18 Juni 2016

Pak Luhut, Tidak Ada Kaitan Langsung antara Penularan HIV/AIDS dan Sembahyang .... -

Oleh: Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Selain penggunaan obat-obatan yang mengandung ekstasi dan narkoba, ia mengatakan ancaman terberat bagi masyarakat adalah penyakit HIV/AIDS. "Saya kadang-kadang tanya juga, kita ini katanya orang beragama, semua sembahyang tapi kok banyak sekali (kasus)." Ini pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan kepada masyarakat di Kabupaten Merauke, Papua dalam berita “Luhut: Kalian Hati-hati jika Mendapat Tawaran Obat Kuat..” di kompas.com (17/6-2016).

Bukan hanya di Indonesia pada awalnya HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan moral dan agama, tapi banyak negara di dunia sudah memakai nalar sehingga mereka tidak lagi terjebak pada mitos (anggapan yang salah) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.

Ketika banyak negara sudah menanggalkan penyangkalan berbau moral dan agama, Indonesia justru sampai sekarang tetap mengaitkan moral dan agama secara langsung dengan HIV/AIDS.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi (saat) hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS, suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, selingkuh, seks bebas, dll.).

Celakanya, sejak pemerintah mengakui HIV/AIDS sudah ada di Indonesia (1987) sampai sekarang penanggulangan HIV/AIDS tetap dikaitkan moral dan agama. Berbagai pernyataan pejabat, bahkan menteri kesehatan, sebagian pakar dan aktivis selalu mengaitkan perilaku amoral dan aagamis dengan penularan HIV/AIDS.

Bahkan, dalam banyak peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS disebutkan bahwa mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan ‘iman dan taqwa’.

Pertama, apa alat ukur ‘iman dan taqwa’?

Kedua, siapa yang diberi mandat oleh Tuhan untuk mengukur ‘iman dan taqwa’ seseorang?

Ketiga, seberapa ukuran ‘iman dan taqwa’ yang bisa mencegah penularan HIV?

Di sisi lian pengaitan ‘iman dan taqwa’ mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena masyarakat akan melihat orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena karena tidak punya ‘iman dan taqwa’.

Di Perda lain disebutkan pula untuk mencegah HIV adalah dengan meningkatkan ketahahan keluarga. Ini juga perlu alat ukur, tapi apakah ada ukuran ‘ketahanan keluarga’ yang tepat yang bisa mencegah HIV/AIDS?

Maka, Pak Luhut rupanya tidak mengikuti perkembangan pola pikir sebagian besar pola penanggulangan HIV/AIDS yang sama sekali tidak beranjak dari sisuati di awal epidemi (1987).

Terkait dengan HIV/AIDS di Merauke ada penyangkalan yang sangat kuat yang mengabaikan perilaku seks sebagian laki-laki di sana dengan menyalahkan nelayan Thailand sebagai penyebar HIV/AIDS. Belakangan ‘kambing hitam’ tertuju kepada pekerja seks komersial (PSK).

Adalah hal yang mustahil HIV sebagai virus disebarkan oleh nelayan Thailand ke penduduk Merauke karena penularan HIV al. melalui hubungan seksual tanpa kondom. Maka, yang jadi pertanyaan adalah: Bagaimana virus HIV pada nelayan Thailand pindah ke penduduk Merauke?

Di salah satu sesi pada Kongres AIDS Internasional Asia dan Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina (1997), Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM & PLP Depkes, diprotes oleh aktivis AIDS Thailand karena menuding nelayan Thailandlah yang menyebarkan HIV/AIDS di Merauke. “Apakah penduduk Merauke tidak ada yang keluar daerah dan melakukan hubungan seksual berisiko?” sergah gadis aktivis itu.

Di bagian lain Luhut meminta para petinggi TNI AD, AL dan kepolisian, serta bupati dan tokoh agama setempat untuk bersama-sama masyarakat membendung penyebaran HIV/AIDS dan narkoba.

Narkoba tidak bisa dibendung karena diperlukan juga untuk medis, seperti obat anestesi pada pasien yang menjalani bedah. Yang bisa dibendung adalah penyalahgunaan narkoba.

Sedangkan HIV/AIDS sama sekali tidak bisa dibendung karena virus ada di dalam tubuh orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Yang bisa dilakukan adalah mengajak laki-laki dewasa penduduk Merauke agar tidak melakukan perilaku berisiko di Merauke atau di luar Merauke, yaitu: 

(a) Tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, dan 

(b) Tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Persoalannya adalah: Apakah ajakan tidak melakukan perilak berisiko serta-merta diikuti oleh laki-laki dewasa?

Tentu saja tidak!

Maka, langkah konkret adalah melakukan intervensi yaitu ‘wajib memakai kondom’ terhadap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Apakah langkah ini berjalan di Merauke?

Kalau tidak diterapkan itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi sehingga penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terus terjadi. Kondisi ini kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***  ***

16 Juni 2016

Di Temanggung, Jateng, Suami-suami “Dibiarkan” Tularkan HIV ke Istri ....

Oleh: Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia

“Ia (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, Suparjo-pen.) mengatakan bahwa tingginya jumlah balita penderita HIV maka sosialisasi pencegahan penyakit tersebut diutamakan kaum ibu, khusus ibu hamil.” Pernyataan ini ada dalam berita “21 balita di Temanggung menderita HIV/AIDS” (antaranews, 15/6-2016).

Pernyataan Suparjo ini menunjukkan betapa perempuan yang selalu disalahkan di satu sisi dan di sisi lain mereka dibiarkan tertular HIV. Kalau saja penanggulangan HIV/AIDS dilakukan dengan cara-cara yang realistis, maka sosialisasi pencegahan HIV/AIDS ditujukan kepada laki-laki karena dalam kasus ibu hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang menjadi ‘aktor’ sebagai penular adalah suami.

Disebutkan di Temanggung terdeteksi 21 balita yang mengidap HIV/AIDS. Angka ini membuka fakta yaitu ada 21 istri dan 21 suami yang mengidap HIV/AIDS. Kalau 21 suami itu mempunyai istri lebih dari 1, maka perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian banyak.

Sosialiasi kepada ibu-ibu hamil agar mengikuti program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya adalah program di hilir. Artinya, Pemkab Temanggung membiarkan istri-istri ditulari HIV oleh suami mereka.

Maka, langkah yang tepat adalah mengajak suami-suami untuk menjaga agar istrinya tidak tertular HIV. Dalam hal ini ada tiga pilihan, yaitu:

Pertama, sama sekali tidak melakukan hubungan seksual yang berisiko, yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, dan (b) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Dalam hal ini PSK langsung dan PSK tidak langsung.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Kedua, melakukan perilaku berisiko dengan selalu memakai kondom pada setiap hubungan seksual.

Ketiga, melakukan perilaku berisiko tanpa memakai konom pada setiap hubungan seksual, tapi selalu memakai kondom jika sanggama dengan istri.

Selama sosialiasi hanya ke ibu-ibu, dalam hal ini istri, maka penyebaran HIV/AIDS di Temanggung kelak akan berakhir pada ‘ledakan AIDS’ karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi pada laki-laki dewasa (baca: suami). Suami-suami itu menularkan HIV ke istri(-istri)nya dan pasangan seks yang lain yang selanjuta istri atau perempuan yang tertular HIV akan menularkan HIV pula ke bayi yang mereka kandung. ***

13 Juni 2016

HIV/AIDS di Lanny Jaya, Papua: “Pak Bupati, Tes Darah adalah Penanggulangan di Hilir ....”


Oleh: Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Guna mengidentifikasi tingkat pengidap dan penyebaran HIV/AIDS, Bupati Lanny Jaya, Provinsi Papua, mencanangkan program tes darah bagi warga, pegawai negeri sipil (PNS), dan seluruh anggota TNI/Polri di sana.” Ini lead pada berita “Identifikasi Pengidap HIV/AIDS, Bupati Canangkan Program Tes Darah” (news.okezone.com, 11/6-2016).

Ada beberapa hal yang terkait dengan rencana bupati terkait dengan tes HIV terhadap semua warga, al.: Pertama, tes HIV (dalam berita disebut tes darah) adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkab Lanny Jaya membiarkan penduduk tertular HIV.

Kedua, ada masa jendela. Artinya, ada penduduk yang menjalani tes HIV baru tertular HIV di bawah tiga bulan hasil tes bisa negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV).

Terkait dengan hal yang pertama, maka yang perlu dilakukan Pemkab Lanny Jaya adalah merancang program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Soalnya, jika tes HIV mendeteksi ada penduduk yang mengidap HIV/AIDS itu artinya penduduk tadi sudah tertular, bahkan bisa jadi dia sudah pula menularkan HIV ke orang lain tanpa mereka sadari.