04 Maret 2016

Orientasi Seksual Bukan Penyebab HIV/AIDS



Oleh: SYAIFUL W. HARAHAPAIDS Watch Indonesia

260 Gay di Bandung Positif Terinfeksi HIV/AIDS” Ini judul berita di news.okezone.com (3/3-2016).

Judul ini sensasional sekaligus bombastis karena gay, salah satu orientasi seksual pada homoseksual, karena narasumber berita ini yaitu Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Achyani Raksanagara, sama sekali tidak menyebutkan gay dalam keterangannya terkait dengan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Bandung, Jawa Barat.

Achyani mengatakan: "Kemudian yang (terinfeksi HIV/AIDS akibat) homoseksual adalah 8,7 persen."

Pernyataan “terinfeksi HIV/AIDS akibat” yang dalam kutipan ada di dalam tanda kurung tidak jelas apakah dari Achyani atau persepsi wartawan. Soalnya terinfeksi HIV/AIDS bukan akibat dari orientasi seksual, tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta.

Yang dikenal dalam terminologi HIV/AIDS adalah faktor risiko yaitu cara penularan HIV. Kalau pada gay melalui seks anal dan seks oral. Tapi, seks anal dan seks oral juga terjadi pada pasangan heteroseksual, bahan pada pasangan suami-istri yang terikat pernikahan yang sah.

Achyani tidak menyebut gay, tapi: Mengapa di judul berita yang muncul gay bukan homoseksual seperti dalam pernyataan Achyani?

Itu bisa terjadi karena wartawan atau redaktur yang membuat judul berita tsb. memakai moralitas dirinya dalam memaknai terminologi yang terkait dengan norma. Dalam hal ini gay menjadi pilihan karena terkait dengan kegaduhan yang sedang riuh yaitu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Bandung ada 3.000. Disebutkan dalam berita “Dengan prosentase itu (8,7 persen-pen.), artinya ada lebih dari 260 gay di Kota Bandung yang kini menjadi ODHA atau orang dengan HIV/AIDS. Hal itu karena hubungan homoseksual sangat rentan terhadap risiko penularah HIV/AIDS.”

Jika berpijak pada data yang disampaikan Achyani, maka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kalangan homoseksual yaitu lesbian, gay, biseksual dan transgender adalah 261. Bukan hanya gay. Tapi, sangat disayangkan wartawan memaknai homoseksal hanya gay. Ini yang menyesatkan. Judul berita itu pun menohok gay yang bisa berujung pada stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda).

Disebutkan lagi “Hal itu karena hubungan homoseksual sangat rentan terhadap risiko penularan HIV/AIDS”. Ini tidak akurat karena yang rentan tertular HIV bukan karena orientasi seksual (heteroseksual, biseksual, dan homoseksual), tapi karena hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dilakukan dengan yang mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Hubungan seksual pada homoseksual, khususnya gay dan biseksua., adalah melalui seks anal dan seks oral. Perlu diingat ini juga dilakukan oleh sebagian pasangan heteroseksual, termasuk suami-istri.

Ada pula pernyataan Achyani: .... homoseksual adalah perilaku hubungan seksual berbahaya dan bisa jadi penyebab penularan HIV/AIDS.

Ini adalah mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS karena risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (homoseksual), tapi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Ini fakta.

Hubungan seksual pada heteroseksal juga ‘berbahaya’ kalau dilakukan tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak lansung.

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Sosialiasi cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS melalui media massa dan media sosial sangat efektif, tapi kalau materi yang disampaikan tidak akurat yang ditangkap masyarakat cuma mitos.

Akibatnya, banyak orang yang tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret. Pada akhirnya infeksi HIV baru akan terus terjadi dan kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***

01 Maret 2016

Kasus HIV/AIDS Dekati Angka 300.000, Perlu Langkah Konkret Cegah Penyebaran HIV

JAKARTA, AWI (1/3-2016) - Jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Indonesia terus bertambah. Laporan Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, tanggal 26 Februari 2016 menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987-Desember 2015 mencapai 268.185 yang terdiri atas 191.073 kasus infeksi HIV dan 77.112 kasus AIDS dengan 13.319 kematian.

“Yang perlu diingat adalah angka yang dilaporkan Kemenkes itu tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat,” kata Syaiful W. Harahap, aktivis di AIDS Watch Indonesia (AWI). Soalnya, penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan (268.185) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Kasus-kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi, menurut Syaiful, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di di dalam dan di luar nikah. Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, “Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi harus ditemukan,” ujar Syaiful.

Dalam kaitan itu, menurut Syaiful, pemerintah didorong untuk membuat regulasi agar ada cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat melalui ara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Dalam satu perbincangan dengan Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, pakar AIDS di FK UI, disebutkan bahwa di Amerika Serikat (AS) semua pasien rumah sakit pemerintah diwajikan menjalani tes HIV tanpa melihat jenis penyakit. Ini tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar HAM karena ada pilihan yaitu berobat ke rumah sakit nonpemerii ntah.

Selain mewajibkan pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah untuk menjalani tes HIV, bisa juga dibuat regulasi yang mewajibkan pasangan suami-istri menjalani konseling tes HIV ketika si istri sedang hamil. Jika perilaku seks suami berisiko tertular HIV maka suami wajib tes HIV. Langkah ini akan menyelematkan bayi yang dikandung si ibu dari risiko terular HIV karena kalau si ibu terdeteksi mengidap HIV/AIDS maka akan dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Dengan jumlah kasus yang mendekati angka 300.000 sudah saatnya pemerintah menjalankan program penanggulangan yang konkret, terutama di hulu yaitu pada laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) yaitu melalui program ‘wajib memakai kondom’ bagi laki-laki setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

“Persoalannya adalah praktik PSK di Indonesia tidak dilokalisir melalui regulasi,” kata Syaiful. Bahkan, pemerintah melalui Kemensor RI menargetkan menutup semua tempat pelacuran di Indonesia. Itu artinya praktik PSK kian tidak bisa dijangkau sehingga program ‘wajib memakai kondom’ pun tidak bisa dijalankan.

Karena tidak ada program yang bisa dijalankan di hulu agar jumlah kasus penularan HIV baru bisa diturunkan, khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka, “Dikhawatirkan penyebaran HIV/AIDS yang tidak terkendali akan sampai pada ‘ledakan kasus AIDS’,” kata Syaiful. ***

28 Februari 2016

Ini Mitos AIDS Baru yang Membuat Kalangan Heteroseksual Marasa Aman

Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP - AIDS Watch Indonesia

Peneliti: Penularan HIV-AIDS Didominasi Kalangan Homoseksual” Ini judul berita di
hidayatullah.com (28/2-2016).

Pertama, pemakaian kata ‘dominasi’ dalam kalimat judul berita ini tidak pas karena dominasi berarti penguasaan oleh pihak yg lebih kuat thd yg lebih lemah (dl bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dsb) [KBBI]. Penularan HIV sama sekali tidak terjadi karena dominasi kalangan homoseksual, tapi karena perilaku orang per orang apa pun orientasi seksualnya, kecuali lesbian.

PSK Tidak Langsung

Kedua, sampai hari ini belum ada laporan penularan HIV melalui aktivitas seks di kalangan lesbian, maka dengan menyebut ‘kalangan homoseksual’ berarti ada fakta yang digelapkan karena tidak menyebut pengecualian.

Ketiga, penularan HIV bukan karena kalangan, kelompok, grup, dll. tapi karena terjadi perpindahan virus dari yang mengidap HIV/AIDS ke orang lain melalui beberapa kegiatan berisiko, al. hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Keempat, risiko tertular HIV terjadi pada orang per orang di kalangan, kelompok, grup, dll. yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, al. (1) melakukan hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan ang berganti-ganti, dan (2) melakukan hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.

-  PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

-  PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Kelima, judul berita ini memunculkan mitos (anggapan) baru terkait dengan penularan HIV yaitu ‘didominasi kalangan homoseksual’ sehingga kalangan heteroseksual akan merasa aman melakukan perilaku berisko (1) dan (2) di atas.

Kondisi di atas menjadi hambatan dalam penanggulangan HIV/AIDS karena laki-laki dan perempuan heteroseksual akan mengabaikan cara-cara pencegahan HIV melalui hubungan seksual.

Fakta tentang proporsi jumlah pengidap HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko dalam laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 12 Mei 2015, menunjukkan kasus terbanyak ada pada kalangan heteroseksual yaitu 52 persen, sedangkan pada gay, biseksual dan transgender (Lelaki Suka Seks Lelaki/LSL) 16 persen.

Lalu, kok bisa ada judul berita yang tidak berdasarkan fakta?

Inilah salah satu bentuk penulisan berita yang tidak berdasarkan fakta, tapi berpijak pada opini pribadi dengan balutan moralitas diri. Rupanya, wartawan yang menulis berita ini mengikuti seminar bertema “LGBT dalam Perspektif Keilmuan” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat (26/2-2016). Dalam seminar ini, peneliti sekaligus Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr Dewi Inong Irana, SpKK, mengatakan, bahaya utama bagi para pelaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT) adalah HIV-AIDS.

Pernyataan itulah yang disimpulkan wartawan dan dengan balutan moralitas dirinya sehingga muncullah opini yang justru hal yang wajib dihindari dalam jurnalistik.

IMS pada Vagina

Pernyataan dr Inong itu tidak objektif karena risiko tertular HIV bukan pada kelompok, kalangan, komunitas, dll., tapi erat kaitannya dengan perilaku seksual orang per orang.

Menyebutkan lesbian sebagai perilaku yang berbahaya tertular HIV tidak akurat karena belum ada laporan kasus HIV yang tertular melalui aktivitas seks pada lesbian.

Risiko tertular HIV pada gay, biseksual dan waria (transgender) terjadi jika mereka melakukan hubungan seksual dengan kondisi yang melakukan penetrasi tidak memakai kondom dan dilakukan dengan pasangan yang mengidap HIV/AIDS.

Kalau hubungan seksual pada gay, biseksual dan waria dilakukan dengan pasangan yang tidak mengida HIV/AIDS tentu saja tidak ada risiko penularan HIV.

Kaum heteroseksual pun berisiko tinggi tertular HIV melalui seks vaginal jika dilakukan dengan tidak aman yaitu tidak memakai kondom dan dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan.

Sebuah studi di Kota Surabaya (1990-an) menunjukkan pelanggan waria justru dari kalangan heteroseksual dan sebagian besar yang beristri. Dari studi itu terungkap pula faktor yang meningkatkan risiko laki-laki heteroseksual tertular HIV adalah laki-laki heteroseks yang jadi ‘perempuan’ yaitu dianal oleh waria (disebut ditempong). Dalam kondisi ini waria jadi laki-laki yaitu menganal (disebut menempong). Kondisi ini membuat laki-laki heteroseksual ada pada tingkat risiko tinggi tertular HIV.

Di bagian lain dr Inong mengatakan: “Infeksi Menular Seksual (IMS) tertinggi itu pada (pertama) MSM atau gay; kedua vagina; dan ketiga oral.”

Sayang, wartawan tidak menjabarkan pernyataan ini karena IMS pada vagina terjadi pada perempuan yang bukan LGBT yaitu perempuan heteroseksual. IMS pada vagina itu bisa terjadi pada istri. Itu artinya suami mereka yang bukan LGBT tertular IMS melalui aktivitas seksual dengan pasangan lain.

Yang potensial dalam penyebaran HIV bukan LGBT, minus lesbian, tapi laki-laki heteroseksual dan biseksual. Jika ada laki-laki heteroseksual dan biseksual yang mengidap HIV/AIDS, maka mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga merupakan ‘buah’ penyebaran HIV yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual dan biseksual. ***