Tanggapan
terhadap dua berita di Harian “Pikiran
Rakyat” Bandung
Oleh: Syaiful W.
Harahap
LSM (media watch) “InfoKespro”
LSM (media watch) “InfoKespro”
Berita
“25 Warga Sumedang Positif Terjangkit HIV”
dan “Jangan-jangan Orang Baik pun Tertular”
yang dimuat di Harian “Pikiran Rakyat” edisi 24 Mei 2006 menunjukkan
pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat.
Pertama, dalam berita
tidak dijelaskan kapan dan siapa atau kalangan mana yang menjadi objek
survailans. Hal ini penting karena survailans dilakukan hanya untuk mendapatkan
prevalensi yaitu angka yang merupakan perbandingan antara yang HIV-positifi dan
HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula. Setiap
saat prevalensi bisa berubah.
Kedua, asas
survailans adalah anonim (tidak ada tanda atau kode pada contoh darah yang
dites) dan konfidensial (rahasia). Lagi pula tidak ada gunanya mengetahui
identitas pemilik darah yang terdeteksi HIV-positif pada survailans karena yang
diperlukan hanya prevalensi. Maka, pernyataan yang menyebutkan karena tidak
mengetahui identitas maka ” ….. pihaknya belum bisa langsung melakukan langkah
pembinaan … terhadap pengidap virus …. ” ngawur karena data itu adalah
hasil survailans. Lagi pula orang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa
AIDS tidak memerlukan penanganan medis.
Ketiga, hasil tes HIV
pada survailans tidak bisa dijadikan sebagai patokan yang menentukan seseorang
sudah HIV-positif karena hasil tes HIV pertama apa pun hasilnya harus
dikonfirmasi dengan tes lain. Maka, angka 25 itu kalau dites ulang belum tentu
hasilnya tetap 25 karena ada di antara hasil itu ada yang positif palsu.
Keempat, disebutkan ”
…. meninggal dunia karena AIDS ….”. Ini tidak akurat karena AIDS bukan penyakit
sehingga tidak mamatikan. Yang mamatikan adalah penyakit lain yang disebut
infeksi oportunistik.
Kelima, pananggulangan
dengan `melakukan survey khusus HIV’ merupakan langkah yang naïf karena tidak
mungkin melakukan survai kepada semua penduduk. Lagi pula mobilitas penduduk
antar kota, daerah dan negara sangat tinggi sehingga tidak mungkin tiap saat
dilakukan tes HIV karena setiap orang bisa saja tertular kapan saja dan di mana
saja kalau dia melalukan perilaku berisiko.
Keenam, disebutkan
pula ” …. diarahkan ke tempat-tempat yang dicurigai sebagai sumber penularan
dan dugaan ada orang terkena HIV” menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif
terhadap HIV/AIDS. HIV tidak bersarang di tempat tertentu. PSK pun terular HIV
dari laki-laki yang mengenceaninya. Maka, yang menjadi mata rantai adalah
laki-laki. Selama laki-laki yang menjadi mata rantai penyebaran HIV tidak terdeteksi
maka epidemi akan menjadi `bom waktu’.
Ketujuh, Orang yang
tertular HIV tidak hanya di lokalisasi. Siapa saja dan di mana saja tempat
tinggalnya bisa tertular HIV kalau dia melakukan perilaku yang berisiko
tertular HIV. Misalnya, melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di
luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan di daerah sendiri atau di luar daerah atau di
luar negeri.
Selama
materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan
moral dan agama maka selama itu pula masyarakat tidak akan menyadari cara-cara
pencegahan HIV yang realistis. Kalau ini yang terjadi maka ledakan HIV/AIDS
akan menjadi kenyataan dalam kehidupan kita. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.