31 Desember 2017

Menyoal Ketergantungan Biaya Penanggulangan HIV/AIDS pada Donor Asing

Ilustrasi (Sumber: www.avert.org)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Perjalanan epidemi HIV/AIDS di Indonesia sudah berjalan tiga dekade atau 30 tahun sejak kasus HIV/AIDS pertama terdeteksi di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987. Celakanya, pembiayaan penanggulangan HIV/AIDS tergantung pada donor asing. Kondisinya kian runyam karena persentase Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) hanya 13 persen.

Pada tahun 2012 penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia menghabiskan dana 87 juta dolar AS dengan dana donor asing 50,15 juta dolar AS dan dana nasional 36,85 juta dolar AS. Dengan jumlah ini bantuan donor asing mencapai 57,64 persen. Kasus kumulatif mencapai 620.000. Infeksi HIV baru 48.000 dengan kematian 38.000.

Bandingkan dengan Thailand yang melaporkan 450.000 kasus dengan 6.400 kasus baru dan 16.000 kamatian menghabiskan dana penanggulangan 287,20 juta dolar AS yang terdiri atas 30,52 juta dolar AS bantuan asing dan 256,69 dana nasional (2013). Itu artinya bantuan asing hanya 10,63 persen. Dengan bantuan donor yang kecil itu Thailand mampu memberikan obat ARV kepada 69 persen pengidap HIV/AIDS. India dengan 2.100.000 kasus menanggulangi AIDS dengan persentase bantuan donor 28,37 persen dan memberikan ART kepada 49 persen pengidap HIV/AIDS.



Dari tabel di atas dapat disimak posisi Indonesia yang berada pada jenjang penerima donor besar, tapi penanggulangan yang rendah al. dengan cakupan program ART yang sangat rendah.

Jika tahun ini bantuan donor terhenti 100 persen, maka pemerintah harus merogoh dana dari APBN berkisar 90 juta dolar AS atau setara dengan Rp 1,17 triliun. Dana ini sebagian besar untuk pembelian obat antiretroviral. Obat ARV jadi penting bagi pengidap HIV/AIDS karena terkait dengan upaya pencegahan dan kematian.

Dengan meminun obat ARV secara teratur seorang pengidap HIV/AIDS akan memutus mata rantai penularan HIV karena konsentrasi HIV pada cairan-cairan tubuh yang bisa jadi media penularan (darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu/ASI) tidak cukup untuk ditularkan. Dengan ART pula tingkat kematian pengidap HIV/AIDS bisa dikurangi. Selain itu dengan ART pengidap HIV/AIDS akan tetap bisa aktif menjalankan kegiatan keseharian sehingga tidak jadi beban keluarga dan pemerintah.

Dengan kasus yang tercatat di  Ditjen P2P, Kemenkes RI, per 31 Maret 2017 sebanyak 330.152 diperlukan dana yang besar untuk membeli obat ARV. Harga obat ARV lini 1 Rp 360.000/bulan/Odha.

Kalau selama ini obat ARV ditangani oleh pemerintah pusat melalui Kemenkes RI, sudah saatnya pemerintah-pemerintah kabupaten dan kota memikirkan alokasi dana untuk program pengobatan Odha dengan obat ARV.

Jika pemerintah kabupaten dan kota merasa berat mengalokasikan dana untuk pembelian obat ART, maka hal ini akan jadi cambuk bagi mereka untuk menanggulangi HIV/AIDS dengan cara-cara yang realistis. Langkah konkret diperlukan agar insiden infeksi HIV baru bisa ditekan atau diturunkan sehingga penyebaran HIV rendah yang akhirnya mengurangi jumlah Odha yang memerlukan obat ARV.

Selama ini pemerintah kabupaten dan kota lebih banyak ‘berpangku tangan’ menunggu program pusat. Bahkan, tidak jarang program pusat dibendung dengan alasan tidak sesuai dengan kearifan lokal.

Maka, muncullah program-program penanggulangan HIV/AIDS dengan pijakan moral dan agama al. dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) yang justru tidak menyentuh akar persoalan. Misalnya, mengedepankan ‘iman dan taqwa’, perilaku sehat, setia dengan pasangan, dll. dalam program penanggulangan yang justru tidak terukur dan tidak menukik ke pencegahan yang realistis.

Program-program unggulan di daerah saat ini adalah anjuran tes HIV bagi masyarakat (ini salah kaprah karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV) dan tes HIV bagi ibu-ibu hamil. Ini adalah program di hilir yang justru perbuatan melawan hukum karena membiarkan warga tertular HIV karena tidak ada program penanggulangan di hulu.

Salah satu pintu masuk HIV/AIDS adalah melalui laki-laki dewasa yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV, yaitu:

(1) Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di daerah sendiri atau di luar daerah bahkan di luar negeri,

(2) Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Yang perlu diingat ada dua tipe PSK, yakni:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Dengan kondisi sekarang ketika transaksi seks yang melibatkan PSK langsung tidak dilokalisir, maka tidak ada program yang bisa dilakukan untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung.

Sekarang transaksi seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Kondisi ini sama sekali tidak bisa diintervensi untuk program penanggulangan sehingga insiden kasus infeksi HIV baru terus terjadi.

Pada gilirannya orang-orang yang tertular jadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Ini kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’ yang justru menambah jumlah Odha yang harus minum obat ARV sehingga memperbesar dana untuk AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *

28 Desember 2017

AIDS Jawa Barat: Salah Kaprah Sebut Didominasi Perilaku Gay

Ilustrasi (Sumber: www.personalhealthnews.ca)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Dalam KBBI disebutkan dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Kalau ini dikaitkan dengan judul berita “Jabar Masuk 5 Besar Pengidap HIV, Perilaku Gay Mendominasi” (detiknews, 20/12-2017) pemakain kata dominasi jelas salah kaprah.

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Barat dari tahun 1987 sd. 31 Maret 2017 adalah 29.939 yang terdiri atas 24.650 HIV dan 5.289 AIDS.

Pertama, gay adalah salah satu bentuk orientasi seksual yang menunjukkan laki-laki yang tertarik kepada laki-laki (sejenis) sehingga adalah hal yang mustahil gay menularkan HIV ke ibu-ibu rumah tangga dan bayi.

Kedua, judul berita tsb. merupakan penafsiran telanjang dari keterangan staf Dinkes  Jabar, Rosi Nurcahyani, pada acara “Pertemuan Peningkatan Kapasitas Jurnalis dalam P2HIV”, Bandung, 20/12-2017, yang mengatakan: .... kasus HIV cenderung diakibatkan oleh perilaku LSL. Perilaku seksual LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) adalah seks anal dan ini tidak mutlak hanya dilakukan oleh LSL dan gay karena pelaku sodomi (kekerasan seksual dengan seks anal) juga ada yang orientasi seksualnya heteroseksual (tertarik secara seksual dengan lawan jenis) dan tidak sedikit suami dan pacar yang memaksa istri dan pacarnya untuk melayani seks anal.

Ketiga, Rosi tidak memberikan gambaran yang utuh yaitu jumlah pengidap HIV/AIDS pada laki-laki dan perempuan. Kalau ditilik keterangan Rosi ada hal yang tidak konsisten dalam pernyataan “ .... kasus HIV cenderung diakibatkan oleh perilaku LSL” karena jumlah laki-laki heteroseksual yang berisiko tinggi tertular HIV yakni melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti berjumlah 944.000, sedangkan LSL hanya 300. Laki-laki heteroseksual bisa mempunyai istri lebih dari satu, punya pasangan lain dan ngesek pula dengan PSK.

Pelanggan waria disebutkan 44.000. Hasil studi di Surabaya menunjkkan laki-laki heteroseksual yang jadi pelanggan waria jadi ‘perempuan’ (ditempong) ketika terjadi seks anal. Waria menempong yaitu memasukkan penis ke anal laki-laki heteroseksual sehingga risiko tertular HIV/AIDS sangat tinggi yang ditandai dengan penemuan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga.

Ini pernyataan Rosi tentang temuan kasus HIV/AIDS, "Ini menunjukkan penanganan kasusnya sekarang lebih baik karena bisa terdata. Penemuannya sudah mulai baik." Cuma, Rosi lupa kalau kondisi ini ada di hilir. Artinya, warga Jabar dibiarkan dulu tertular HIV baru jalani tes HIV.

Dalam upaya menanggulangi penyebaran HIV/AIDS yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Hal ini tidak bisa dilakukan di Jawa Barat khususnya dan di Indonesia umumnya karena praktek PSK tidak lagi dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Selain itu perempuan warga Jabar yang pulang kampung pada musim-musim tertentu dari beberapa daerah bisa jadi mata rantai penyebaran HIV jika mereka di rantai sebagai pekerja seks (Baca juga: Wahai Perantau Berperilaku Berisiko, Ketika Mudik Janganlah SebarkanHIV/AIDS di Kampung Halamanmu).

Dalam berita ada penyebutan “ .... wanita penjaja seksual (WPS) ....” Ini jelas ngawur karena dalam KBBI disebutkan jaja adalah jual (dengan berkeliling). Nah, kapan pekerja seks komersial (PSK) menjajakan, maaf, vaginanya? Justru laki-laki, bahkan yang beristri, yang membawa, maaf, penisnya ke sana ke mari mencari ‘cinta kilat’ dengan PSK (Baca juga: Pemakaian Kata dalam Materi KIE AIDS yang Merendahkan Harkat dan MartabatManusia).

Ternyata sampai ‘hari gini’ masih saja ada upaya penyangkalan dan mencari-cari kambing hitam dalam penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. * [kompasiana.com/infokespro] *

24 Desember 2017

Orientasi Seksual Ada di Alam Pikiran

Ilustrasi (Sumber: www.drelist.com/sexual-orientation)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Belakangan ini banyak kalangan yang terus-menerus menyuarakan agar LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) masuk ranah pidana. Ada persoalan yang sangat mendasar adalah bahwa sesungguhnya orientasi seksual, dalam hal ini LGBT, ada di dalam pikiran.

Lalu, bagaimana memidanakan (alam) pikiran seseorang yang disebut-sebut sebagai (seorang) LGBT?

Di ranah realitas sosial wujud LGBT hanya tampak jelas pada kalangan transgender yaitu waria (laki-laki yang berpenampilan perempuan, sedangkan perempuan yang berpenampilan laki-laki tidak pernah jadi masalah). Sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak bisa dilihat dengan mata kepala karena tidak kasat mata. Artinya, lesbian, gay dan biseksual tidak mempunyai ciri khas yang berwujud pada penampilan diri yang bisa dilihat dengan dengan mata (kasat mata).

Kejahatan Seksual

Kalau LGBT masuk ranah pidana, maka alangkah malangnya nasib saudara-saudara kita yang terlahir dengan kecenderungan waria. Karena mereka tidak bisa menyembunyikan identitas gender mereka pun akan diciduk polisi karena masuk kategori pidana umum.

Jika dikaitkan dengan pidana yang jadi persoalan bukan orientasi seksual, tapi perbuatan seseorang terkait dengan kejahatan seksual dan kekerasan seksual tanpa membedakan orientasi seksual. Seorang heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) pun akan menghadapi dakwaan pidana jika melakukan kekerasan atau kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual, zina dan perkosaan.

Setengah orang yang memakai ‘baju moral’ melihat gejala LGBT sebagai kejahatan dan langsung membawanya ke ranah pidana. Celakanya, yang kasat mata hanya waria (transgender), sedangkan lesbian, gay dan biseksual tidak kasat mata.

Apakah ada hak seseorang, bahkan negara dengan dalih pidana, untuk menangkap seorang waria yang tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum terkait dengan seks dalam konteks LGBT?

Tentu saja tidak karena orientasi seksual ada di alam pikiran. Sedangkan waria sebagai perwujudan orientasi seksual bukan perbuatan yang melawan hukum positif. Kalau pun ada penolakan dari sebagian orang di masyarakat itu bukan alasan untuk memidankan waria selama tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.

Upaya-upaya untuk memasukkan LGBT sebagai perbuatan pidana terus bergulir bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Apa sebenarnya yang ada di benak orang-orang yang hendak memidanakan LGBT sebagai orientasi seksual?

Agaknya, ada yang salah kaprah dengan mengaitkan LGBT, dalam hal ini gay, dengan kejahatan seksual berupa sodomi yang melibatkan anak-anak. Sodomi sendiri adalah istilah dalam dunia hukum positif terkait dengan tindakan seksual yang tidak pada tempatnya, seperti seks oral dan seks anal, serta tidakan yang memakai alat kelamin ke organ-organ tubuh manusia yang bukan alat kelamin yang dilakukan oleh heteroseksual dan homoseksual, juga termasuk tindakan seks terhadap binatang.

Maka, sodomi tidak otomatis terkait dengan LGBT, dalam hal ini gay, biar pun gay melakukan hubungan seksual dengan cara seks anal.

Yang lain menyebutkan sodomi terhadap anak-anak dilakukan oleh pedofilia, yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak umur 7-12 tahun, sedangkan perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan remaja disebut cougar (Baca juga: Cougar, Fantasi Romantis Seks Remaja BagiPerempuan Dewasa).

Parafilia

Paedofilia tidak melakukan sodomi dan pelacuran anak. Mereka ini menyalurkan dorongan seksual dengan anak-anak melalui cara-cara yang diterima secara sosial, seperti menjadikan korban sebagai anak angka, keponakan angkat, anak asuh bahkan sebagai pasangan hidup.

Selanjutnya tidak sedikit pula orang, termasuk dokter dan aktivis AIDS, yang mengait-ngaitkan penyakit-penyakit kelamin (istilah yang tepat adalah infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang ditularakan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, virus hepatitis B, virus kanker serviks, dll.) dan HIV/AIDS dengan LGBT.

Tentu saja hal itu salah kaprah karen risiko tertular IMS dan HIV/AIDS atau kedua-duanya sekaligus bukan karena orientasi seksual dan sifat hubungan seksual (di alam atau di luar nikah), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap IMS atau HIV/AIDS atau kedua-duanya dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual). (Baca juga: RisikoPenularan HIV/AIDS Bukan karena Sifat Hubungan Seksual).

Yang berisiko tinggi tertular IMS dan HIV/AIDS bukan LGBT sebagai orientasi seksual, tapi tindakan seksual orang-orang yang berorientasi seksual sebagai LGBT yang berisiko (kecuali lesbian karena belum ada laporan kasus penularan HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian).

Sedangkan dari aspek penyebaran HIV/AIDS yang lebih serius adalah biseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis dan dengan yang sejenis disebut LSL yaitu Lelaki Seks dengan Lelaki) karena biseksual mempunyai pasangan tetap yaitu istri. (Baca juga: Perkosaan dalam Perkawinan dan Biseksual Jauh Lebih Seriusdaripada Zina dan Homoseks).

Bagi yang tetap memakai ‘kacamata kuda’ dalam memandang LGBT yang perlu digiring ke ranah pidana adalah tindakan seksual sodomi dan pedofilia terlepas dari orientasi seksual. Bahkan, orientasi seksual sebagai parafilia (menyalurkan dorongan seksual dengan cara lain) jauh lebih merusak daripada sekedar LGBT (Baca juga: Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual ’di atau dari SisiLain’).

Deviasi seksual terkait dengan parafilia ada yang disebut sebagai infantofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada bayi dan anak-anak berumur 0-7 tahun (Baca juga: Infantofilia Mengintai Bayi dan Anak-anak SebagaiPelampiasan Seks). Catatan penulis sudah lebih 50 kasus infantofilia yang ditangani polisi (Baca juga: Perppu Kejahatan Seksual: Infantofilia dan KorbanDewasa, Harus Bedakan Pelaku Sodomi dengan Paedofilia dan Cougar).

Selain itu ada pedofilia, eksebisionis (memamerkan bagian-bagian alat vital terkait seks), nekrofilia (seks dengan mayat), bestialis (seks dengan binatang, ini ada kasus di Tasikmalaya, Jabar, pemuda yang menyalurkan seks dengan sapi dan ayam), fetihisme (memakai benda-benda lawan jenis agar terangsang secara seksual), dll.

Kasus-kasus kejahatan seksual mulai dari pelecehan seksual, perkosaan, sodomi dan parafilia banyak yang tidak dilaporkan (dark number) karena berbagai alasan, seperti malu, diancam, dll. Maka, daripada sekedar medorong-dorong lembaga penegak hukum memidankan orientasi seksual yang mustahil dilakukan, maka akan jauh lebih arif kalau kita mendorong hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual karena derita korban seumur hidup. * [kompasiana.com/infokespro] *

AIDS di Kota Sukabumi: Penanggulangan di Hilir dengan Tes HIV

Ilustrasi (Sumber: www.istockphoto.com)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

Jargon-jargon penanggulangan HIV/AIDS terus berkumandang. Hanya saja jargon-jargon itu hanya sebatas retorika moral karena tidak menukik ke akar persoalan yaitu penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual berisiko.

Seperti yang dikumandangkan di Kota Sukabumi, Jawa Barat, ini. Seperti yang disebutkan oleh Ketua KPA Kota Sukabumi Achmad Fahmi : .... memberikan pengertian tentang pentingnya melakukan tes HIV dan melanjutkan dengan pengobatan ARV jika terdiagnosa HIV sedini mungkin (republika.co.id, 20/12-2017).

Sisebutkan pada tahun 2015 ditemukan 136 kasus HIV/AIDS baru, sedangkan pada tahun 2016 ditemukan 129 kasus HIV/AIDS baru,  dan pada kurun waktu Januari-November 2017 ditemukan 133 kasus HIV/AIDS baru.

Dalam epidemi HIV tes HIV adalah kegiatan di hilir. Kalau ada hasil tes HIV yang reaktif (positif) itu ybs. sudah tertular HIV. Jika seseorang yang melakukan tes HIV secara sukarela terdeteksi reaktif, maka ybs. minimal sudah tertular lebih dari tiga bulan. Nah, pada rentang waktu sejak tertular sampai tes HIV sudah terjadi penularan terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah tanpa disadari oleh pengidap HIV/AIDS.

Tes HIV penting bukan bagi semua warga Kota Sukabumi, tapi penting bagi, al.:

(1) warga Kota Sukabumi, laki-laki dan perempuan dewasa, yang pernah atau sering melalukan perilaku berisko yaitu hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

(2) warga Kota Sukabumi, laki-laki dewasa, yang pernah atau sering melalukan perilaku berisko yaitu hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK). Perlu diingat ada dua jenis PSK yaitu:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

Disebutkan dalam berita KPA Kota Sukabumi menjalankan program untuk mencapai tiga zero yaitu: tidak ada infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS  dan tidak ada stigama dan diskriminasi.

Persoalannya adalah kalau yang dilalukan untuk mencapai “tidak ada infeksi baru HIV” adalah tes HIV itu tentulah tidak masuk akal karena tes HIV ada di hilir. Langkah ini membiarkan warga Kota Sukabumi tertular HIV dahulu baru diminta melakukan tes HIV.

Jika mau mencapai tahap “zero kasus infeksi HIV baru”, maka tes HIV bukan jawaban karena warga sudah tertular HIV (di hulu). Laki-laki dewasa tertular HIV melalui hubungan seksual pada perilaku berisiko. Sedangkan ibu-ibu rumah tangga tertular dari suami, dan pada bayi yang baru lahir tertular secara vertikal dari ibu yang mengandungnya, terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Menghentikan insiden infeksi HIV baru adalah hal yang mustahil karena tidak mungkin mengawasi perilaku seksual semua laki-laki dewasa warga Kota Sukabumi. Dalam epidemi HIV yang bisa dilakukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung.

Program yang dikenal dengan sebutan ‘wajib kondom 100 persen’ bisa dilakukan melalui intervensi kepada laki-laki yang melalukan hubungan seksual dengan PSK langsung dengan persyaratan praktek transaksi seks dilokalisir.

Celakanya, sejak reformasi terjadi euforia yang menutup semua tempat pelacuran sehingga praktek jual-beli seks yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi ‘wajib kondom 100 persen’.

Maka, insiden infeksi HIV bar pada laki-laki dewasa akan terus terjadi kepada laki-laki dewasa warga Kota Sukabumi yang melakukan perilaku berisiko yang selanjutnya ditularkan ke pasangan, terutama istri. Pada terminal terakhir ibu-ibu yang tertular HIV dari suami menularkan HIV pula ke bayi yang dikandungnya. Maka, penularan HIV yang tidak bisa dikontrol ini bagaikan ‘bom waktu’ yang kelak sampai pada kondisi ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokespro] *

17 Desember 2017

Hoax, Ibu Rumah Tangga Lebih Rentan Terinfeksi HIV daripada PSK

Ilustrasi (Sumber: www.theredpumpproject.org)


Oleh: Syaiful W HARAHAP

Sebuah berita dengan judul “Ibu Rumah Tangga Lebih Rentan Terinfeksi HIV daripada PSK, Kok Bisa?” (kompas.com, 1/12-2017) jadi antiklimaks dan kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Dari aspek jurnalistik judul itu pun tergolong sebagai bohong (hoax) karena bertolakbelakang dengan fakta (medis) terkait dengan epidemi HIV/AIDS.

Pelanggan PSK

Seorang ibu rumah tangga pada kurun waktu selama terikat pernikahan hanya melakukan hubungan seksual dengan suaminya sehingga risiko tertular HIV pun hanya daria suaminya. Ini bisa terjadi kalau suaminya melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:

(1) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi tidak memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, dan


(2) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi tidaka memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), yakni:

(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan,

(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.

(3) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom melalui seks anal dengan waria.

Kalau seroang ibu rumah tangga melayani seorang suami tidak setiap malam, tapi seorang PSK tiap malam melayani 3-7 laki-laki. Risiko tertular HIV sangat tinggi karena dalam satu bulan seorang PSK ‘bekerja’ 20-25 hari. Itu artinya setiap bulan seorang PSK melayani hubungan seksual tanpa kondom dengan ratusan laki-laki. Jika di antara ratusan laki-laki itu ada yang mengidap HIV/AIDS, maka PSK tsb. berisiko terular HIV/AIDS.

Selanjutnya setiap malam PSK yang tertular HIV/AIDS melayani hubungan seksual dengan 3-7 laki-laki tanpa kondom. Di antara laki-laki itu ada yang beristri sehingga kalau laki-laki tsb. tertular HIV dari PSK, maka ada pula risiko penularan HIV ke isteri melalui hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah.

Catatan Kemenkes RI sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta laki-laki Indonesia yang jadi pelanggan 230.000 PSK langsung. Dari jumlah ini 4,9 juta di antaranya beristri (antarabali.com, 9/4-2014). Sampai September 2014 dilaporkan ada 6.539 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap hIV/AIDS (nasional.republika.co.id, 15/1-2015). 

Jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS diketahui melalui tes HIV pada saat hamil. Sedangkan kasus HIV/AIDS pada PSK sebagian besar didapat melalui survailans tes HIV yang dilakukan secara sporadis di tempat-tempat pelacuran terbuka yang melibatkan PSK langsung. Tidak semua tempat transaksi seks dijangkau untuk menjalankan survailans tes HIV (survaians tes HIV hanya untuk mengetahui perbandingan jumlah PSK yang mengidap HIV/AIDS dan yang tidak mengidap HIV/AIDS saat tertentu).



Kesimpulan yang menyatakan ibu rumah tangga lebih berisiko tertular HIV daripada PSK bertolak dari jumlah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dibandingkan dengan jumlah kasus HIV/AIDS pada PSK. Ini membuat kesimpulan dengan jalan pikiran sendiri bukan dengan analisis data. Coba lihat Gambar. Puluhan bahkan ratusan laki-laki melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan 1 PSK. Maka, biar pun ratusan laki-laki yang ngeseks itu mengidap HIV/AIDS yang tertular hanya 1 PSK. Sebaliknya, 1 PSK yang mengidap HIV/AIDS melayani hubungan seksual tanpa kondom dengan ratusan laki-laki yang sebagian di antaranya beristri. Nah, kalau separuh saja dari laki-laki itu yang tertular HIV tentulah jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV akan jauh lebih banyak dari PSK.

Dalam berita disebutkan: Dikutip dari Kompas.com, Selasa (10/11/2017), Mareno selaku Koordinator D-KAP Riau, organisasi pemerhati HIV/AIDS Riau berkata bahwa PSK justru lebih bersiap untuk mencegah HIV dengan memakai kondom.

Sudut Pandang Laki-laki

Fakta menunjukkan PSK tidak pernah memakai kondom karena di Indonesia tidak ada penjualan kondom perempuan. Pernyataan organisas pemerhati HIV/AIDS Riau itu ngawur. Yang dilakukan di Indonesia adalah PSK meminta agar laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual. Program ini tidak efektif karena banyak faktor, misalnya, larangan sosialisasi kondom, tidak ada sanksi bagi laki-laki yang menolak memakai kondom, dll.

Biar pun di lokalisasi pelacuran diberlakukan ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang akan ngeseks dengan PSK tetap saja tidak berguna karena ada saja PSK yang melayani pacar atau suaminya tanpa kondom. Padahal, pacar dan suami itu juga ngeseks di tempat lain. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian di satu lokalisasi pelacuran yang menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’, tapi tetap saja ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, virus kanker serviks, jengger ayam, klamidia, herpes genitalis, dll.), bahkan HIV/AIDS.

Berita ini pun menghakimi ibu-ibu rumah tangga melalui pernyataan: Masalah ini diperkeruh dengan keengganan ibu rumah tangga untuk mencegah penyebaran dan penularan HIV.

Pernyataan itu benar-benar tidak masuk akal sehat karena ibu-ibu rumah tangga adalan objek yang jadi korban.  Bagaimana mungkin seorang istri bertanya kepada sumai tentang perilaku seks suami di luar rumah atau meminta suami memakai kondom ketika sanggama. Bisa terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena banyak laki-laki yang memakai pola patriarkat dengan menempatkan istri sebagai sub-ordinat laki-laki (baca: suami).
           
Ada lagi pernyataan: “Adapun ibu rumah tangga lebih banyak ditularkan oleh suaminya yang berperilaku menyimpang di luar rumah,” .... Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam hal ini menyimpang, tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta. Kalau sepasang laki-laki dan perempuan tidak mengidap HIV/AIDS apa pun bentuk, sifat, gaya, dll. hubungan seksual yang mereka lakukan tidak ada pernah terjadi penyularan HIV/AIDS.

Disebutkan: Artikel Hellosehat yang ditulis oleh Fauzan Budi Prasetya dan datanya ditelaah oleh dr Tania Savitri mengungkapkan bahwa masih banyak ibu rumah tangga yang menolak menjalani tes HIV.

Itu artinya artikel tsb. ditulis dengan sudut pandang laki-laki sehingga memojokkan perempuan. Mengapa bukan suami yang menjalani tes HIV ketika istrinya hamil?

Selama penanggulagan HIV/AIDS tidak menukik ke fakta medis tentang penularan dan pencegahan, maka selama itu pula penyebaran HIV terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. * [kompasiana.com/infokesprohttps://www.kompasiana.com/infokespro/5a3749385e137317921b0376/hoax-ibu-rumah-tangga-lebih-rentan-terinfeksi-hiv-daripada-psk] *

11 Desember 2017

Dua Puluh Ribu Pelajar SMP dan SMA di Jawa Tengah Mengidap HIV/AIDS?

Ilustrasi (Sumber: Washington DC YouthForce)

Oleh: Syaiful W HARAHAP

“Jawa Tengah darurat HIV/AIDS, tercatat 20.000 pelajar terjangkit.” Judul berita di merdeka.com (7/12-2017) ini benar-benar fantastis. Dalam laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017, disebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jateng adalah 24.569. Tidak tanggung-tanggung penjelasan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jawa Tengah pelajar itu di tingkat SMP dan SMA.

Angka yang dilansir oleh BNP Jateng itu disebutkan data itu dari KPA. Tidak jelas apakah yang dimaksud dengan KPA adalah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah.

Angka 20.000 disebutkan dari tahun 1993-2017, ada beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu:  

Pertama, tidak jelas apakah angka 20.000 tsb. bagian dari jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS Jateng seperti yang dilaporkan Ditjen P2P.

Kedua, tidak ada penjelasan tentang faktor risiko (cara penularan) HIV kepada 20.000 pelajar SMP dan SMA di Jateng itu.

Ketiga, jika 20.000 kasus HIV/AIDS pada pelajar SMP dan SMA terjadi dengan faktor risiko hubungan seksual itu artinya pelajar SMP dan SMA di Jateng termasuk yang berperilaku  berisiko tinggi tertular HIV, al. sering melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dengan kondisi pelajar laki-laki tidak memakai kondom

Keempat, tidak dijelaskan komposisi jenis kelamin 20.000 pelajar yang mengidap HIV/AIDS tsb. Ini penting karena kalau banyak pelajar putri yang idap AIDS bisa jadi dari pacar mereka yang perilaku seksualnya berisiko atau pelajar yang idap AIDS itu ‘nyambi’ jadi PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata dan tidak mangkal di lokasi/tempat pelacuran, seperti pelajar, mahasiswi, pemijat, ibu-ibu, dll.).

Kelima, tidak ada penjelasan tentang sebaran kasus pada pelajar SMP dan SMA. Apakah terpusat di kota atau di desa?

Keenam, tidak ada penjelasan tentang status mereka sebagai pelajar. Apakah pihak sekolah mengetahui atau tidak? Apakah ada yang dikeluarkan dari sekolah?

Dengan enam pertanyaan itu menunukkan berita ini hanya mengusung sensasi tanpa fakta (empiris). Bahkan, di bagian awal berita ada penjelasan yang sangat naif yaitu mengait-ngaitkan kasus pelajar itu dengan kemajuan teknologi sehingga “ .... pergaulan anak muda menjadi agak kebarat-baratan. Parahnya, sampai menerobos norma budaya ketimuran yang selalu dijaga para pendahulu.”

Perilaku seksual yang berisiko tertular HIV tidak ada kaitannya dengan kebarat-baratan. Bahkan, masyarakat di Barat sono justru menerapkan seks yang aman ketika melalukan hubungan seksual yang berisiko yaitu memakai kondom.

Data yang disampiakan oleh Asisten Pengelola Program KPA Jateng, Gardea Tyas Wardani, bertolak belakang dengan laporan Ditjen P2P. Sampai tanggal 31 Maret 2017 laporan Ditjen P2P menyebutkan kumulatif kasus HIV/AIDS di Jateng adalah 24.569. Sedangkan Gardea dalam berita disebutkan memberikan angka 18.913. Bukankan angka yang dilansir Ditjen P2P justru laporan dari Dinkes dan KPA Jateng?

Ada pernyataan yang menyebutukan “Ironinya, tak sedikit pengidap HIV/AIDS tidak sadar jika mereka sudah tertular.”

Memang itulah masalah besar dalam penanggulangan HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular).

Celakanya, orang-orang yang mengidap HIV/AIDS dan tidak terdeteksi tanpa mereka sadari akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom setiap kali terjadi hubungan seksual.

Disebutkan pula dalam berita “ .... Banyak yang masih malu untuk melakukan pemeriksaan maupun cek kesehatan. ....”

Pernyataan ini tidak akurat karena tidak dijelaskan siepa yang masih malu. Tidak semua orang harus tes HIV karena tidak semua orang berperilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS. * [kompasiana.com/infokespro] *

30 November 2017

Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2017: Kelahiran Jutaan Bayi di Indonesia Dihantui AIDS dan Stunting

Ilustrasi (Sumber: pinterest.com) 

Oleh: Syaiful W HARAHAP


Survei tahun 2012 menunjukkan 4,9 juta perempuan di Indonesia mempunyai suami yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Dilaporkan 6,7 juta laki-laki jadi pelanggan PSK. Sedangkan jumlah sindrom stunting (perawakan pendek karena kegagalan pertumbuhan akibat kekurangan nutrisi) pada anak-anak Indonesia mencapai 8,9 juta. Hari ini, 1 Desember 2017, secara internasional diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day).

Sayang, di Indonesia Hari AIDS Sedunia hanya bagian dari kegiatan seremonial yang tidak bermakna karena tidak berkesinambungan. Ada yang seminar, diskusi, bagi-bagi kondom, bagi-bagi brosus dan kembang, dll. Pada saat yang sama perilaku berisiko terjadi di sembarang tempat yang menghasilkan kasus-kasus infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa.

Tanpa Gejala

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan secara nasional pada priode 1987 sd. 31 Maret 2017 mencapai 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan  87.453 AIDS. Data UNAIDS (Badan PBB khusus AIDS) menyebutkan jumlah penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS sampai tahun 2016 sebenyak 36,7 juta. Yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) 20,9 juta.

Dari jumlah kasus di atas kasus infeksi HIV pada bayi berusia di bawah 4 tahun 5.171 (2010-Maret 2017), sedangkan kasus AIDS pada bayi berumur < 1 tahun 307 (1987 – Maret 2017) dan pada bayi berumur 1-4 tahun 1.650 (1987 – Maret 2017).

Angka-angka di atas hanya kasus yang ditangani secara medis di fasilitas-fasilitas kesehatan pemerintah yang dilaporkan secara rutin ke Ditjen P2P, Kemenkes RI. Seperti diketahui epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi atau tersembunyi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Itu artinya banyak penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat tapi tidak terdeteksi. Hal ini terjadi karena: (a) tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau cir-ciri yang khas AIDS pada kondisi kesehatan dan fisik orang-orang yang tertular HIV/AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik muncul setelah tertular HIV antara 5-15 tahun), dan (b) tidak ada cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi atau menjaring penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis retrovirus yang hidup di tubuh manusia yang bisa menggandakan diri dengan menggunakan sel-sel darah putih sebagai ‘pabrik’, yang pada akhirnya akan menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu sisdroma kecacatan sistem kekebalan tubuh manusia dapatan bukan turunan) pada manusia yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Pada akhirnya infeksi-infeksi oportunistik inilah, seperti diare, TB, dll., yang menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS, disebut juga secara internasional dengan terminologi Odha (Orang dengan HIV/AIDS, dalam Bahasa Inggris disebut people living with HIV/AIDS/PLWA).

Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV ada dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Penularan HIV terjadi: (a) melalui hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah dan di luar pernikahan jika salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/ADS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual, (b) menerima transfusi darah yang mengandung HIV, (c) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah yang mengandung HIV, dan (d) melalui ASI pada proses menyusui kepada perempuan yang mengidap HIV/AIDS.

Ketika tidak ada program yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, maka penyebaran HIV/AIDS pun terjadi terus-menerus tanpa di sadari oleh orang-orang yang menularkan dan yang tertular karena tidak ada tanda yang khas ketika terjadi penularan HIV. Penyebaran HIV tanpa disadari terjadi melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Yang ironis adalah banyak kalangan yang mati-matian menolak kondom tapi mengharapkan vaksi AIDS. Ini ‘kan konyol dan munafik (Baca: Ironis: Kondom Ditolak, Vaksin AIDS Ditunggu-tunggu).


Ilustrasi (Sumber: unaids.org)
Mitos AIDS

Memang, kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga tidak banyak terdeteksi tapi di beberapa daerah justru lebih banyak daripada jumlah kasus pada PSK. Ini sebenarnya hal yang wajar karena seorang PSK bisa meladeni tujuh laki-laki setiap malam [Baca: Dibanding PSK, Ibu Rumah Tangga Lebih Banyak yang (Berisiko) Tertular HIV/AIDS].

Sampai September 2014 dilaporkan ada 6.539 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap hIV/AIDS (nasional.republika.co.id, 15/1-2015). Sedangkan kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sampai Maret 2017 pada bayi di bawah umur 1 tahun dan pada umur 1-4 tahun berjumah 7.128. Angka-angka ini menunjukkan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga ada yang tidak terdeteksi. Padahal, data menunjukkan ada 4,9 perempuan yang menikah dengan laki-laki yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Sejak reformasi ada euforia di Indonesia yaitu membuat peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang jumlahnya mencapai 98 (provinsi, kabupaten dan kota). Celakanya, perda-perda itu tidak lebih dari ‘macan kertas’ karena tidak menyasar persoalan yang mendasar kepada cara-cara pencegahan HIV/AIDS. Perda-perda AIDS itu sarat dengan retorika norma, moral dan agama sehingga mengabaikan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Risiko penularan HIV kepada bayi terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan menyusui dengan ASI. Risiko di negara-negara berkembang menyentuh angka 30 persen. Artinya, dari 100 perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS ada 30 bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Tapi, jika permpuan hamil ditangani dokter pada awal kehamilan, al. dengan memberikan obat antiretrorial (ARV), risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa ditekan sampai nol persen.

Persoalan besar adalah banyak ibu rumah tangga yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dari suaminya karena mereka bukan perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Sementara itu banyak laki-laki, termasuk suami, yang termakan mitos (anggapan yang salah) yaitu merasa dirinya tidak berisko tertular HIV/AIDS karena: (1) mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK, (2) mereka tidak melakukan hubungan seksual di lokasi atau lokalisasi pelacuran, dan (3) sebagian melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam ikatan pernikahan.

Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang ditandai dengan penemuan kasus HIV/AIDS pada turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987) banyak kalangan bahkan menteri yang mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan homoseksualitas, perzinaan, dan pelacuran. Jargon-jargon moral terus membalut informasi HIV/AIDS sampai sekarang sehingga banyak orang yang lalai dan abai terkait dengan perilakunya sehingga terjadi penyangkalan (denial) dengan tiga alasan di atas.

Pada poin 1 terjadi salah paham karena mitos yang mengangap hanya PSK yang berisiko tertular HIV/AIDS. Lebih tepat lagi yang mereka sebut PSK itu adalah PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti perempuan di tempat-tempat pelacuran atau di tepi jalan raya.

1000 HPK

Padahal, ada PSK tidak langsung yaitu yang tidak kasat mata. Mereka ini bisa menyamar sebagai anak sekolah, pelajar, mahasiswi, pemijat, SPG, ibu-ibu, dan cewek gratifikasi seks (perempuan yang diumpankan terkait dengan bisnis dan kekuasaan), dll. Perilaku seksual PSK tidak langsung juga persis sama dengan PSK langsung sehingga risiko mereka terular HIV juga sangat tinggi karena sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja terjadi salah satu laki-laki yang mereka layani secara seksual mengidap HIV/AIDS sehingga PSK tidak langsung itu pun bisa tertular HIV/AIDS.

Nasib jutaan bayi yang akan lahir di Indonesia selain berisiko lahir dengan HIV/AIDS juga ada risiko lahir dengan stunting (sindroma perawakan pendek). Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) [mca-indonesia.go.id]. Sedangkan angka kelahiran setiap tahun di Indonesia menunjukkan angka 4,9 juta (kompas.com, 8/6-2015). Menteri Kesehatan Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, mengatakan dalam tiga tahun terakhir ada 37,2 persen atau sekitar 9 juta anak di Indonesia mengalami stunting (nasional.tempo.co, 12/7-2017).

Itu artinya beban bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV/AIDS akan lebih menderita lagi karena selain lahir dengan HIV/AIDS juga berisikok lahir dengan sindroma stunting. Risiko tertular HIV terjdai pada masa kehamilan, persalinan dan menyusi. Sedangkan risiko lahir dengan stunting sangat tergantung pada masa kehamilan dan bayi sampai usia dua tahun yang disebut sebsagai 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).

Risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan risiko lahir dengan sindroma stunting bisa dicegah.

Sayangnya, dalam 98 Perda AIDS tak satu pun ada pasal yang bisa dipakai untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ‘tersembunyi’ di masyarakat. Maka, tidak diperlukan perda dengan puluhan pasal yang mengambang, tapi cukup satu atau dua pasal yang konkret dan secara faktual bisa mendeteksi kasus-kasua HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat.

Caranya?

Ya, ada peraturan yang mewajibkan suami menjalani konseling HIV/AIDS ketika istrinya hamil. Kalau hasil konseling mengarah ke perilaku seksual suami yang berisiko tertular HIV, maka suami wajib tes HIV yang diikuti oleh istri. Langkah ini bermakna banyak. Pertama, akan memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal yaitu mengendalikan perilaku suami agar tidak menularkan HIV ke perempuan lain. Kedua, mencegah penularan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ketiga, menangani suami dan istri secara medis agar tetap hidup produktif, al. dengan pemberikan obat ARV dan pendampingan.

Sedangkan untuk mengatasi sindroma stunting adalah dengan pemberikan nutrisi pada 1000 HPK melalui layanan kesehatan di Posyandu dan Puskesmas. Hanya saja perlu diperhatian peringatan dari Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K)-Dokter Spesialis Anak-RSCM/FKUI, bahwa untuk menentukan apakah seorang bayi mengalani sindroma stunting atau tidak perlu diagnosis dokter ahli, dalam hal ini spesialis anak. Hal ini disampaikan Dr Damayanti pada pembekalan 20 blogger (peserta “Danone Blogger Academy” bersama Kompasiana di Kantor Danone Indonesia, Gedung Cyber 2, Kuningan, Jakarta Selatan, 3/11-2017).

Jangka pendek stunting menyebabkan perkembangan otak, fisik dan organ metabolik pada 1000 HPK tidak optimal, sedangkan jangka panjang stunting menyebabkan penurunan kemampan kognitif dan pendidikan, tubuh pendek, serta berbagai penyakit degeneratif (Danone Manifesto). Jika bayi lahir dengan stunting sekaligus infeksi HIV itu artinya penderitaan seumur hidup.

Maka, sudah saatnya pelayanan di Posyandu dan Puskesmas tidak lagi mementingkan laporan angka kunjungan, tapi diagnosis terkait dengan tinggi dan berat badan bayi sampai berumur dua tahun serta kondisi kesehatan ibu hamil, al. konseling HIV/AIDS. *