Oleh: Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
* Seorang
aktivis AIDS akan melaporkan penulis ke Bareskrim Polri karena ybs. mengatakan penulis menyebarkan fitnah karena tidak ada bukti bahwa banyak kalangan membuat pernyataan-pernyataan tentang AIDS yang tidak akurat ....
“Ditolak Warga, 15 Anak dengan HIV/AIDS Terancam Tak Punya Tempat Tinggal.”
Ini judul berita di kompas.com (17/4-2016). Sikap (sebagian) warga di Solo,
Jawa Tengah, ini merupakan gambaran ril pandangan banyak orang terhadap
HIV/AIDS.
Adalah langkah yang bijak tidak menyalahkan warga karena sikap warga itu
muncul dari informasi yang mereka selama ini banyak yang tidak akurat karena
dibalut dengan norma, moral dan agama. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV
dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), dikaitkan dengan zina,
pelacuran, seks bebas, pergaulan bebas, zina, seks di luar nikah, iman dan
taqwa, hidup sehat, hidup bersih, dst.
Di Perda AIDS Provinsi Riau
No 4/2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, di Pasal 5 disebutkan pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara: a. Meningkatkan Iman dan Taqwa, b.
Tidak melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah.
Maka,
kalau ada warga (Riau) yang tertular HIV masuk akal kalau kemudian disebutka
karena tidak beriman dan tidak bertaqwa, serta hubungan seksual di luar
perkawinan yang sah.
Bahkan hampir di semua
peraturan daerah (Perda) tentang HIV/AIDS selalu ada semboyan:
peran serta masyarakat dengan berperilaku hidup sehat dan meningkatkan
ketahanan keluarga.
Maka, dikesankan
orang-orang yang kena AIDS itu bisa diartikan sebagi orang yang perilaku
hidupnya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.
Pernyataan
ini sangat kuat mempengaruhi opini masyarakat karena disampaikan oleh menteri
kesehatan: “Kalau
kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit tersebut.”
(Menkes dr. Soewardjono Surjaningrat, Kompas, 12/11-1985). Itulah
sebabnya banyak orang yang menolak pengidap HIV/AIDS karena mereka anggap tidak
bertaqwa kepada Tuhan sebagai analogi dengan pernyataan menteri itu.
Berita-berita HIV/AIDS yang moralistis itu akhirnya hanya menghasilkan
mitos (anggapan yang salah) pada sebagian orang. Mereka pun mengait-ngaitkan
perilaku orang-orang yang diketahui mengidap HIV/AIDS dengan: perilaku seks di
luar nikah, tidak mempunyai ketahanan keluarga, tidak hidup sehat, melakukan
seks yang tidak sehat, tidak mempunyai iman dan taqwa, pelaku seks bebas, dst.
Tidak ada pilihan lain selain tidak mengait-ngaitkan penularan HIV dengan
norma, moral dan agama karena HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di
laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan
pencegahan dan pengobatannya bisa dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal.
Mengaitkan penularan HIV dengan norma, moral, dan agama juga mendorong
penyangkalan terkait dengan perilaku berisiko pada sebagian orang yang tertular
HIV melalui hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom
dengan pasangan yang berganti-ganti (di dalam dan di luar nikah) dan dengan
yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), yaitu
PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Selama ada penyangkalan terhadap perilaku seks berisiko, maka selama itu
pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena insiden infeksi HIV baru
melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung juga terus
terjadi.
(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau
lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.
(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek
pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon
plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG,
‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi
seks, dll.
Dalam kaitan ini pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena praktek PSK
langsung tidak lagi dilokalisir. Akibatnya, praktek PSK langsung terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga intervensi berupa memaksa
laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK tidak bisa dilakukan.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa al. melalui
hubungan seksual dengan PSK terus-menerus terjadi yang pada gilirannya mereka
yang tertular jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Yang terjadi kelak
adalah ‘ledakan AIDS’. ***