Oleh:
Syaiful W. Harahap
[Sumber:
Harian ”Sinar Harapan”, 3 Agustus 2001]
”Big
jump in anonymous HIV tests in Singapore”. Judul berita di Harian The
Nation, Bangkok, edisi 16 April 2001 ini seakan-akan tidak ada kaitanya
dengan Indonesia karena berita itu berisi kabar tentang lonjakan permintaan tes
HIV sukarela di Singapura. Namun Anda pasti terkejut jika mengetahui tes itu
terkait dengan hubungan seks yang mereka lakukan dengan pekerja seks di Batam
dan tempat-tempat wisata lain di Provinsi Riau.
Sampai
akhir Maret 2001, kasus kumulatif HIV/AIDS di Batam mencapai 73 buah yang
terdiri dari 67 HIV dan sembilan AIDS (enam di antaranya sudah meninggal).
Sedangkan untuk Riau sampai 31 Mei 2001 tercatat 197 kasus HIV/AIDS yang
terdiri atas 183 HIV dan 14 AIDS (enam meninggal).
Angka
kasus HIV yang kecil di Batam itu bisa terjadi karena surveilans tes HIV yang
dilakukan tidak sistematis dan tidak konsisten. Sehingga angka yang muncul
tidak realistis. Surveilans hanya dilakukan secara sporadis terhadap pekerja
seks. Padahal surveilans tes yang sistematis diperlukan untuk mendapatkan angka
realistis karena epidemi HIV bagaikan fenomena gunung es (iceberg phenomenon).
Angka yang tercatat hanya bagian kecil dari angka yang tidak terdeteksi.
Tetapi,
biarpun angka kasus HIV di Batam rendah namun banyak pria penduduk Singapura
yang menjalani tes HIV sukarela karena merasa waswas terhadap kemungkinan
tertular HIV. Rupanya, mereka telah melakukan hubungan seks yang tidak aman
dengan para pekerja seks di Batam dan tempat-tempat wisata lain di Riau.
Sedangkan perempuan, khususnya ibu-ibu rumah tangga, merasa perlu menjalani tes
HIV sukarela karena mereka yakin suaminya pernah melakukan hubungan seks dengan
pasangan yang berganti-ganti di luar pernikahan mereka.
Jadi,
berita itu pun ternyata penting artinya bagi Indonesia, terutama penduduk
Batam, Pemko Batam, Badan Otorita Batam dan Pemprov. Riau. Karena dalam berita
itu disebutkan seorang penduduk Singapura yang HIV-positif mengaku pernah
melakukan hubungan seks (senggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom)
dengan pekerja seks di Batam. Pria lajang teknisi listrik berusia 30 tahun itu
dihukum 15 bulan kurungan karena dia berbohong tentang status HIV-nya ketika
menyumbangkan darahnya ke bank darah.
Mata Rantai Penyebaran
Sebagian
besar kasus HIV-positif yang berhasil dideteksi di Batam dari surveilans itu
adalah pekerja seks. Berarti sudah ada angka prevalensi HIV di kalangan pekerja
seks. Sehingga wajar jika warga Singapura merasa waswas tertular HIV setelah
mereka melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan pekerja seks di Batam dan
daerah tujuan wisata lain di Riau.
Tetapi,
bisa pula terjadi sebaliknya. Epidemi HIV di Batam justru dipicu dan didorong
oleh pendatang, baik dari daerah lain di Nusantara maupun wisatawan
mancanegara. Dalam kaitan ini Batam bisa menjadi “pintu masuk” epidemi HIV dan
PMS (penyakit-penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, dll.)
yang pada gilirannya akan menyebar ke seluruh Nusantara. Karena pekerja seks
yang terdeteksi HIV-positif melalui surveilans tes dipulangkan ke daerahnya.
Beberapa pekeja seks yang dipulangkan itu umumnya berasal dari Kabupaten
Karawang, Jawa Barat, dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa.
“Kami
punya peta daerah pemulangan pekerja seks yang HIV-positif dari Batam dan
Riau,” kata dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD, Ketua Umum Yayasan Pelita Ilmu (YPI),
Jakarta, ketika berkunjung ke kantor Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan
(YMKK) Batam awal Juli lalu.
Salah
seorang pekerja seks yang dipulangkan dari Tanjung Pinang ke sebuah desa di
Kabupaten Karawang, misalnya, menjadi dampingan YPI sampai meninggal dunia.
Semula perempuan tadi dikucilkan masyarakat tetapi berkat pendekatan YPI dengan
mendirikan sanggar kerja di desa itu akhirnya masyarakat bisa menerimanya.
Bahkan, sanggar YPI yang didukung Ford
Foundation itu menjadi pusat penyebaran informasi seputar HIV/AIDS bagi
penduduk di sana.
Pekerja
seks yang dipulangkan akhirnya akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran
HIV dan PMS. Kalau mereka sudah bersuami maka mereka bisa menulari suaminya.
Jika mereka tetap sebagai pekerja seks di kampungnya atau di tempat lain maka
mereka pun bisa menulari “pelanggannya”.
Kalau
suami mereka mempunyai pasangan seks yang lain, maka akan terjadi pula
penularan. Istri mereka yang tertular pun kelak akan menularkannya kepada bayi
yang dikandungnya. Begitu seterusnya sehingga terjadi penularan secara
horizontal antar penduduk dan vertikal dari-ibu-ke-bayi (mother-to-child-transmission/
MTCT).
Dalam
suatu pelatihan yang diselenggarakan YMKK Batam beberapa waktu lalu, Kepala
Dinas Kesehatan Batam, dr. Mawardi, mengungkapkan hasil survei terhadap pekerja
seks di dua diskotek Batam menunjukkan 50 persen pekerja seks itu memakai
narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) sehingga mereka dalam keadaan high
ketika melayani tamu. Kondisi itu menjadi pemicu untuk melakukan
senggama.
Celakanya,
hal itu membuat mereka lupa daratan sehingga lupa menerapkan seks aman (memakai
kondom) ketika melakukan senggama dengan tamunya. Hal ini jelas merupakan
kegiatan yang berisiko tinggi tertular atau menularkan PMS dan HIV.
Mawardi
mengakui sejak tahun 1999, kegiatan Dinas Kesehatan Batam untuk penanganan
HIV/AIDS menurun karena dana yang dikucurkan Bank Dunia sudah tidak ada lagi.
Maka, Mawardi pun tidak segan-segan mengajak LSM untuk bahu-membahu
menanggulangi masalah epidemi HIV/ AIDS dan PMS di Batam.
LSM Didepak
Sayangnya,
sebuah LSM berskala nasional yang membuka konseling dan penjangkauan (outreach)
di salah satu lokalisasi di Batam, misalnya, terpaksa hengkang dari sana.
Mereka ditolak oleh sebuah LSM lokal yang katanya mendapat mandat dari KPAD
(Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) sebagai pelaksana Keppres No. 36/1994 tentang
Strategi Penanggulangan AIDS Nasional di Batam.
Ketika
masih diizinkan beroperasi, setiap hari rata-rata empat pekerja seks
mengunjungi sanggar LSM ini. Ada yang konsultasi tentang PMS, meminta kondom,
mencari obat, dan ada pula yang mengadukan nasibnya tentang perlakuan
mucikari.
Karena
masalah PMS erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi (reproductive health)
maka YMKK melakukan pendekatan kepada buruh-buruh perempuan dengan menyediakan
konseling gratis dan pengobatan murah. YMKK sudah membuka poliklinik di
Batamindo dengan dukungan Ford Foundation dan manajemen Batamindo. “Pendekatan
ini sangat penting karena hampir 80% buruh perempuan di Batam merupakan pekerja
migran dan mereka berada pada rentang usia seksual aktif,” kata Lola Wagner,
Ketua YMKK.
Survei
yang dilakukan terhadap buruh perempuan, misalnya, menunjukkan banyak di antara
mereka memiliki keluhan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seperti
keputihan, datang bulan tidak teratur, dan lain-lain. Celakanya, mereka tidak
mempunyai akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan yang menjamin
kerahasiaan. Pasalnya, ada perusahaan yang mem-PHK buruh perempuan yang
mengidap PMS. Untuk itulah YMKK menyediakan voucher berobat bagi buruh-buruh
perempuan yang memiliki keluhan kesehatan reproduksi dan tetap menjamin
kerahasiaan identitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.