Oleh: Syaiful W. Harahap
Sejak obat antiretroviral (ARV) menjadi pengobatan bagi Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) kematian Odha bisa ditekan dan angka harapan hidup bertambah 10
tahun. Maka, kuncinya adalah pada penemuan dini orang-orang yang tertular HIV.
Celakanya, di banyak negara justru banyak pengidap
HIV/AIDS yang terlembat menjalani terapi dengan obat ARV. Hasil studi CDC
Amerika Serikat (Centers for Disease
Control and Prevention
atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) menunjukkan 1 dari 3 Odha di
10 negara (Haiti,
Vietnam, Nigeria, Namibia, Swaziland, Zimbabwe, Mozambique, Tanzania, Uganda
dan Zambia) justru terlambat menjalani
pengobatan HIV/AIDS dengan ARV (VOA
Indonesia, 7/6-2017).
Program Ambisius
Terapi ARV (ART) tidak hanya sebatar menurunkan risiko
kematian dan komplikasi penyakit, tapi juga untuk menurunkan risiko penularan
HIV. Ini terjadi karena terapi ARV menghambat replikasi virus (HIV) di dalam
darah. Ketika HIV masuk ke dalam tubuh virus itu akan mengembangbiakkan diri di
sel-sel darah putih manusia. Sel-sel darah putih mereka jadikan ‘pabik’
sehingga setelah terjadi replikasi sel darah putih tsb. rusak. Selanjutnya
virus yang baru diproduksi akan melakukan hal yang sama. Replikasi virus bisa
mencapai angka miliran per hari sehingga jumlah sel darah putih yang rusak pun
jumlahnya sama dengan jumlah virus baru.
Itulah yang menyebabkan masa AIDS, secara statistik antara
5-15 tahun setelah tertular HIV, yang ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi
oportunistik, seperti jamur, diare, TB, dll. yang akan menjadi penyebab
kematian pada Odha.
Untuk itulah diperlukan langkah-langkah konkret
sebagai program untuk mendeteksi orang-orang yang tertular HIV lebih awal.
Penemuan-penemuan kasus baru dibarengi dengan penanganan yang komprehensif,
mulai dari pendampingan, tes-tes terkait dengan HIV, dll. sampai pada tahap
Odha harus meminum obat ARV ketika hasil tes CD4 menunjukkan angka 350.
Penanganan dan perawatan dini akan menyelematkan nyawa
Odha karena dengan terapi ARV replikasi virus (HIV) bisa dihambat sehingga bisa
terjadi hasil tes HIV tidak mendeteksi virus (non-reakif). Tapi, bukan berarti
virus hilang dari darah hanya saja virus tidak menggandakan diri dan
‘bersembunyi di kelenjar’ sehingga tidak terdeteksi melalui tes HIV.
UNAIDS (The
Joint United Nations Programme on HIV/AIDS), badan PBB
yang khusus menangani AIDS, melancarkan program yang dinilai banyak kalangan
terlalu ambisius yaitu target
90-90-90 dalam menanggulangi epidemi HIV. Sebelum tahun 2020 diproyeksikan 90
persen Odha akan mengetahui status HIV mereka, 90 persen akan menerima terapi
ARV, dan 90 persen mendapat perawatan untuk mengatasi penyebaran virus. Ini
menyumbang terhadap penurunan risiko penularan HIV.
Studi
lain yang dipublikasikan di The New
England Journal of Medicine (2016), menemukan perawatan Odha mengurangi risiko
penularan HIV ke pasangan seksual (penularan horizontal) sampai 96 persen.
Risiko penularan perempuan hamil ke bayi yang dikandungnya (penularan vertikal)
dapat ditekan jika si ibu menjalani terapi ARV.
Di Indonesia
Odha yang berusia muda memiliki angka harapan hidup
yang lebih panjang selama 10 tahun di negara-negara Uni Eropa dan AS jika
mereka menjalani terapi ARV (VOA
Indonesia, 11/5-2017).
Sebuah studi yang dilaporkan The Lancet menunjukkan banyak Odha yang berahap hidup lama
seperti orang-orang yang tidak mengidap HIV/AIDS. Maka, terapi ARV merupakan
jawaban terhadap harapan Odha tsb.
Lalu, bagaimana dengan
Indonesia?
Banyak kasus baru justru
terdeteksi secara pasif yaitu ketika mereka sakit dan berobat ke puskesmas atau
rumah sakit dengan keluhan penyakit-penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS.
Petugas medis akan meminta pasien-pasien dengan indikasi infeksi oportunistik
untuk menjalani tes HIV.
Tidak ada mekanisme yang
konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Yang ada hanya anjuran tes HIV
kepada ibu-ibu yang sedang hamil, sementara suami tidak menjalani tes HIV. Itu
artinya suami-suami penular HIV ke istri akan jadi mata rantai penularan HIV di
masyarakat tertuama melalui hubungan seksual (seks vaginal dan seks anal) tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Selain itu penemuan kasus baru diperoleh dari
penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik
secara bergantian karena mereka wajib tes HIV ketika hendak mejalani terapi di
pusat-pusat layanan narkoba. Belakangan penemuan kasus pada penyalahguna
narkoba jauh berkurang karena narkoba yang dipakai beralih ke sabu-sabu yang
dihirup sehingga tidak memakai jarum suntik.
Sudah saatnya Indonesia membuat program yang konkret
untuk mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS baru di masyarakat tanpa melawan hukum
dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI,
8/2-2017, menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 – 31 Desember 2016
mencapai 319.103 yang terdiri atas 232.323 HIV dan 86.780 AIDS. Yang meminum
obat ARV sampai Desember 2016 tercatat 77.748.
Tanpa program yang konkret dan sistematis penemuan
kasus baru akan terhambat sehingga penyebaran HIV secara horizontal terus
bertambah. Kondisi tsb. akan jadi pemicu ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Ilustrasi: Obat AIDS (Sumber: id.pinterest.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.