KORAN-KORAN di Lampung belum lama ini memberitakan perihal Rt (28), warga Kabupaten
Lampung Timur, yang meninggal karena HIV/AIDS. Identitas pengidap itu
diungkapkan dengan lengkap, termasuk alamat tempat tinggalnya. “Kami sekeluarga
dijauhi tetangga setelah mereka tahu dia terkena HIV/AIDS,” kata Yahya,
keluarga Rt.
Para tetangga menjauhi mereka begitu media massa
memberitakan perihal penyakit yang diidap Rt, mereka juga tidak lagi bersikap
seperti biasanya ketika Rt dibawa keluar masuk rumah sakit. “Tetangga mulai
menjauh dan enggan datang,” katanya. Pengalaman pahit juga dirasakan keluarga
itu ketika petugas kesehatan yang merawat Rt berkomentar, kalau di tempat lain
rumah warga yang diketahui terjangkit HIV/AIDS pasti dibakar ramai-ramai.
Diskriminasi dan cap buruk dialami keluarga Yahya
karena hal itu sehingga akhirnya mereka tidak berani membawa Rt pulang ke
rumah. “Kami khawatir ada hal buruk kalau dibawa ke rumah kami,” katanya.
Begitu pula saat dirawat di salah satu rumah sakit pemerintah di Bandar
Lampung. Seorang petugas di rumah sakit itu mengatakan bahwa kasur bekas orang
dengan HIV/AIDS (Odha) yang dirawat akan dibakar karena virus yang menempel di
kasur tidak bisa dibersihkan lagi.
Saat tahlilan Rt, dari sekitar 30-an tetangga yang
diundang, hanya empat yang datang. “Mereka yang datang pun semuanya sama sekali
tidak mau makan dan minum penganan yang kami sediakan. Padahal, makanan itu
semua dari membeli, bukan memasak sendiri,” kata Yahya. Penderitaan keluarga
itu, khususnya Rt, bertambah berat ketika suami Rt beserta keluarga enggan
mengurusnya selama Rt dirawat di rumah sakit. Edwin, warga Bandar Lampung, juga
mengaku menjadi korban diskriminasi dan cap buruk yang dikaitkan dengan
HIV/AIDS akibat pemberitaan media massa yang kurang tepat tentang dirinya.
“Saya sampai menjadi serba salah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena seolah
sudah divonis macam-macam lewat pemberitaan koran itu,” kata Edwin.
Almizi Usman, pegiat dari kelompok pendamping Odha
Saburai Support Group Lampung, menyatakan, cap buruk dan diskriminasi bagi Odha
yang dilakukan masyarakat sekitar kerap dipicu pemberitaan kurang tepat dari
wartawan. Dia mencontohkan kasus temuan HIV/AIDS di daerahnya yang secara jelas
diberitakan identitas dan tempat tinggalnya di media cetak atau disorot kamera
secara utuh di televisi. Itu berdampak langsung sangat buruk bagi Odha maupun
keluarganya.
“Sayangnya, kenyataan seperti itu masih terus terjadi
dan sangat menyedihkan bagi kami semua,” kata Almizi. Kelompok itu juga pernah
mengadvokasi perihal dampak pemberitaan Odha yang disiarkan sebuah media,
sehingga media dan wartawan yang bersangkutan meminta maaf. Tapi pada kesempatan
lain, menurut Aji, ternyata pemberitaannya masih belum berubah ke arah lebih
baik.
Almizi mengatakan, ada dugaan banyak wartawan tidak
mengerti tentang seluk beluk HIV/AIDS, sehingga ketika memberitakan masalah
itu, acuannya adalah untuk meningkatkan jumlah tiras. “Tapi coba teman-teman
wartawan dan media massa merasakan apa yang dirasakan Odha maupun keluarganya
yang terdiskriminasi seperti itu,” kata Almizi.
Media massa diingatkan untuk ikut merasakan atau
berempati dengan para pengidap itu sehingga dalam memberitakan atau menulis
dapat lebih tepat dan benar. Menurut dia, ada pengidap yang hingga saat ini
belum mau menjalani perawatan di rumah sakit karena trauma pernah dikejar-kejar
wartawan yang ingin memberitakannya. “Sampai sekarang dia hanya mau
sembunyi-sembunyi berobat, tidak mau ke rumah sakit. Katanya takut dengan
wartawan,” ujarnya.
Menurut Syaiful W Harahap, aktivis LSM InfoKespro,
kesalahan pada pemberitaan terhadap para pengidap itu antara lain karena
wartawan bersangkutan minim pengetahuannya tentang HIV/AIDS. Dia mengingatkan
para wartawan dan penulis HIV/AIDS untuk tidak mencampuradukkan antara fakta
dan opini, serta bisa membedakan antara fakta privat maupun fakta publik serta
opini maupun fakta empiris dan fakta medis, agar beritanya obyektif, tepat, dan
benar.
Hingga Desember 2007, ditemukan 208 kasus HIV/AIDS
dengan 167 kasus AIDS dan 121 kasus terinfeksi virus HIV. “Penyebab utama
HIV/AIDS di Lampung adalah penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik, yaitu
sebanyak 81 persen atau mencapai 233 orang,” kata Kepala Sekretariat Badan
Narkotika dan Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Lampung Ahmad Alwi Siregar.
Hingga Desember 2007 terdapat 54 kasus HIV/AIDS yang
meninggal dunia, dari 167 kasus HIV/AIDS di Lampung yang masih hidup itu.
Kumulatif kasus HIV/AIDS paling banyak di Bandar Lampung sebanyak 134 kasus,
dengan 45 kasus yang meninggal dunia, disusul di Kabupaten Lampung Utara (tujuh
kasus), Lampung Tengah (enam kasus), dan Lampung Selatan serta Metro
masing-masing lima kasus. ABD Sumber: Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.