PENGANTAR.
KONGRES Internasional AIDS Asia Pasifik VI (The Sixth International Congress on
AIDS in Asia and the Pacific/ICAAP ) dibuka Jum’at (5/10), di Royal Exhibition
Buildings, Carlton, Melbourne,Australia. Kongres akan berlangsung sampai 10
Oktober 2001 yang diikuti lebih 3.500 peserta dari seluruh dunia. Sebagai
peserta yang mendapat bea siswa dari Ford Foundation, Syaiful
W. Harahap, yang mengkhususkan diri pada penulisan HIV/AIDS,
mengirimkan laporannya. Redaksi
MELBOURNE
– Kalau di beberapa kawasan, seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Australia, dan
Selandia Baru serta Afrika angka infeksi HIV baru di kalangan penduduk dewasa
sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar sejak awal 1990-an , tetapi di
kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru sebaliknya. Angka infeksi baru di
kalangan penduduk dewasa terus bertambah.
Penurunan
kasus infeksi HIV baru tersebut bukan karena sudah ada obat AIDS atau vaksin
HIV, tetapi masyarakat di kawasan tersebut sudah menerapkan cara-cara
pencegahan HIV yang realistis yaitu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan
yang berisiko tinggi tertular HIV.
Dari
34,3 juta kasus HIV/AIDS secara global 6,4 juta tercatat di kawasan Asia
Pasifik. Namun, karena penduduk di Asia Pasifik lebih dari separuh populasi
dunia sehingga penyebaran HIV di kawasan ini sangat potensial menjadi ledakan
epidemi.
Itulah
salah satu alasan yang mendorong pelaksanaan kongres AIDS di kawasan Asia Pasifik
setiap dua tahun di antara pelaksanaan konferensi AIDS sedunia untuk
mendapatkan gambaran tentang berbagai hal dan menjadi ajang pembelajaran serta
saling tukar pengalaman. Kongres pertama tahun 1991 di Canberra, Australia,
kemudian di New Delhi, India (1993), Chiang Mai, Thailand (1995), Manila,
Filipina (1997), Kuala Lumpur, Malaysia (1999).
Biar
pun prevalensi (persentase HIV positif) di kalangan penduduk dewasa yang
berumur antara 15-49 di beberapa negara di kawasan Asia dan Pasifik di bawah
satu persen (di beberapa negara, seperti Kamboja, Myanmar dan Thailand
prevalensinya tinggi) dalam masyarakat tetapi epidemi HIV bisa menjadi dahsyat.
Maka,
kalau hanya berpatokan pada prevalensi di masyarakat (jumlah kasus yang
tercatat dibagi jumlah penduduk) akan bisa menimbulkan perhitungan yang meleset
terhadap epidemi HIV. Soalnya di Malaysia, Nepal, Vietnam dan beberapa provinsi
di Cina angka infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba (narkotik dan
bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik (injecting drug user/IDU) sangat
tinggi.
Dalam
pidato pembukaan Dr Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, secara khusus
menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia. Di Indonesia
sendiri kasus komulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen
PPM & PL Depkes, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 IDU yang
terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di
Indonesia 52.000, sedangkan Depkes memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini
bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba
suntikan.
Isu
dan tantangan yang berbeda-beda muncul ketika aspek politik bergandengan dengan
masalah sosial dan budaya sehingga mempengaruhi pembuat kebijakan. Selain
pembicara utama akan dibahas pula 243 makalah utama dari berbagai aspek, antara
lain terapi dan perawatan, pencegahan, sosial dan ekonomi, gender dan
seksualitas. Dari Indonesia tercatat 7 makalah. Yang terbanyak dari India (66)
dan Thailand (47).
Estimasi
Beberapa
estimasi menunjukkan di Cina ada tiga juta IDU, 45 persendi antara mereka
menggunakan jarum suntik dan semprit secara bergantian. Sudah dilaporkan
infeksi HIV di kalangan IDU dari 25 provinsi di Cina. Di Cina dan Vietnam 65 –
70 persen kasus infeksi HIV terjadi di kalangan IDU. Saat ini diperkirakan
122.350 penduduk Vietnam terinfeksi HIV. Survei tahun 1999 menunjukkan 56% IDU
dan 47% pekerja seks di Myanmar tertular HIV.
Pada
tahun 2005 diperkirakan setiap tahun 800.000 penduduk di kawasan Asia Pasifik
akan meninggal karena AIDS. Di Thailand saja dengan 800.000 kasus HIV/AIDS
mulai tahun 2006 diperkirakan setiap tahun 50.000 penduduk negeri itu akan
meninggal karena AIDS. Di Vietnam akan ada kematian 11.000 penduduk setiap
tahun mulai tahun 2005.
Secara
global setiap menit setiap hari 11 penduduk dunia terinfeksi HIV. Satu dari
sepuluh penduduk yang terinfeksi itu berusia di bawah 15 tahun.
Epidemi
HIV akan menjadi beban besar bagi negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik.
Thailand, misalnya, sampai tahun 2000 sudah mengeluarkan dana untuk biaya
langsung dan tidak langsung terhadap epidemi HIV sebesar 8,7 miliar dolar AS
(setara dengan Rp 78,3 triliun). Untuk tes HIV dengan ELISA di Indonesia saat
ini Rp 47.000 dan tes konfirmasi dengan Western blot Rp 522.000. Harga obat
antiretroviral (obat untuk menekan pertumbuhan HIV di dalam darah) sekitar Rp 5
juta per bulan. Jumlah ini belum termasuk jasa dokter atau obat-obat lain.
Biar
pun prevalensi HIV di Cina dan India rendah, tetapi dengan jumlah penduduk 36%
dari populasi dunia di dua negara ini HIV mulai menjadi masalah. Di India,
misalnya, walaupun hanya 7 dari 1.000 penduduk dewasa yang HIV-positif tetapi
di negara ini 3,7 juta penduduk hidup dengan HIV/AIDS. Pada pertengahan tahun
1990-an seperempat pekerja seks di perkotaan, seperti di New Delhi, Hyderabad,
Pune, Tirupati dan di Vellore HIV-positif. *
[Sumber:
Harian “SUARA PEMBARUAN”, 6 Oktober 2001]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.