Oleh: Syaiful W. HARAHAP
“Terletak di kaki Gunung Lokon dengan penduduk 100
ribu jiwa, Kota Tomohon (di Sulawesi Utara-pen.) ternyata masuk kategori rawan
penyebaran HIV/AIDS.” Ini pernyataan di lead
berita “Kota di Kaki Gunung Ini Rawan HIV/AIDS” (liputan6.com, 16/6-2017).
Pernyataan di atas tidak jelas apakah kesimpulan
wartawan yang menulis berita tsb., atau berdasarkan keterangan narasumber,
dalam hal ini Ketua Pelaksana KPA Tomohon, Syerly Adelyn Sompotan. Yang jelas
pernyataan itu ngawur karena dalam epidemi HIV/AIDS tidak dikenal daerah
katogori rawan penyebaran HIV/AIDS.
HIV adalah virus yang menular dari seseorang yang
mengidap HIV/AIDS kepada orang lain melalui cara-cara yang sangat khas, disebut
perilaku berisiko, yaitu: (a) melalui hubungan seksual di dalam dan di luar
nikah dengan kondisi suami atau pasangan tidak memakai kondom; (b) melalui
transfusi darah yang terkontaminasi HIV/AID, (c) melalui jarum suntik pada
penyelahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan kondisi jarum
suntik dipakai secara bersama-sama dengan bergantian; dann (d) melalui air susu
ibu (ASI) pada proses menyusui.
Maka, jika di satu daerah, kota, kabupaten, provinsi
atau negara banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tidak bisa disebut bahwa
daerah, kota, kabupaten, provinsi atau negara tsb. rawan penyebaran HIV/AIDS. Soalnya,
penyebaran HIV tidak terjadi melalui udara, air dan pergaulan sosial
sehari-hari tapi melalui kegiatan-kegiatan yang berisiko terjadi penularan HIV.
Jika dikembalikan ke Tohomon itu artinya penyebaran
HIV/AIDS di sana terjadi karena banyak penduduk yang melakukan perilaku
berisiko. Data KPA Tomohon menunjukkan sampai dengan Desember 2016 terdeteksi
148 kasus HIV/AIDS.
Disebutkan oleh Syerly, sesuai data jumlah pengidap
tertinggi terdapat pada faktor resiko lewat heteroseksual sebanyak 124 kasus dan
diikuti lewat penggunaan jarum suntik. Data ini membuka fakta bahwa perilaku
berisiko yang terjadi di Tomohon adalah hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan. Dalam kaitan ini risiko terjadi karena hubungan seksual dilakukan
dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti
(di dalam dan di luar nikah) atau dilakukan dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, dalam hal in pekerja seks komersial (PSK) langsung dan
PSK tidak langsung.
PSK
langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau
lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
PSK
tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai
cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus,
cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang
kekuasaan), dll.
Tentu saja Pemkot Tomohon akan membusungkan dada
dengan mengatakan: Di Kota Tomohon tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi banyak
daerah yang menutup tempat-tempat, disebut lokalisasi, pelacuran.
Tapi, secara de facto apakah Pemkot Tomohon bisa
menjamin tidak ada praktek jual-beli seks sebagai bentuk pelacuran di Kota
Tomohon?
Tentu saja tidak karena praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu. Kesepakatan dilakukan melalui perantara
dan komunikasi melalui ponsel atau media sosial.
Selain itu, apakah Pemkot Tomohon bisa menjamin tidak
ada penduduk Tomohon yang melakukan perilaku berisko di luar Kota Tomohon?
Yang ini juga tentu saja tidak bisa. Karena mustahil
bagi Pemkot Tomohon mengawasi perilaku seksual semua penduduk dewasa.
Maka, kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di Kota Tomohon
karena perilaku seksual sebagian penduduk yang pernah atau sering melakukan
perilaku seks berisiko penduduk Tomohon bukan karena letak daerah tsb. di kaki
Gunung Lokon. * [kompasiana.com/infokespro] *
Ilustrasi: Cara-cara penularan HIV (Sumber: www.prideglv.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.