seks.Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standarprosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataankesediaan, asas anonimitas, dan konfidensialitas). Hal ini dilakukanseakan-akan sebagai cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seksyang terdeteksi HIV positif akan ‘diawasi’.

Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehinggaada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV ‘menyembunyikan’ diri dimasyarakat. Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat penting untuk mendorongorang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.

Perilaku Berisiko

Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya.Yang lebih ‘berbahaya’ justru laki-laki yang melakukan hubungan seksualtidak aman dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jikaada laki-laki yang tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIVke masyarakat. Dia akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinyatertular, ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutamapada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkandi Surabaya umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Jadi, ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidakmemakai kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidakmenyadari dirinya tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak adapula gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudahmencapai masa AIDS (5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belummencapai masa AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIVmelalui cara-cara yang sangat spesifik.

Sebagai virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidakaman (tak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2)transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayiyang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yangdiperlukan ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakahdirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya”ya”, orang tersebut berisiko tertular HIV.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks(sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikahdengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama)yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah denganseseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3)menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.Materi KIE.

Setiap orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertularHIV, yaitu dengan menghindari perilaku berisiko. Tapi, hal itu tidak mudahkarena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE(komunikasi, informasi, edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agamasehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah, ‘seks bebas’ (istilah ini rancu), seks menyimpang, pelacuran, dll.

Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di luar nikah.

Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan ‘anak sekolah’.

Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yangberganti-ganti, baik ‘anak sekolah’, ‘orang baik-baik’, dll, tetap berisikotertular HIV. Soalnya, bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yangHIV positif.

Ketika epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatanmasyarakat, langkah yang perlu ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Selain itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain.

Selain itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik.

(Syaiful W. Harahap, direktur Eksekutif LSM “InfoKespro” Jakarta yang bergerak dalam bidang selisik media/media watch berita HIV/AIDS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.