07 Juli 2017

AIDS Dibalut Moral Menghasilkan Mitos

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Pikiran Rakyat” Bandung

Oleh: Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta

Berita “15% Pembeli Seks di Bandung Pelajar” yang dimuat di Harian “Pikiran Rakyat” Bandung edisi 7 Mei 2006 tidak fair karena hanya memojokkan remaja.

Stigma terhadap remaja kian kental dari pemaparan dalam berita itu tentang kasus HIV/AIDS dengan menyebutkan “ …. bila dilihat dari faktor usia, maka AIDS dan HIV positif, banyak menyerang kelompok usia produktif ….”. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah mengapa dan bagaimana hal ini terjadi? Sayang, dalam berita itu tidak dijelaskan. Lagi pula HIV tidak menyerang karena virus ini menular melalui cara-cara yang tidak mudah jika dibandingkan dengan flu, flu burung, diare, TBC, dll. yang jauh lebih mudah menular daripada HIV.

Kalau saja pembicara atau wartawan yang menulis berita itu menjelaskan mengapa kasus HIV/AIDS banyak di kalangan remaja tentulah ada gambaran yang faktual. Kasus HIV/AIDS di kalangan remaja banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba dengan suntikan. Mengapa? Karena mereka wajib menjalani tes HIV kalau hendak masuk ke tempat rehabilitasi.

Berbeda dengan penularan melalui hubungan seks karena tidak ada mekanisme yang ‘memaksa’ seseorang yang perilaku seksnya berisiko tinggi terular HIV untuk menjalani tes HIV maka kasus HIV di kalangan ini merupakan ‘dark number’ yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Maka, yang potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah orang dewasa. Selain ke istri mereka pun menularkan HIV ke pasagnannya yang lain.

Pada lead disebutkan “Remaja diharapkan tidak berhubungan seks sebelum menikah”, tanpa memberikan jalan keluar untuk menyalurkan dorongan seks. Tidak ada substitusi yang pas untuk menyalurkan dorongan birahi selain hubungan seks. Apalagi ada ketentuan bahwa pernikahan baru bisa dilakukan setelah berusia 21 tahun. Sedangkan dorongan seks sudah mulai sejak akil baligh pada usia antara 9 – 11 tahun. Maka, yang diperlukan adalah menghindari hubungan seks yang berisiko baik terhadap kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) dan penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seks seperti hepatitis B, GO, sifilis dan HIV.

Di bagian lain disebutkan pula “ …. tempat yang memfasilitasi berjangkitnya HIV, seperti tempat pelacuran ….” merupakan pernyataan yang tidak akurat dan ngawur  karena tidak ada tempat yang bisa memfasilitasi penularan HIV. Tidak ada kaitan langsung antara pelacur dan (lokasi atau lokalisasi) pelacuran dengan penularan HIV. Di negara-negara yang tidak ada pelacur dan (lokasi atau lokalisasi) pelacuran, seperti di Arab Saudi, tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke UNAIDS. Sampai awal tahun ini dilaporkan 9.000-an kasus HIV/AIDS. Ada 85 bayi yang dirawat di rumah sakit di sana karena penyakit terkait AIDS.

Untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV adalah dengan mengetahui cara-cara pencegahan dan penularan yang realitsis. Sayang, hal ini tidak muncul karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS.

Akibatnya, masyarakat lalai melindungi diri dan terjadilah penyebaran HIV secara diam-diam di masyarakat. ***

Catatan: pernah dimuat di https://aidsmediawatch.wordpress.com/2009/08/22/tanggapan-terhadap-berita-di-harian-%E2%80%9Dpikiran-rakyat%E2%80%9D/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.