Ilustrasi
(Sumber: abtassociates.com)
Kamis, 9 Februari 2017, diperingati sebagai
Hari Pers Nasional (HPN). Tahun ini kegiatan dipusatkan di Kota Ambon, Maluku,
yang dihadri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Seiring dengan perjalanan
panjang pers nasional yang juga berperan dalam kemerdekaan, patut juga
dipertanyakan peran akrif pers nasional dalam ‘perang’ melawan penyebaran
HIV/AIDS karena catatan menunjukkan peran pers nasional dalam penanggulangan
HIV/AIDS sangat rendah sekali.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 20 November 2016 menyebutkan
sampai tanggal 30 September 2016 kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia tercatat 302.004 yang
terdiri atas 219.036 HIV dan 82.968 AIDS dengan 10.132 kematian. Secara global
kasus HIV/AIDS di akhir tahun 2015 mencapai 36,7 juta dengan 1,1 juta kematian.
Dengan kondisi seperti ini Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di
Asia yang pertambahan kasus HIV-nya tercepat.
Pelacuran dan Kondom
Jika
dikaitkan dengan epidemi HIV, maka angka-angka itu tidak menggambarkan jumlah
kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya
dengan fenomena gunung es. Angka yang dilaporkan atau terdeteksi (digambarkan
sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) yaitu 302.004 hanya sebagian
kecil dari kasus yang ada (digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah
permukaan air laut). Estimasi dan proyeksi HIV/AIDS yang diterbitkan oleh
Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, jumlah
kasus HIV/AIDS di Indonesia ada pada angka 608.667 (Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016, Jakarta,
2014).
Artinya,
sejumlah penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang mengidap HIV/AIDS di
masyarakat tidak terdeteksi karena mereka tidak menunjukkan gejala-gejala yang
khas AIDS dan tidak ada pula keluhan kesehatan terkait AIDS. Orang-orang yang
mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penularan HIV di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Angka
itu diperoleh dari tes terhadap pasien-pasien penyakit terkait HIV/AIDS di
rumah sakit, tes HIV terhadap ibu hamil, tes wajib bagi penyalahguna narkoba
(narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama,
tes sukarela, dll. Belakangan ini ‘pencarian’ kasus HIV/AIDS bersifat pasif
yaitu menunggu orang berobat ke rumah sakit jika ada gejala terkait AIDS
kemudian dianjurkan tes HIV.
Celakanya,
pemerintah sama sekali tidak bisa menjalankan program yang konkret yaitu
pemakaian kondom untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa, terutama melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK)
langsung. Program tidak bisa dijalankan karena kecaman dan penolakan yang
sangat kuat dari berbagai kalangan dan elemen masyarakat. Soalnya, program itu
hanya bisa dijalankan jika praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung dilokalisir
dan kondom tidak ditolak.
Dari
17 ‘pintu masuk’ HIV ke masyarakat yang paling potensial adalah melalui
laki-laki yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yakni sering melakukan
hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak
langsung. Dengan menjalankan program penanggulangan di hulu yaitu pada
laki-laki berisiko tinggi akan menurunkan penyebaran HIV di masyarakat.
Di
awal tahun 1990-an ahli-ahli epidemilogi internasional sudah mengingatkan
Thailand bahwa HIV/AIDS akan menjadi persoalan besar di Negeri Gajah Putih itu
jika tidak dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret. Sayang,
pemerintah di sana menampiknya al. dengan alasan negara itu didiami oleh
penduduk yang berbudaya dan beragama.
Tapi,
apa yang terjadi satu dekade kemudian? Kasus HIV/AIDS di sana mendekati angka
1.000.000. Biaya untuk penanggulangan HIV/AIDS secara langsung dan tidak
langsung pada tahun 2000 saja menghabiskan dana 2,2 miliar dolar AS ini setara
dengan 2/3 dana yang diperoleh dari sektor pariwisata.
Pemerintah
Thailand pun langsung bergegas merancang program yang komprehensif untuk
menanggulangi AIDS. Maklum, lorong-lorong di rumah sakit penuh sesak karena
tempat tidur tidak cukup menampung pasien dengan penyakit terkait AIDS.
Thailand menjalankan lima program dengan skala nasional secara simultan.
Mr Condom
Program
di urutan pertama adalah meningkatan peran
media massa sebagai media pembalajaran masyarakat tentang cara-cara melindungi
diri agar tidak tertular HIV/AIDS. Bersamaan dengan itu diluncurkan pula
program berupa sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV
melalui hubungan seksual di uturan kelima (Integration
of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak
Karnpisit, UNAIDS, December 2000).
Memang,
enolakan terhadap sosialisasi kondom juga terjadi di banyak negara. Di
Thailand, misalnya, program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur
dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir juga dikecam. Tapi, berkat
dukungan media massa program itu berjalan lancar dan berbuah manis dengan salah
satu indikator yaitu penemuan kasus HIV/AIDS yang terus menurun drastis di
kalangan calon taruna militer ketika tes kesehatan. Pengagas program kondom ini
adalah Mechai Viravaidya yang
dikenal sebagai Mr. Condom di Thailand dngan semboyan “made Thailand a better
place for life and love”. Mechai pun menerima hadiah “Magsaysay” tahun 1994.
Pemberitaan
yang objektif dan konsisten pun mendorong banyak kalangan menyingsingkan lengan
baju membantu pemerintah menanggulangi HIV/AIDS. Pasien yang tidak bisa
ditampung rumah sakit langsung dibawa oleh bhiksu ke vihara. Itu gambaran ril
betapa media massa berperan besar dalam memasyarakatkan penanggulangan
HIV/AIDS. Tapi, itu ‘kan di Thailand.
Bagaimana
dengan di Indonesia?
Sejak
awal epidemi HIV/AIDS yaitu di tahun 1981 pemberitaan media massa nasional
berkutat pada mitos (anggapan yang salah). Mulai dari soal penyakit orang
asing, penyakit bule, penyakit pelacur, penyakit perilaku menyimpang, penyakit
kutukan, dst. (Syaiful W. Harahap, Pers
Meliput AIDS, PT Sinar Harapan-The Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Celakanya, sampai sekarang pun tetap saja ada berita yang mengait-ngaitkan
penularan HIV/AIDS dengan mitos.


Berita
tentang HIV/AIDS pun sporadis. Jika ada perayaan seperti Hari AIDS Sedunia pada
tanggal 1 Desember berita AIDS pun ramai, tapi dua hari kemudian dst sepi.
Paling-paling ada berita jika ada keterangan dari dinas kesehatan (Dinkes) atau
KPA (Komisi Penanggulangan AIDS). Berbeda dengan Thailand yang melancarkan
sosialisasi HIV/AIDS melalui media massa secara simultan dan berkesinambungan.
Yang
lebih menyedihkan adalah ada berita yang justru tidak memberikan pencerahan
tentang langkah penanggulangan AIDS, malahan mendukung pengecam yang menolak
lokalisasi dan kondom. Ini terjadi karena ada wartawan yang memakai moralitas
dirinya sendiri ketika menulis berita. Banyak berita yang justru berseberangan
dengan upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, al. dengan cara
mewawancarai pihak-pihak yang berbicara melalut lidahnya dengan moral ketika
membicarakan AIDS yang merupakan fakta medis (bisa diuji di laboratorium dengan
teknologi kedokteran).
Tidak Berkompeten
Berita
pun lebih banyak yang menakut-nakuti daripada meningkatkan kesadaran untuk
melindungi diri, misalnya menyebutkan: “penyakit AIDS yang tidak ada obatnya”
(padahal ada obat AIDS), “AIDS penyakit mematikan” (padahal belum ada satu kasus pun kematian
karena AIDS). Jurnalisme horor seperti ini dikenal di awal epidemi 30-an tahun
yang lalu, sehingga tidak pas lagi dipakai saat ini.
Banyak
kalangan, bahkan menteri kesehatan, yang menyampaikan statement berupa mitos,
tapi wartawan dengan ringan tangan menulisnya dan media pun menyebarlaskan
mitos tsb. Misalnya, ada menteri kesehatan yang mengatakan “AIDS tidak mungkin
masuk Indonesia karena masyarakatnya berbudaya dan beragama”, ada lagi
pernyataan yang menyebutkan “AIDS penyakit bule”. “AIDS penyakit homoseks”,
dll.
Kalau
saja wartawan sedikit memutar otak tentulah bisa menulis berita yang
komprehensif dengan perspektif kesehatan dengan narasumber yang kompeten agar
berita AIDS tidak sekedar mitos. Celakanya, ada saja wartawan yang justru
mewawancarai narasumber yang tidak berkompeten dalam bidang HIV/AIDS, seperti
pemuka agama dan dokter yang membalut lidahnya dengan moral.
Untuk
itulah penulis mengembangkan ‘jurnalisme harapan’ yaitu memberikan pencerahan
kepada yang mengidap HIV/AIDS bahwa kehidupan mereka tetap akan berlanjut
dengan obat antiretroviral (ARV) serta pola hidup yang baik. Bagi yang sering
melakukan perilaku berisiko segera menjalani tes HIV agar tidak mencekalai
orang lain, sedangkan bagi yang lain dianjurkan menghindari perilaku berisiko.
Sebagian
besar berita HIV/AIDS ditulis wartawan dengan sudut pandang moral dan agama
sehingga pesan yang diterima pembaca pun hanya seputar mitos. Dalam banyak
berita HIV/AIDS selalu dikaitkan dengan ‘seks bebas’, seks menyimpang, di luar
nikah, bukan dengan pasangan resmi/sah, seks pranikah, pelacuran, dll. Tentu
saja ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan
karena sifat hubungan seksual (seks bebas, seks menyimpang, dll.), tapi karena
kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya
mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Selain
itu dalam banyak berita HIV/AIDS tidak disebutkan cara-cara penularan dan
pencegahan ang realistis. Pemakaian kata yang tidak baku dalam berita juga membuat
informasi tentang HIV/AIDS tidak jelas. Misalnya, kondom disebut sebagai
‘pengaman’. Ini jelas tidak baku karena ‘pengaman’ tidak otomatis pengertiannya
adalah kondom.
Selama
media massa, media online dan media sosial di Indonesia tetap membalut informasi
HIV/AIDS dengan moral, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru dan
penyebaran di masyarakat terus terjadi secara terselubung karena terjadi tanpa
disadari oleh orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Pada akhirnya epidemi HIV terselubung
ini jadi ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [kompasiana.com/infokespro] ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.