Salah satu sudur Gang Dolly sebelum ditutup (Sumber: Tribun Jateng - Tribunnews.com)
Oleh: Syaiful W. HARAHAP
Ada
salah kaprah di Indonesia terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Sejak awal kasus
HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia (1987) selalu saja ada suara-suara dengan nada
sumbang yang menyebutkan lokalisasi atau tempat pelacuran terbuka sebagai
sumber HIV/AIDS.
Ketika reformasi bergulir pemerintah daerah pun banyak yang
menutup lokalisasi pelacuran yang di era Orde Baru dijadikan sebagai resos
yaitu tempat rehabilitasi dan resosialisasi pekerja seks komersial (PSK) dengan
membekali berbagai macam keterampilan, seperti jahit-menjahit dan tara rias
(salon). Bahkan, tidak sedikit daerah yang menguatkan penutupan tempat
pelacuran terbuka dengan peraturan daerah (Perda).
Tutup Lokalisasi
Lalu, muncullah orasi moral yang membentuk opini publik bahwa
dengan menutup pelacuran maka penyebaran HIV/AIDS pun dikendalikan. Itulah
sebabnya ada judul berita salah satu media massa cetak di Bandung, Jawa Barat,
yang membuat judul sesuai dengan jalan pikiran redaktur karena bertentangan
dengan kutipan wawancara wartawan yang juga dimuat dalam berita tsb.
Judul berita “Kalau Saritem (tempat pelacuran terbuka di Kota
‘Kembang’Bandung-pen.) Terlambat Ditutup AIDS Akan Menyebar” sedangkan dalam
tubuh berita ada kutipan dari wawancara dengan seorang dokter yang mengatakan
jika Saritem ditutup maka penyebaran AIDS idak terkendali.
Salah satu tempat pelacuran yang dikenal di Indonesia, bahkan
di banyak pelabuhan kapal laut di duni, yang juga disebut-sebut sebagai tempat
pelacuran terbesar di Asia Tenggara adalah ‘Dolly’ di Kota Surabaya, Jawa Timur
(Jatim). Maka, seiring dengan euforia reformasi Walikota Surabaya, Tri
Rismaharini, pun dengan resmi menutup kegiatan pelacuran terbuka di ‘Dolly’. “BBC Indonesia” melaporkan (19/6-2014): Pemerintah kota Surabaya tetap menggelar deklarasi penutupan lokalisasi
Dolly dan Jarak di tengah protes warga dan para pekerja seks komersial (PSK),
pada Rabu malam (18/6-2014).
Soal
tempat pelacuran Mensos Khofifah Indar Parawansa juga tak kalah keras suaranya
dengan menjadikan Jatim sebagai model: "Saat ini lokalisasi terbanyak pertama adalah
Jabar yakni 11 titik. Dulu Jatim terbanyak, yakni 47 titik, tapi sekarang
sudah tutup semua. Dan itu patut dicontoh," kata Khofifah Indar Parawansa
di Surabaya, , Kamis (2/6/2016). (news.metrotvnews.com,
3/6-2016).
Dari pernyataan Mensos Kofifah itu jelas bahwa di Jatim semua
tempat pelacuran terbuka sudah ditutup. Lalu, apakah insiden infeksi HIV lantas
berhenti?
Itulah yang jadi masalah besar karena dalam laporan triwulanan
Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 8 Februari 2017 menyebutkan dari 10 daerah
yang melaporkan kasus infeksi HIV terbanyak priode Oktober-Desember 2016 adalah
Provinsi Jatim pada peringkat pertama yaitu sebanyak 2.450 di atas Jawa Barat
(1.864) dan Jakarta (1.617). Triwulan pertama (Januari-Maret 2016) Jatim melaporkan 1.136 kasus HIV pada
peringkat kedua di bawah Jakarta (1.164). Triwulan kedua (April-Juni 2016)
Jatim melaporkan 1.523 kasus HIV pada peringkat pertama di atas Jakarta
(1.391). Pada triwulan ketiga (Juli-September 2016) Jatim melaporkan 1.404
kasus HIV pada peringkat kedua dibawah Jakarta (1.847). Laporan jumlah kasus
HIV priode 1987 sd. 31 Desember 2016 Jatim ada di peringkat kedua dengan 31.429
kasus di bawah Jakarta (45.355). Sedangkan kasus AIDS Jatim ada di peringkat
pertama pada kurun waktu 1987 sd. 31 Desember 2016 dengan 16.911 kasus.
Berdasarkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun
1987-31 Desember 2016 Jatim ada di uturan kedua dengan 48.340 kasus di bawah
DKI Jakarta (54.003) serta di atas Papua (38.123) dan Jawa Barat (28.396).
Kegiatan Seksual Berisiko
Infeksi
HIV bisa terdeteksi pada seseorang yang pernah atau sering melakukan kegiatan
seksual berisiko, seperti melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar
nikah, dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan pasangan yang
berganti-ganti, atau melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak
pakai kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, misalnya, PSK
dan gigolo. Celakanya, bertolak dari anggapan yang sudah memasyarakat bahwa
risiko itu hanya ada di lokalisasi pelacuran terbuka. Itulah sebabnya ada saja
orang-orang yang tertular HIV melalui kegiatan berisiko karena pasangannya
bukan PSK karena dilakukan dengan yang bukan PSK dan di luar lokalisasi
pelacuran.
HIV
terdeksi melalui tes HIV (darah) dengan reagent ELISA akurat setelah terjadi
penularan HIV, dalam hal ini setelah melakukan kegiatan seksual berisiko. Itu
artinya kasus HIV yang dilaporkan Jawa Timur bisa jadi merupakan infeksi HIV
baru setelah tempat pelacuran terbuka ditutup. Soalnya, di Jawa Timur pelacuran
terjadi secara online dan di beberapa tempat yang bukan lokalisasi pelacuran.
Dari
aspek kesehatan masyarakat melokalisir pelacuran merupakan salah satu bentuk
untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit IMS (infeksi menular seksual,
seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, virus kanker
serviks, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS dari masyarakat ke PSK dan sebaliknya.
Langkah ini dikenal sebagai intervensi dengan cara memaksa laki-laki memakai
kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Tapi,
ketika praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat, sembarang waktu dan
dengan berbagai modus intervensi pun tidak bisa dilakukan. Itu artinya kita
menyimpan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.