24 Februari 2016

Ada (Risiko) 302.500 AIDS dalam Keranjang Belanja Seks Warga Indonesia

Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

Setelah berbagai penyakit dan korupsi menempatkan Indonesia di peringkat satu digit, berita terbaru yang dilansir kompas.com dari DW.com menempatkan Indonesia pada peringkat ke-12 sebagai negara dengan pengeluaran untuk membeli seks terbesar di dunia yaitu mencapai 2,25 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 30.250.000.000.000 dengan kurs Rp 13.000/1 dolar AS.

Ada satu hal yang luput dari perhatian terkait dengan belanja seks tsb. yaitu risiko penularan IMS (infeksi menular seksual yang penyakit-penyakit atau infeksi yang ditularkan oleh pengidap IMS ke orang lain melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, herpes genitalis, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

Risiko penularan HIV/AIDS kian besar jika yang berbelanja seks tsb. melakukan hubungan seksual lebih dari satu kali. Padahal, peringatan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS adala 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksal ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan. Masalahnya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seskual yang keberapa terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, kelima, ketiga puluh, kesembilan puluh, dst.

Itu artinya setiap hubungan seksual berisiko, yaitu:

(1) dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom

(2) dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom

PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Andaikan tarif rata-rata short time Rp 1.000.000, maka dengan belanja Rp 30.250.000.000.000 per tahun, maka itu berarti terjadi 30.250.000 kali hubungan seksual.

Berpijak pada peringatan WHO, jika dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko tertular HIV, maka ada 302.500 risiko penularan HIV pada pelaku hubungan seksual tsb.

Andaikan separuh di antaranya adalah suami dengan satu istri, maka ada 151.250 perempuan yang berisiko tertular HIV dari suaminya. Kalau semua istri ini tertular HIV, maka ada bayi dengan jumlah yang sama berisiko tertular HIV secara vertikal dari ibu yang mengandungnya.

Dengan angka yang sangat besar itu sudah saatnya pemerintah menjalankan program penanggulangan yang komprehensif, yaitu:

(a) Menjalankan program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual. Tapi, ini hanya bisa dijalankan terhadap PSK langsung yang kegiatannya dilokalisir. Ini hal yang mustahil karena pemerintah, melalui Mensos Khofifah Indar Parawansa, bahwa pada tahun 2019 Indonesia bebas lokalisasi pelacuran. Nah, itu artinya insiden infeksi HIV baru melalui kegiatan pelacuran akan terus terjadi yang akan menyebar ke masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(b) Membuat peraturan, akan lebih efektif jika dalam bentuk UU, yang mewajibkan semua pasien yang berobat ke fasilitas kesehatan (faskes) milik pemerintah menjalani tes HIV dengan konseling. Ini dilakukan untuk menjaring penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.

(c) Membuat peraturan, akan lebih efektif jika dalam bentuk UU, yang mewajibkan pasangan suami istri menjalani tes HIV dengan konseling ketika si istri sedang hamil. Jika perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka suami menjalani tes HIV jika positif istri pun ikut dites. Ini dilakukan untuk mendeteksi ibu-ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS agar bisa dijalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Program (b) dan (c) ada di hilir, sedangkan program (a) ada di hulu. Tapi, program (a) tidak bisa dijalankan di Indonesia sehingga penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. *** 

23 Februari 2016

Bali: Tanpa Lokalisasi Pelacuran Pun, Pelacuran Tetap Saja Ada



"Emang ada (tempat) lokalisasi (prostitusi) di Bali? Saya rasa tidak ada itu." In pernyataan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam berita “Gubernur Pastika: Memangnya di Bali Ada Tempat Lokalisasi Prostitusi?” di kompas.com edisi 23.2-2016.

Pak Gubernur tidak perlu pakai ‘rasa’ karena secara de jure di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran sejak era reformasi. Di era Orba ada program untuk mengentaskan pekerja seks komersial (PSK) yaitu rehabilitasi dan sosilisasi (resos) di tempat-tempat pelacuran yang dijalan oleh, waktu itu, Departemen Sosial (Depsos).

Dilakukan di lokalisasi pelacuran karena PSK tetap menjalankan pekerjaannya yaitu melayani laki-laki ‘hidung belang’. Mereka diberikan pelatihan keterampilan menjahit dan tata rias wajah (salon) dan jika sudah mahir diberikan modal usaha. Tapi, proyek resos PSK ini gagal, seperti dikatakan oleh Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair Surabaya, karena program tsb. top-down [Menyingkap(Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].


Artinya, apakah PSK memilih jadi tukang jahit atau tukang salon daripada bekerja sebagai PSK? Proyek itu tidak berpijak pada jawaban dari pertanyaan ini.

Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian Gubernur Pastika dengan bangga mengatakan di Bali tidak ada lokalisasi pelacuran karena memang tidak ada lagi sejak reformasi. Secara de jure tidak ada lagi kemungkinan untuk melokalisir praktik pelacuran di Indonesia.

Tapi, pertanyaan yang sangat mendasar untuk Gubernur Pastika adalah: Apaka Pak Gubernur menjami bahwa di Bali memang tidak ada praktik pelacuran di sembarang tempat, seperti penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, villa, resort, apartemen, dll.?

Kalau Gubernur Pastika mengatakan: Saya jamin tidak ada. Ya, secara de jure. Jika secara de facto Gubernur Pastika tetap mengatakan tidak ada pelacuran di Bali, maka Bali adalah daerah pertama di dunia setingkat provinsi yang bebas praktik pelacuran. Bravo ....

Di bagian lain Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama: "Menurut saya, (tempat lokalisasi) tidak ada di Bali. Namun, tidak menutup mata, tempat yang kecil-kecil masih ada."

Di Kota Denpasar ada Padang Galak yang menjadi tempat pelacuran [(Lokasi) Pelacuran Padang Galak di Sanur, Denpasar, Bali]. Selain itu ada pula rumah-rumah mewah di tepi pantai yang menjadi tempat melepas syahwat. Di sana tidak ada PSK, tapi laki-laki membawa cewek atau perempuan ke sana. Dalam sebuah kunjungan ke Bali sebagai instruktur pelatihan wartawan dalam penulisan berita AIDS ada satu fakta yang menarik terkait dengan rumah dan kamar-kamar yang disewakan di tepi pantai itu. Selain laki-laki ‘hidung belang’ yang membawa PSK dari berbagai tempat dan berbagai cara pemesanan, ada pula pasangan-pasangan yang perempuannya bukan PSK. Kamar-kamar di sana akan penuh antara pukul 19.00 – 21.00 yaitu bersamaan dengan masa putar film di bioskop.


Harian “Tribun Kaltim” edisi 4/2-2015 memasang judul: HIV/AIDS. 75 Persen PSK di Bali Idap HIV/AIDS. Masih Mau Jajan? Dalam berita ini ada pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Ketut Suarjaya: “Untuk seluruh Bali, estimasi ada 6.000 PSK. Dan 75 persen di antaranya positif HIV/AIDS. Sedangkan untuk daerahnya paling tinggi di Sanur dan Kuta."

Gubernur Pastika boleh saja tetap pada pendiriannya bahwa di Bali tidak ada pelacuran. Ini benar jika yang dimaksud Pak Gubernur adalah PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata seperti di tempat-tempat pelacaran atau yang mangkal di jalanan dan pantai.

Yang jadi persoalan besar adalah praktek PSK tidak langsung yang erat kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS. PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali per Desember 2015, jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Bali 13.319 yang terdiri atas 7.430 HIV dan 5.889 AIDS (aidsbali.org, 20/1-2016). Salah satu pemicunya adalah praktik PSK tidak langsung karena di Bali tidak ada lokalisasi pelacuran (Peringatan bagi “Penikmat Seks” di Bali: Ribuan PSK di BaliIdap HIV/AIDS).

Jika disimak dari aspek penyebaran HIV/AIDS penanggulangan akan lebih efektif jika pelacuran dilokalisir karena program bisa dijalankan dengan efektif. Program tsb. adalah intervensi berupa memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Langkah ini sudah berhasil dilakukan oleh Thailand dengan indikator penurunan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada calon taruna militer.

Dalam berita Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama mengatakan: "Dari dulu masyarakat Bali tidak setuju dengan adanya (tempat) lokalisasi. Secara fakta merugikan, yang melakukan bukan gadis-gadis Bali, melainkan wanita dari luar. Itu fakta yang merugikan. Dari segi budaya, kami juga tidak akan pernah setuju ada (tempat) lokalisasi."

Terkait dengan pernyataan Adi ini:

Pertama, tidak ada masyarakat di mana pun yang setuju dengan praktik dan lokalisasi pelacuran. Hanya sebagian orang yang setuju karena kepentingan usaha mereka terkait dengan pelacuran, seperti minuman keras, dll.

Kedua, secara sosiologis perempuan yang melacur akan praktik di luar daerahnya. Kalau gadis atau perempuan Bali tidak ada yang bekerja sebagai PSK di Bali dan di luar Bali, maka ini luar biasa dan bisa masuk rekor dunia.

Ketiga, yang jadi masalah bukan asal PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ yang ngeseks dengan PSK. Dalam hal ini laki-laki Bali, bisa jadi seorang suami, ngeseks tanpa kondom dengan PSK ada risiko tertular HIV karena PSK adalah orang yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV.

Maka, sudah tidak pada tempatnya kita bicara ada atau tidak ada lokaliasi atau lokasi pelacuran karena nyaris tidak ada tempat di muka bumi ini yang tidak ada praktik pelacuran.

Jadi, yang perlu dibicarakan sekarang adalah langkah atau upaya yang konkret agar tidak ada (lagi) insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Tanpa ada program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Bali akan terus terjadi melalui laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Jika ini yang terjadi, maka Pemprov Bali tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***