Oleh: Syaiful
W. Harahap
[Sumber: Newsletter ”infoAIDS”
edisi No. 4/Februari 2009]
Sejak angin reformasi bertiup di
negeri ini tidak ada lagi batasan untuk membicara politik secara terbuka.
Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu)
legislatif semua stasiun televisi nasional berlomba-lomba menyelenggarakan
debat publik dan politik.
Debat
calon pasangan gubernur, bupati, dan walikota di dua stasiun televisi nasional
(MetroTV dan TVOne) dengan pendudukung yang
’fanatik’ berapi-api membicarakan soal politik dan ekonomi. Begitu pula dengan
debat antar kandidiat anggota legislatif dan partai terus digelar di
stasiun-stasiun televisi nasional.
Tapi,
ada satu persoalan besar yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara
ini yang luput dari debat calon pemimpin dan partai-partai itu. Fakta yang
luput dari materi perdebatan adalah epidemi HIV/AIDS sebagai realias
sosial yang sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Peringatan Dini
Data
yang dipublikasikan oleh Ditjen PPM&PL, Depkes RI, sampai 31 Desember
2008, misalnya, kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sudah
mencapai 22.664 yang terdiri atas 6.554 HIV dan 16.110 AIDS dengan
3.362 kematian. Angka ini merupakan puncak dari ‘fenomena gunung es’
sehingga tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Kalangan ahli
memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000.
Pada
April 2008 tercatat 8.145 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sudah memakai
obat antiretroviral (ARV). Angka ini juga tidak nyata karena banyak orang yang
tidak menyadari penyakit yang dideritanya terkait dengan HIV/AIDS. Celakanya,
ada pula kemungkinan diagnosis medis tidak mendeteksi HIV sebagai pemicu
penyakit yang diderita pasien. Yang lain memilih pengobatan alternatif.
Jika
kelak penduduk di daerah calon gubernur, bupati atau walikota yang berdebat itu
sudah banyak tertular HIV, yang pada gilirannya akan mencapai masa AIDS dan
kemudian meninggal, lalu siapa yang akan mereka pimpin? Atau, mereka akan
memimpin daerah yang sebagian besar penduduknya tidak berdaya lagi karena harus
dirawat di rumah sakit akibat infeksi-infeksi oportunistik.
Jika
hal itu terjadi maka roda perekonomian pun akan lumpuh. Bahkan, akan ada desa
yang hilang karena penduduknya meninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Ini
sudah terjadi di Afrika. Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif
UNAIDS (badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS), sudah mengingatkan Indonesia
agar serius menangani epidemi HIV, terutama di kalangan penyalahguna narkoba
dengan suntikan (Syaiful W. Harahap:
AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Suara Pembaruan, 6
Oktober 2001).
Tapi, peringatan itu bak ‘anjing
menggonggong kafilah berlalu’. Tidak ada upaya nyata menanggapi peringatan
Peter Piot itu. Akibatnya, kasus HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba
dengan suntikan meroket. Kalau di tahun 2001 dilaporkan 415 kasus HIV/AIDS di
kalangan penyalahguna narkoba, pada 31 Desember 2008 kasus AIDS
dilaporkan sudah mencapai 6.811.
Jauh
sebelum peringatan Dr Peter Piot seorang psikolog, David Gordon, konsultan
penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) di Yakita, Bogor,
mengatakan “Penyalahguna zat dengan memakai jarum suntik akan menjadi bom waktu
(ledakan kasus HIV/AIDS-pen.) bagi Indonesia.” (Syaiful W. Harahap: IDU Bom Waktu bagi Indoensia, Newsletter “HindarAIDS”,
Nomor 8/ 2 November 1998).
Selama
ini pemeritah pusat dan pemerintah daerah bisa bernapas lega karena dana
penanggulangan HIV/AIDS didukung oleh donor asing. Sekitar 70 persen dana itu
berasal dari donor. Tahun 2007 dana yang tersedia hanya 50 juta dolar AS.
Jumlah ini sangat rendah sehingga penanggulangan HIV/AIDS di negeri pun hanya
bisa ‘jalan di tempat’, bahkan mundur.
Bahasa Dewa
Apakah
calon gubernur, bupati dan walikota serta caleg DPR, DPRD, dan DPD melihat
epidemi HIV dengan nalar? Ternyata tidak! Buktinya, dalam berbagai debat dan
diskusi publik masalah HIV/AIDS tidak pernah disinggung.
Rupanya,
mereka tidak membayangkan kalau kelak dana APBN atau APBD akan terkuras
habis untuk mengobati penduduk yang mengidap infeksi-infeksi oportunistik
ketika infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS. Penduduk yang anggota keluarganya
Odha (orang dengan HIV/AIDS) pun tidak lagi produktif bekerja. Sawah dan ladang
ditinggalkan karena mengurus anggota keluarga yang sakit. Tabungan terkuras
habis. Jumlah penerima BLT membengkak karena kian banyak penduduk yang miskin.
Sedangkan
pendapatan, terutama dari pajak, akan merosot tajam karena banyak penduduk
sebagai subjek pajak tidak bekerja lagi sehingga penghasilannya tidak
memenuhi objek pajak. Begitu pula dengan pajak perusahaan juga akan menurun
karena (akan) banyak perusahaan yang tutup. Zakat harta pun tentu akan
berkurang karena pemilihan harga kian menciut sehingga tidak memenuhi nisab
(jumlah yang diwajibkan untuk membayar zakat).
Akankah kondisi seperti itu, yang
sekarang sudah terjadi di Afrika, terjadi dulu di Indonesia baru debat politik
dan publik membicarakan soal cara dan langkah konkret yang akan diambil calon
menanggulangi HIV/AIDS jika mereka menang? Ya, kalau ini yang terjadi terlambat
sudah, Tuan-tuan!
Calon
Presiden dan Wakil Presiden, caleg DPRD, DPR dan DPD pun perlu diuji wawasannya
tentang cara-cara konkret yang realistif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Soalnya,
selama ini langkah yang ditempuh lebih banyak bersifat moral sehingga tidak
menyentuh akar persoalan penyebaran HIV yang merupakan fakta medis.
Hal
itu tampak jelas dalam peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS yang
sudah ditelurkan 18 derah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota. Perda ini
hasil kerja eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD). Tak satu pun
pasal dalam perda-perda itu yang mengatur upaya konkret pencegahan HIV. Semua
bahasa pada pasal-pasal pencegahan merupakan ‘bahasa dewa’ dengan baluatan
moral.
Padahal,
HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga upaya penanggulangannya dapat dilakukan
dengan teknologi kedokteran yang realistis. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.