11 Juni 2016

Thailand Berhasil Memastikan “Generasi Bebas AIDS”, Bagaimana dengan Indonesia?

“Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Thailand telah menjadi negara pertama di Asia yang berhasil menghentikan transmisi HIV dari ibu ke anak.” In lead pada berita “Thailand Berhasil Hilangkan Transmisi HIV Ibu-Anak” (BBC Indonesia, 8/6-2016).

Berita ini menyentak karena data Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, sampai tanggal 31 Desember 2015 di Indonesia terdeteksi 10.626 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS yang sudah sampai pada masa AIDS (kondisi ketika sistem kekebalan tubuh sudah rusak dan mudah dimasuk penyakit yang terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Sedangkan jumlah anak berusia di bawah empat tahun yang hidup dengan HIV/AIDS dari tahun 2010-2015 sebanyak 3.441 (tahun 2015 data sampai dengan bulan April).

Secara global setiap tahun, 1,4 juta pengidap HIV akan hamil. Jumlah anak yang lahir dengan HIV/AIDS setiap tahun mencapai 400.000 pada tahun 2009, namun pada tahun 2013 turun jadi 240.000 karena program pencegahan.

Itu artinya ada 10.626 bayi yang akan lahir di Indonesia dengan HIV/AIDS yang tertular secara vertikal dari ibu-ke-bayi pada masa kehamilan atau pada saat persalinan. Celakanya, tidak ada program yang komprehensif untuk mendeteksi ibu-ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS karena yang ada hanya anjuran kepada ibu hamil ketika memeriksakan kehamilan di sarana kesehatan pemerintah.

Soalnya, tanpa program pencegahan pada ibu hamil risiko tertular HIV pada bayi bisa mencapai 45 persen. Artinya, jika ada 100 perempuan pengidap HIV/AIDS melahirkan ada 45 bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Kalau ditangani dokter dalam program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungya (dikenal luas sebagai PMTCT/Prevention of mother-to-child transmission), al. dengan pemberian obat dan persalinan dengan operasi caesar, risiko 1 persen bahkan bisa nol persen.

Pernyataan WHO menyebutkan Thailand adalah negara pertama dengan jumlah pengidap HIV/AIDS yang tinggi yang bisa memastikan generasi bebas AIDS. Ini benar-benar menyentak karena Indonesia dengan kasus yang jauh lebih kecil dari Thailand ternyata tidak mempunyai program yang konkret dengan skala nasional untuk memastikan generasi yang besar AIDS.

Disebutkan oleh Direktur Eksekutif UNAIDS, Michel Sidibe: "Kemajuan Thailand menunjukkan hal yang dapat dicapai ketika ilmu pengetahuan dan obat, didampingi dengan keberlangsungan kehendak politik.”

Keputusan politik di Thailand dalam penanggulangan HIV/AIDS memang menjadi pilar utama, seperti pemberlakuan ‘program wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Program ini hanya bisa dijalankan dengan efektif kalau PSK dilokalisir. Celakanya, di Indonesia promosi kondom pun sudah ditentang habis-habisan oleh banyak kalangan. Lalu, pemerintah melalui Kemensos mati-matian pula menutup lokasi pelacuran di seluruh Indonesia.

Salah satu pintu masuk HIV/AIDS ke ibu rumah tangga adalah dari suami yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu suami-suami yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung atau PSK tidak langsung.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Karena tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual yang berisiko, maka jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV akan terus bertambah. Pada giliranya bayi yang lahir dengan HIV/AIDS pun terus bertambah karena tidak ada program yang konkret dengan skala nasional untuk mendeteksi HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga.

Untuk itu pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah (kabupaten dan kota) karena masalah kesehatan sudah dilimpahkan ke daerah, harus membuat aturan yaitu peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami dari perempuan hamil yang memeriksa kehamilan atau berobat ke sarana kesehatan pemerintah menjalani konseling HIV/AIDS dan tes HIV jika perilakunya berisiko.

Istri atau pasangan dari suami atau laki-laki yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pun menjalani konseling HIV/AIDS dan tes HIV. Selanjutnya, mengikuti program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi agar bayi yang lahir kelak bebas HIV/AIDS.

Tanpa program yang realistis, maka jumlah ibu yang tertular HIV akan bertambah dan bayi yang lahir dengan HIV pun akan banyak. Kelak akan terjadi ‘lost generation’ karena bayi-bayi yang lahir hidup dengan HIV/AIDS sepanjang hidupnya. ***

07 Juni 2016

Di Kudus, Penanggulangan AIDS Abaikan Laki-laki ‘Hidung Belang’ sebagai Penyebar HIV/AIDS

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Selanjutnya, perlu ada perhatian terhadap populasi kunci, yakni keberadaan kaum LSL atau lelaki suka lelaki, waria, wanita pekerja seks. Bentuk perhatiannya tentunya penanganan apakah ada yang terkena HIV-AIDS.” Ini pernyataan dalam berita “Perlu Ada Kesinambungan dalam Penanganan HIV-AIDS” di suaramerdeka.com (6/6-2016). 

Hal di atas terjadi di Kab Kudus, Jawa Tengah. Jumlah temuan kasus HIV/AIDS di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dari tahun 2013 hingga September 2015 tercatat mencapai 242 kasus dan 55 penderita di antaranya meninggal dunia (news.okezone.com, 1/12-2015).

.

Langkah penanggulangan yang disebutkan di atas merupakan bagian upaya di hilir. Artinya, sudah terjadi penularan dari masyarakat ke populasi kunci dan dari populasi kunci ke masyarakat. Itu sama saja dengan melakukan pembiaran sehingga ada warga yang menularkan HIV/AIDS dan ada pula yang tertular HIV/AIDS.

(1) Ada laki-laki dewasa yang menularkan HIV/AIDS ke salah satu atau beberapa orang di komunitas populasi kunci karena tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pelaku poligami, pacar, selingkuhan, PIL (Pria Idaman Lain), dll.

(2) Ada laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS dari salah satu atau beberapa orang di komunitas populasi kunci karena tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pelaku poligami, pacar, selingkuhan, PIL (Pria Idaman Lain), dll.

Laki-laki pada poin (1) dan (2) menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Nah, yang jadi persoalan besar dalam penyebaran HIV/AIDS bukan populasi kunci, tapi laki-laki pada poin (1) dan (2).

Maka, untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS adalah diperlukan program yang konkret yaitu ‘program wajib kondom’ bagi laki-laki (‘hidung belang’) berupa intervensi agar laki-laki tsb. selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan populasi kunci.

Sayangnya, intervensi ‘program wajib kondom’ hanya bisa dijalankan dengan efektif jika praktek pekerja seks komersial (PSK) dilokalisir yaitu terhadap PSK langsung, sedangkan terhadap PSK tidak langsung program itu tidak bisa dijalankan.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Dalam berita pihak Dinas Kesehatan Kab Kudus mengatakan: ada  tiga rencana tindakan pengendalian HIV-AIDS. Pertama menurunkan hingga mengeliminasi infeksi HIV baru, kedua menurunkan hingga mengeliminasi kematian terkait HIV-AIDS, dan ketiga menurunkan stigma dan diskrimansi orang hidup dengan HIV- AIDS (odha).

Rencana pertama yaitu ‘menurunkan hingga mengeliminasi infeksi HIV baru’ adalah mustahil dijalankan di Kab Kudus jika PSK tidak dilokalisir dan tidak ada intervensi ‘program wajib kondom’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ yang ngeseks dengan populasi kunci. Rencana ini hanya utopia bagaikan punguk rindukan bulan.

Rencana kedua yaitu ‘menurunkan hingga mengeliminasi kematian terkait HIV-AIDS’ juga hanya angan-angan karena tidak ada program yang konkret untuk mendeteksi warga yang sudah mengidap HIV/AIDS. Selama ini kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada pasien di rumah sakit dan pada perempuan hamil. Itu artinya Dinkes hanya menunggu, pada saat yang sama penyebaran HIV di masyarakat terus terjadi.

Rencana ketiga yaitu ‘menurunkan stigma dan diskrimansi orang hidup dengan HIV- AIDS (odha)’ ini juga hanya ‘pepesan kosong’ karena fakta menunjukkan stigma dan diskriminasi justru terjadi di sarana kesehatan. Peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS juga mendorong mesyarakat melakukan stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang ketahuan mengidap HIV/AIDS.

Maka, jika Pemkab Kudus tidak menjalankan program penanggulan di hulu, al. terhadap laki-laki ‘hidung belang’ itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Dalam gambar intervensi adalah terhadap laki-laki yang ngeseks dengan populasi kunci agar tidak menularkan dan agar tidak tertular.

Jika program tsb. tidak dijalankan, maka yang terjadi adalah penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kondisi ini kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** [AIDS Watch Indonesia] ***