Tanggapan
terhadap Berita di Harian ”Pikiran Rakyat” Bandung
Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM
(media watch) “InfoKespro” Jakarta
Berita
“15% Pembeli Seks di Bandung
Pelajar” yang dimuat di Harian “Pikiran
Rakyat” Bandung edisi 7 Mei 2006 tidak fair karena hanya memojokkan remaja.
Stigma
terhadap remaja kian kental dari pemaparan dalam berita itu tentang kasus
HIV/AIDS dengan menyebutkan “ …. bila dilihat dari faktor usia, maka AIDS dan
HIV positif, banyak menyerang kelompok usia produktif ….”. Pertanyaan yang
sangat mendasar adalah mengapa dan bagaimana hal ini terjadi? Sayang, dalam
berita itu tidak dijelaskan. Lagi pula HIV tidak menyerang karena virus ini
menular melalui cara-cara yang tidak mudah jika dibandingkan dengan flu, flu
burung, diare, TBC, dll. yang jauh lebih mudah menular daripada HIV.
Kalau
saja pembicara atau wartawan yang menulis berita itu menjelaskan mengapa kasus
HIV/AIDS banyak di kalangan remaja tentulah ada gambaran yang faktual. Kasus
HIV/AIDS di kalangan remaja banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba dengan
suntikan. Mengapa? Karena mereka wajib menjalani tes HIV kalau hendak masuk ke
tempat rehabilitasi.
Berbeda
dengan penularan melalui hubungan seks karena tidak ada mekanisme yang
‘memaksa’ seseorang yang perilaku seksnya berisiko tinggi terular HIV untuk
menjalani tes HIV maka kasus HIV di kalangan ini merupakan ‘dark number’ yang
menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Maka, yang
potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk
adalah orang dewasa. Selain ke istri mereka pun menularkan HIV ke pasagnannya
yang lain.
Pada
lead disebutkan “Remaja diharapkan tidak berhubungan seks sebelum menikah”,
tanpa memberikan jalan keluar untuk menyalurkan dorongan seks. Tidak ada
substitusi yang pas untuk menyalurkan dorongan birahi selain hubungan seks.
Apalagi ada ketentuan bahwa pernikahan baru bisa dilakukan setelah berusia 21
tahun. Sedangkan dorongan seks sudah mulai sejak akil baligh pada usia antara 9
– 11 tahun. Maka, yang diperlukan adalah menghindari hubungan seks yang
berisiko baik terhadap kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) dan
penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seks seperti hepatitis B, GO,
sifilis dan HIV.
Di
bagian lain disebutkan pula “ …. tempat yang memfasilitasi berjangkitnya HIV,
seperti tempat pelacuran ….” merupakan pernyataan yang tidak akurat dan ngawur karena tidak ada tempat yang
bisa memfasilitasi penularan HIV. Tidak ada kaitan langsung antara pelacur dan
(lokasi atau lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Di negara-negara yang
tidak ada pelacur dan (lokasi atau lokalisasi) pelacuran, seperti di Arab
Saudi, tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke UNAIDS. Sampai awal
tahun ini dilaporkan 9.000-an kasus HIV/AIDS. Ada 85 bayi yang dirawat di rumah
sakit di sana karena penyakit terkait AIDS.
Untuk
melindungi diri agar tidak tertular HIV adalah dengan mengetahui cara-cara
pencegahan dan penularan yang realitsis. Sayang, hal ini tidak muncul karena
selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS
dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang
salah) terhadap HIV/AIDS.
Akibatnya,
masyarakat lalai melindungi diri dan terjadilah penyebaran HIV secara diam-diam
di masyarakat. ***
Catatan:
pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Dpikiran-rakyat%E2%80%9D/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.