Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP
LSM (media
watch) ”InfoKespro”
Debat partai politik, calon pasangan
gubernur, bupati, dan walikota di stasiun televisi nasional dengan
pendudukung yang ’fanatik’ berapi-api membicarakan politik dan ekonomi.
Tapi,
ada satu persoalan besar yang mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara
ini yang luput dari debat calon pemimpin itu. Fakta yang luput dari materi
perdebatan adalah epidemi HIV/AIDS yang sudah menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Indonesia sendiri dikategorikan sebagai negara yang paling cepat
pertambahan kasus HIV-nya di Asia.
Sampai
30 September 2008 Depkes melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sudah
mencapai 21.413 yang terdiri atas 6.277 HIV dan 15.136 AIDS dengan
3,197 kematian. Angka ini merupakan puncak dari fenomena ’gunung es’ sehingga
tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat. Kalangan ahli
memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000. Perkiaraan ini
lima tahun yang lalu.
Jika
kelak kian banyak penduduk di daerah calon pemimpin yang berdebat itu yang
tertular HIV, yang pada gilirannya akan mencapai masa AIDS dan kemudian
meninggal, lalu siapa yang akan dia pimpin? Atau, mereka akan memimpin daerah
yang sebagian besar penduduknya tidak berdaya lagi karena harus dirawat di
rumah sakit akibat infeksi-infeksi oportunistik.
Dana
APBD pun akan terkuras habis untuk mengobati penduduk yang sudah mencapai masa
AIDS. Penduduk yang anggota keluarganya Odha (orang dengan HIV/AIDS) pun tidak
lagi produktif bekerja. Sawah dan ladang ditinggalkan karena mengurus anggota
keluarga yang sakit. Tabungan terkuras habis. Jumlah penerima BLT membengkak
karena kian banyak penduduk yang miskin.
Sedangkan
pendapatan, terutama dari pajak, akan merosot tajam karena banyak penduduk yang
tidak bisa bekerja produktif lagi sehingga perusahaan pun banyak yang tutup.
Lagi-lagi dana APBN akan terkuras untuk menanggulangai HIV/AIDS. Selama ini
lebih dari 70 persen biaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dibantu oleh
donor asing. Ketika donor yang menalangi biaya pembelian obat antiretroviral
(ARV) akhir tahun lalu hengkang, misalnya, Indonesia kelabakan mencari dana.
Padahal, obat ini tidak boleh putus.
Hal
itu sudah dialami oleh Thailand. Di awal tahun 1990-an ahli-hali epidemilogi
sudah mengingatkan Negeri Gajah Putih itu tentang epidemi HIV. Tapi, sama
seperti Indonesia sekarang ketika itu penguasa di sana menampik dengan alasan
masyarakatnya berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi kemudian? Sepuluh tahun
kemudian kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari sektor
pariwisata hanya bisa memberikan kontribusi 2/3 untuk biaya penanggulangan
HIV/AIDS.
Thailand
beruntung karena penderita AIDS ditangani oleh bhiku di vihara. Apakah kelak
kalangan agamawan di Indoensia mau menampung penderita AIDS yang tidak mampu
membayar biaya rumah sakit?
Atau,
apakah kita harus menunggu dulu sampai kondisi di negeri ini seperti di
Thailand atau Afrika baru debat publik dan politik di televisi nasional mau
membicarakan soal cara dan langkah konkret menanggulangi HIV/AIDS di
Indonesia.?Ya, kalau ini yang terjadi terlambat sudah, Tuan-tuan!
Calon
anggota Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPRD, DPR dan DPD pun perlu diuji
wawasannya tentang cara-cara konkret yang realistis untuk menanggulangai
HIV/AIDS. Soalnya, selama ini langkah yang ditempuh lebih banyak bersifat moral
sehingga tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV yang merupakan fakta
medis.
Jakarta,
5 Januari 2009
Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/debat-di-televisi-menyepelekan-hivaids-3/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.