Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch
Indonesia
Tata cara pelaporan kasus HIV/AIDS yang dilakukan oleh pemerintah, dalam
hal ini Ditjen PP&P, Kemenkes RI, yang disebutkan adalah faktor risiko
(cara penularan) berupa orientasi seksual, yaitu heteroseksual, homoseksual
(gay dan waria), dan biseksual. Celakanya, di Kabupaten Sukabumi, Jabar,
pelaporan kasus HIV/AIDS bertentangan dengan kebijakan pemerintah yaitu
menyebutkan gay.
“Sedikitnya 44 gay (lelaki suka lelaki) di
Kabupaten Sukabumi tertular penyakit HIV/AIDS. Jumlah pengidap HIV/AIDS dari
komunitas gay ini lebih tinggi dibanding pengidap penyakit mematikan ini dari
kalangan pekerja seksual komersil (PSK).” Ini lead berita “44 Gay di Sukabumi Tertular HIV/AIDS” (poskotanews.com,
10/3-2016).
Judul berita ini bombastis dan sensasional
serta bertentangan dengan kebijakan cara-cara penanggulangan HIV/AIDS di
Indonesia.
Sedangkan lead berita di itu juga amat sangat
tidak membantu penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia karena mengadung stigma
(cap buruk) serta menyebarkan informasi yang tidak akurat.
Pertama, HIV/AIDS bukan penyakit. HIV adalah
virus yang menular dari pengidap HIV/AIDS ke orang lain melalui cara-cara yang
sangat khas yaitu: (a) hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral)
di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom, (b)
melalui transfusi darah, (c) melalui jarum suntik dan benda-benda yang bisa
menyimpan darah, dan (d) melalui menyusui ASI. Sedangkan AIDS adalah kondisi
yaitu keadaan seseorang yang sudah tertular HIV/AIDS antara 5-15 tahun yang
ditandai dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah sehingga mudah diserang
penyakit lain.
Kedua, data 44 gay tsb. tidak akurat karena
dalam berita tidak dijelaskan kasus pada lesbian, biseksual, dan transgender
(waria). Bisa jadi 44 itu adalah kasus pada kalangan homoseksual.
Ketiga, HIV dan AIDS tidak mematikan. Sampai
detik ini tidak ada kasus kematian karena HIV atau AIDS atau karena HIV/AIDS. Kematian
pada pengidap HIV/AIDS disebabkan oleh penyakit-penyakit yang muncul pada masa
AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Keempat, kasus HIV/AIDS pada PSK akan kecil
karena 1 PSK melayani 3-5 laki-laki per malam. Lagi pula kasua HIV/AIDS pada
PSK hanya diperoleh melalui kegiatan survailans yang tidak berkesinambungan.
Dengan empat hal di atas lead berita ini sama
sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat agar lebih waspada, tapi
mendorong masyarakat memusuhi ‘gay’, dalam hal ini bisa saja homoseksual.
Selain itu judul dan lead berita ini pun
merusak tatanan penanggulangan HIV/AIDS karena mengabaikan fakta berupa kasus
pada heteroseksual. Judul dan lead berita ini pun membuat banyak orang,
terutama laki-laki heteroseksual, lalai sehingga mereka melakukan perilaku
berisiko karena mereka menganggap tidak berisiko karena bukan gay.
HIV/AIDS pada gay ada di ‘terminal’ terakhir
karena mereka tidak akan menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat. Bandingakan dengan
1 laki-laki dewasa yang beristri. Jika dia mengidap HIV/AIDS, maka laki-laki
ini akan jadi mata ratai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat,
al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Bisa jadi
ada yang beristri lebih dari satu, dan sering pula ngeseks dengan PSK. Jika
istri dan pasangan seks mereka tertular HIV ada pula risiko penularan HIV
secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Entah apa yang ada di benak Wakil
Supervisor Pengendalian Penyakit HIV/AIDS dan Inveksi Seksual Menular, Dinkes
Kabupaten Sukabumi, Didi Sukmadi, ini sehingga dia hanya menyebutkan gay.
Di bagian lain
disebutkan: Kalangan gay, kata Didi, resiko terkena HIV/AIDS sangat tinggi
dibandingkan perilaku seksual lainya
Pertanyaan untuk
Didi: Kalau begitu, mengapa jumlah kasus AIDS secara nasional lebih banyak pada
heteroseksual, yaitu 3,46 persen (homoseksual) dan 66,74 persen (heteroseksual)?
Kalau dipakai
analogi pernyataan Didi maka kasusnya terbalik yaitu yang paling banyak ada
pada homoseksual.
Lalu, apakah seks anal pada suami-istri dan
pada laki-laki heteroseksual dan waria tidak berisiko? Mengapa hanya menyebut
seks anal pada gay?
Disebutkan pula dalam berita: “Kami
perkirakan jumlah saat ini lebih dari 2.000 gay. Untuk data 2015 belum kami
rekap, sehingga belum pasti jumlah penambahannya,” kata Direktur Lensa Sukabumi
Daden Sukendar.
Ini benar-benar
fantastis karena populasi gay di masyarakat sangat kecil. Apakah Pak Direktur
tidak salah paham dengan menyebut waria sebagai gay? Soalnya, dalam berita sama
sekali tidak ada catatan tentang kasus HIV/AIDS pada waria. Atau di Kab
Sukabumi memang tidak ada waria karena semuanya gay?
Daden katakan
pula: “30 persen gay yang ada di Kabupaten Sukabumi adalah korban sodomi dari
pelaku sebelumnya. Sehingga dirinya melampiaskan yang pernah dialaminya ke
lelaki lain.”
Ini benar-benar salah kaprah. Gay adalah salah
satu orientasi seksual yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan sodomi. Seks
anal berbeda dengan sodomi. Seks anal adalah satu satu cara melakukan hubungan
seksual, sedangkan sodomi adalah perbuatan melawan hukum karena melakukan
hubungan seksual secara paksa ke bagian yang tidak semestinya.
Penjelasan Daden tentang gay kian ngawur bin
ngaco: Untuk faktor ekonomi, biasanya orang tersebut bergaya borjuis
tapi tak punya uang, sehingga menjual diri ke lelaki lagi. Gay tidak jual diri
tapi mereka menjalin hubungan asmara dengan sesama jenis. ***