Oleh:
Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Warga Kian Berisiko Tertular HIV/AIDS, Dinkes
Tambah Klinik VCT di Kecamatan.” Ini judul berita di batampos.co.id (4/6-2016).
Ini terjadi di Natuna,
Provinsi Kepulauan Riau. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Natuna mencapai 75.
Judul berita menunjukkan pemahaman yang tidak
akurat terkait dengan HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Pertama, risiko tertular HIV/AIDS melalui
hubungan seksual terjadi jika seseorang mempunyai perilaku yang berisiko,
yaitu: pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan
di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Perlu diingat bahwa PSK ada dua tipe, yaitu:
(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau
lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.
(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek
pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon
plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG,
‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi
seks, dll.
Kedua, Klinik VCT yaitu tempat tes HIV sukarela dengan
konseling sebelum dan sesudah tes tidak bisa mencegah risiko seseorang tertular
HIV karena jika ada yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu artinya ybs. sudah
tertular HIV.
Itu
artinya Klinik VCT adalah program di hilir. Artinya, pemerintah daerah Natuna membiarkan
penduduk tertular HIV baru kemudian dites di Klinik VCT. Dengan pernyataan ini:
“Penambahan
klinik VCT ini, untuk menambah wawasan masyarakat dan mendeteksi penularan
penderita HIV/AIDS di kecamatan. .... ” kian jelas pemahaman terhadap epidemi
HIV/AIDS tidak komprehensif.
Bagaimana ceritanya
Klinik VCT bisa menambah wawasan masyarakat (terhadap HIV/AIDS)?
‘Mendeteksi
penularan penderita HIV/AIDS di kecamatan’ juga akan terjadi di ujung yaitu ada
penduduk yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Artinya, penduduk ini sudah
tertular HIV/AIDS.
Yang
diperlukan adalah program yang konkret di hulu yaitu program yang bisa
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan
seksual dengan PSK yaitu dengan ‘program wajib kondom’. Program ini hanya bisa
efektif kalau praktek PSK dilokalisir sehingga PSK langsung bisa diintervensi
untuk memaksakan ‘program wajib kondom’.
Penanggulangan
HIV/AIDS tidak bisa menunggu sampai masyarakat mempunyai wawasan tentang
HIV/AIDS karena dalam kurun waktu proses mencapai wawasan itu sudah terjadi
penularan karena ada penduduk yang melakukan perilaku berisko.
Maka, yang
diperlukan adalah intervensi terhadap PSK dan laki-laki ‘hidung belang’ agar
PSK tidak melayani laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom. Ini
hanya bisa dilakukan terhadap PSK langsung jika mereka dilokalisir.
Di
bagian lain disebutkan pula: Dinas kesehatan sambungnya (Hikmat Aliansyah, Kabid Penyehatan Masyarakat,
Dinkes Natuna), akan melakukan swipping melakukan pemeriksaan kesehatan
kalangan resiko tinggi, salah satu kalangan penyebar penyakit HIV/AIDS. Sejak
menjamurnya tempat hiburan malam remang-remang di Natuna tanpa adanya larangan
pemerintah daerah.
Nah, ketika
Dinkes Natuna menemukan cewek penghibur atau PSK yang mengidap HIV/AIDS melalui
sweeping itu artinya cewek itu sudah menyebarkan HIV/AIDS ke puluhan sampai
ratusan bahkan ribuan laki-laki. Berbagai studi menyebutkan seorang PSK atau
cewek penghibur bisa melayani 3-5 laki-laki setiap malam.
Yang jadi
persoalan besar bukan cewek penghibur dan PSK, tapi pada laki-laki yang sudah
melakukan hubungan seksual dengan cewek penghibur atau PSK atau kedua-duanya.
Laki-laki tsb. berisiko tertular HIV/AIDS.
Laki-laki
yang tertular HIV/AIDS itu dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang
suami, pacar atau selingkuhan sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV
di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, selain
penanggulangan di hulu yaitu program intervensi kondom langkah yang diperlukan
adalah program yang bisa mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV/AIDS tanpa
melawan hukum dan melanggar hak assasi manusia (HAM).
Tanpa
program yang konkret, penyebaran HIV/AIDS di Natuna akan bermuara pada ‘ledakan
AIDS’. ***