24 Maret 2016

Takut Kena AIDS Setelah Ngeseks dengan PSK di Jalur Lintas Pekanbaru-Padang

Tanya Jawab AIDS No 2/Maret 2016

Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: SW Harahap, Markas BaraJP, Jl. Bhinneka Raya RT 09/10 No 3, Cawang Baru, Jakarta Timur 13340, (2) Telepon/Fax: (021) 22864594, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 0812 909 2017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di perjalan dari Pekanbaru ke Padang. Saya tidak memakai kondom. Demi Allah itu adalah hubungan seks yang pertama. Setelah kejadian itu saya sangat merasa bersalah karena sudah melepaskan keperjakaanku yang semestinya untuk isteriku kelak. Terus terang saya takut kena HIV. Pikiran saya kacau balau.  (1) Apakah dengan kejadikan itu saya sudah tertular HIV? (2) Berapa persen kemungkinannya saya tertular HIV? (3) Pertolongan apa yang bisa saya dapatkan sekarang ini? Yang ada dalam pikiran saya sekarang hanya ketakutan kena AIDS.

Via SMS (11/9-2015)

Jawab: Banyak pertanyaan yang masuk memang selalu dalam kondisi seperti yang Saudara alami: ketakutan, menyesal, bertobat, tidak akan mengulangi, dll. Tapi, yang perlu diingat adalah kalau virus sudah masuk ke tubuh maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mengeluarkan atau memamtikan virus di dalam tubuh.

(1) Persoalan ada pada PSK tsb. Jika PSK itu mengidap HIV/AIDS ada risiko penularan HIV karena Saudara tidak memakai kondom. Kalau PSK itu tidak mengidap HIV/AIDS maka Saudara tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Masalahnya adalah kita tidak bisa mengetahui apakah PSK itu mengidap HIV/AIDS atau tidak dari fisiknya. Yang jelas PSK tsb. adalah orang yang berisiko tinggi tertular HIV karena sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.

(2) Kemungkinan tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko terjadi penularan HIV. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui kepan terjadi penularan. Bisa yang pertama, kedua, kelima, ketiga puluh, ketujuh puluh, kesembilan puluh sembilan, bahkan bisa yang keseratus. Maka, setiap kali hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS ada risiko tertular HIV.

(3) Tidak ada yang bisa dilakukan seandainya virus (HIV) sudah masuk ke dalam tubuh karena untuk mengetahuinya melalui tes HIV minimal tiga bulan setelah hubungan seksual terakhir. Paling tidak Saudara bisa menjaga kesehatan dan berdoa semoga PSK itu tidak mengidap HIV/AIDS. ***

20 Maret 2016

Penyebaran HIV/AIDS di Klaten dan Sragen Jateng: Ditanggulangi dengan Sosialisasi



Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

“KPA Klaten gencar mensosialisasikan pencegahan dan pemahaman HIV-AIDS.” “Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen berharap dilakukan sosialisasi terus menerus, agar jumlah orang terpapar  HIV-AIDS  dapat ditekan.” Ini pernyataan dalam berita “Pengidap HIV-AIDS di Daerah Melonjak” (republika.co.id, 18/3-2016).

Terkait dengan pola penanggulangan yang dilakukan oleh KPA Kab Klaten ini ada rentang waktu dari mulai sosialisasi pencegahan dan pemahaman HIV/AIDS sampai seseorang mengubah perilaku.

Pada rentang waktu itu ada risiko penularan HIV/AIDS pada orang-orang yang sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS. Perilaku berisiko al. (a) melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Maka, yang diperlukan sekarang ini bukan lagi sosialisasi, tapi intervensi dengan peraturan yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Program ini hanya bisa dilakukan dengan efektif jika pelacuran dilokalisir. Celakanya, semua lokalisasi pelacuran sudah ditutup sehingga praktik pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Jika berpijak pada judul berita ini “Pengidap HIV-AIDS di Daerah Melonjak”, maka yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu. Langkah ini perlu untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama di kalangan laki-laki dewasa. Salah satu cara yang efektif adalah melakukan intervensi agar laki-laki dewasa selalu memakai kondom jika ngeseks dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Tapi, langkah penanggulangan melalui PKS langsung tidak bisa dijalankan di Indonesia karena praktek pelacuran tidak dilokalisir. Sedangkan pada kasus PSK tidak langsung adalah hal yang mustahil menjalankan program pemakaian kondom bagi laki-laki ‘hidung belang’ karena praktek PSK tidak lansung tidak kasat mata.

Biar pun yang diperlukan penanggulangan di hulu, tapi Dinkes Sragen justru mengembangkan obat herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien: “Sekarang dicoba membuat obat herbal alami yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh pasien.”

Itu artinya Dinkes Sragen membiarkan penduduk tertular HIV dulu baru diberikan obat herbal. Padahal, daya tahan tubuh pada pengidap HIV/AIDS bisa ditingkatkan jika tingkat penggandaan HIV di dalam tubuh bisa ditekan. Ini dilakukan dengan meminum obat antiretroviral (ARV) pada tahap tertentu yaitu ketika CD4 pengidap HIV/AIDS di bawah 350 (CD4 diketahui melalui tes darah).

Jika Dinkes Sragen dan KPA Klaten hanya mengandalkan sosialisasi untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi dan penyebaran HIV di masyarkat pun kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***

Calon Suami Sering Melakukan "Free Sex"

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Tanya Jawab AIDS No 1/Maret 2016

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: SW Harahap, Markas BaraJP, Jl. Bhinneka Raya No 3, Cawang Baru, Jakarta Timur 13340, (2) Telepon (021) 22864594, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Calon suami saya pernah melakukan perilaku berisiko dari 2001-2008, setelah itu dia tidak pernah lagi melakukannya sampai sekrang karena bertobat. Januari dan Desember 2015 dia tes HIV di negaranya. Kedua tes itu hasilnya nonreaktif.  (1) Apakah bisa dibilang dia bersih? Dua bulan lagi kami menikah. (2) Apakah bisa hasil nonreaktif jadi positif sepuluh tahun nanti biar pun dia tidak pernah lagi lakukan free sex?

Perempuan, 27 tahun, Kota “B” Kalimantan, via SMS (20/3-2016)

Jawab: (1) Perilaku calon suamimu itu memang berisiko tinggi tertular HIV. Tes itu ‘kan dia lakukan di negaranya, sehingga buktinya hanya selembar kertas. Sedangkan kontak telepon dan gambar ketika tes tidak juga bisa dibuktikan itu memang terjadi ketika konseling dan tes HIV. Agar lebih objektif, minta calon suamimu itu tes HIV di kotamu. Kalau dia tidak mau tentu patut diragukan apakah dia benar-benar sudah pernah tes HIV.

(2) Hasil tes HIV hanya berlaku saat darah diambil dari badan. Setelah itu risiko tertular HIV tergantung kepada perilaku seksual ybs. Hasil tes nonreaktif tidak akan pernah jadi positif jika ybs. tidak pernah melakukan perilaku berisiko terutular HIV.

Biar pun hari ini hasil tes HIV seseorang nonreaktif (negatif) itu tidak jaminan ybs. akan HIV negatif sepanjang hidupnya karena bisa saja tertular kalau perilaku seks ybs. setelah tes merupakan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV.

Isitilah free sex tidak tepat karena tidak ada (hubungan) seks yang gratis. Selain itu risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, free sex, dll.), tapi karena kondisi saat terjai hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali ngeseks. ***