11 Februari 2016

Mata Rantai Penyebaran AIDS di Kalijodo



Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

PROSTITUSI. Pekerja Seks Kalijodo Rawan Tertular HIV” Ini judul berita di Harian “KOMPAS” (12/2-2016).

Dari judul berita itu menunjukkan bahwa laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di Kalijodo ‘membawa’ HIV sehingga pekerja seks di sana rawan tertular atau terinfeksi HIV.

Satu sisi hal itu benar karena yang ‘membawa’ HIV/AIDS ke tempat pelacuran, lokasi pelacuran, lokalisasi pelacuran, tempat ‘esek-esek’, panti pijat plus-plus, dll. adalah laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak mau memakai kondoms setiap kali melakukan hubungan seksual dengan perempuan di tempat-tempat tadi.

Di sisi lain puluhan bahkan ratusan laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, berisiko tertular HIV/AIDS jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di Kalijodo.

Dalam berita disebutkan “Sepanjang tahun 2015, Puskesmas Penjaringan mencatat 101 orang yang mengidap HIV, atau sekitar delapan orang setiap bulannya. Meski telah mengidap HIV, pekerja seks tetap menerima pelanggan sehingga berpotensi besar menularkan virus.”

Kalau 1 pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS itu meladeni 3 laki-laki tiap malam, maka setiap malam ada 303 laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV/AIDS dari pekerja seks di sana. Jika rata-rata pekeja seks di Kalijodo tertular HIV tahun 2014, maka sepajang tahun 2015 ada 72.720 laki-laki yang berisiko tertular HIV (101 pekerja seks AIDS x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 12 bulan).

Pekerja seks yang mengidap HIV/AIDS adalah terminal terakhir bagi mereka, tapi merupakan sumber penularan bagi laki-laki ‘hidung belang’ selanjutnya laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari pekerja seks menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di Kel Penjaringan menunjukkan ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ini bukti bahwa laki-laki ‘hidung belang’ menjadi penyebar HIV/AIDS, terutama kepada istri bagi yang menikah.

Di bagian lain disebutkan: Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jakarta Utara Atma Sanjaya menuturkan, pengawasan dan pengendalian di lapangan tidak rutin. Seharusnya, ada instansi yang rutin turun melakukan pengecekan di kafe atau tempat lainnya terkait pemeriksaan kesehatan.

Serutin apa pun pengecekan ke kafe dan tempat pelacuran tidak ada gunanya karena biar pun laki-laki ‘hidung belang’ dipaksa memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja seks, di lain waktu pekerja seks itu akan melayani pacar, disebut juga kiwir-kiwir, suami atau selingkuhan mereka tanpa memakai kondom. Padahal, pacar atau suami mereka juga akan jadi ‘hidung belang’ di tempat lain sehingga ada risiko pekerja seks tertular HIV/AIDS dari pacar atau suaminya.

Maka, yang diperlukan adalah melakukan intervensi terhadap laki-laki ‘hidung belang’ agar selalu memakai kondom ketika ngeseks dengan pekerja seks. Dengan kondisi Kalijodo yang ‘dilokalisir’ program berupa intervensi pemakaian kondom bisa dijalankan, tapi hal ini tidak jalan karena program penanggulangan yang diusung dalam Perda AIDS DKI Jakarta tidak menukik ke akar persoalan (Perda AIDS DKI Jakarta).


Penanggulangan hanya sebatas jargon moral yang menjadi bahan orasi pihak-pihak terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS. Selama praktek pelacuran di Jakarta tidak dilokalisir, maka selama itu pulalah program penanggulangan tidak jalan sehingga Pemprov DKI Jakarta tinggal menghitung hari saja untuk ‘panen AIDS’. ***

09 Februari 2016

AIDS di Berau Kaltim: Yang Turun Temuan Kasus Baru, Bukan Insiden Infeksi HIV Baru

Oleh: SYAIFUL W. HARAHAPAIDS Watch Indonesia

“Dinas Kesehatan (Dinkes) Berau, saat ini bisa sedikit bernapas lega, dengan adanya penurunan temuan pengidap Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).” Ini lead pada berita “Syukurlah Kasus HIV/AIDS di Berau Turun” di berau.prokal.co (9/2-2016).

Jika disimak lead berita ini ada satu hal yang luput dari perhatian yang membuat lead ini, yaitu: yang turun adalah temuan kasus baru, bukan kejadian (insiden) infeksi (penularan) HIV terutama pada kalangan laki-laki dewasa, bisa sebagai suami, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Kab Berau dan di luar Kab Berau serta di luar negeri.

PSK sendiri dikenal ada dua macam, yaitu:

(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.

(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Terkait dengan penurunan temua kasus, maka ini pertanyaan yang sangat mendasar untuk Kepala Bidang (Kabid) Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinkes Berau, Andarias Baso:  Bagaimana cara yang dilakukan Dinkes Berau dalam mendeteksi kasus HIV/AIDS?

Kalau hanya menunggu penduduk datan berobat ke rumah sakit, lantas dilakukan tes HIV karena ada gejala-gejala terkait AIDS pada pasien itu artinya Dinkes Barau pasif. Bisa jadi penduduk yang mengidap HIV/AIDS tidak sempat berobat ke rumah sakit karena keburu mati. Jika ini yang terjadi tentu saja temuan kasus akan turun karena yang berobat ke rumah sakit juga berkurang.

Jika Dinkes Berau mengaitkan temuan kasus yang turun dengan insiden infeksi HIV baru, maka pernyataan berikutnya adalah: Apakah di Kab Berau ada praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung?

Dinkes Berau pasti menepuk dada dengan mengatkan: Tidak ada!

Secara de jure Dinkes Berau benar karena sejak reformasi tidak ada lagi lokalisasi dan rehabilitasi (lokres) pelacuran yang melibatkan PSK langsung.

Tapi, secara de facto praktik pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK tidak langsung.

Nah, pertanyaan selanjutnya: Apakah Dinkes Berau bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kab Berau yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung di wilayah Kab Berau dan di luar Kab Berau serta di luar negeri?

Kalau jawabannya BISA, ya penurunan kasus itu bisa masuk akal. Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka penurunan kasus itu hanya pada temuan kasus bukan pendeteksian kasus baru di masyarakat.

Disebutkan dalam berita “ .... tahun 2014 tercatat 58 pengidap HIV/AIDS, sementara di tahun 2015 berjumlah 31 pengidap.”

Ada fakta yang luput dari pernyataan di atas yaitu penyebaran HIV/AIDS terkait erat dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut).

Jika Pemkab Berau, dalam hal ini Dinkes Barau, ingin membongkar kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, maka jalankanlah program-program ini, yaitu buat regulasi (keputusan gubernur atau perda) yang mewajibkan perempuan hamil dan pasangannya menjalani konseling tes HIV dan mewajibkan semua pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah menjalani tes HIV.

Di bagian lain disebutkan: “ .... selain THM, ada beberapa tempat yang juga menjadi  penyebaran HIV/AIDS.”

HIV/AIDS tidak berada atau tinggal di satu tempat, tapi ada di dalam darah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS yang sudah terdeteksi dan yang belum atau tidak terdeteksi. Mereka inilah, yang belum tedeteksi, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ada lagi pernyataan “Dengan melihat kondisi serta sistem pergaulan remaja Berau yang mendekati perilaku seks bebas, hal seperti ini semakin sulit terkontrol dan merupakan salah satu indikator dalam penyebaran virus.”

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual di dalam dan di luar nikah (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).

Dari kasus yang dilaporkan di Kab Berau tidak dijelaskan perbandingan kasus pada remaja dan kelangan dewasa.

Lagi pula kasus HIV/AIDS pada remaja sudah berada pada terminal terkahir karena mereka tidak punya pasangan tetap, sedangkan kasus HIV/AIDS pada kalangan dewasa, terutama pada suami, akan menyebar terutama pada istri dan pasangan seks lain serta ke PSK. Kalau istri atau pasanga mereka tertular ada pula risiko penularan dari ibu-ke-bayi yang ada di kandungan mereka.

Mengapa justru remaja yang jadi sasaran tembak di Kab Berau?

Cobalah paparkan kasus HIV/AIDS pada laki-laki dewasa, perempuan dewasa dan remaja agar jelas duduk soalnya: Siapa yang perilakunya beriisko tertular HIV/AIDS dan siapa pula yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS! ***

08 Februari 2016

Hari Pers Nasional 9 Februari: Menunggu Peran Aktif Pers Indonesia Dukung Penanggulangan AIDS

“Media massa tanpa berita kesehatan jalan terus, tapi kesehatan, terutama kesehatan masyarakat, tanpa di-berita-kan (baca: sosialisasi) tidak akan jalan.” Ini disampaikan oleh dr Zulazmi Mamdy, MPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI. Artinya, ini adalah pameo di kalangan praktisi kesehatan masyarakat.

Tentu saja dr Zul benar karena adalah hal yang mustahil Menteri Kesehatan dan jajarannya sampai ke kabupaten dan kota membawa TOA (pengeras suara) keliling kampung menjelaskan berbagai macam penyakit dan cara penanggulangannya.

Dalam kasus epidemi HIV/AIDS, misalnya, media berhasil 100 persen menggiring opini publik dengan menyebarluaskan berita dari sumber-sumber yang berkompeten tapi menyesatkan. Berita ini misalnya: tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”

Gunung Es

Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.

“Dosa” besar pemerintah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS justru berawal dari penetapan pemerintah terhadap kasus HIV/AIDS pertama yang diakui secara resmi, yaitu ketika seorang wisatawan gay WN Belanda meninggal di RS Sanglah Denpasar dengan indikasi kematian terkait AIDS. Ada beberapa unsur yang menyuburkan mitos, yaitu: gay (homoseksual, sering pula disebut seks menyimpang oleh orang-orang yang membalut lidah dengan moral), orang asing, orang bule, dll.

Dampak buruk penyebaran berita yang tidak akurat itu menyebabkan masyarakat mengabaikan cara-cara melindungi diri. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian sampai 31 Maret 2015 sudah dilaporkan 233.724 yang terdiri atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS (Kemenkes RI, 2015).

Yang perlu diingat angka yang dilaporkan ini hanyalah sebagian dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus AIDS yang terdeteksi 233.724 digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Biar pun epidemi HIV/AIDS sudah masuk tahun ke-35 pada tahun ini, tapi tetap saja ada media massa, media online dan media sosial yang tetap berpegang teguh pada mitos sebagai pijakan berita tentang HIV/AIDS. Kalau kita membaca atau mendengarkan berita di media massa tetap saja akan muncul pengaitan cara penularan HIV/AIDS dengan ‘perilaku menyimpang’, ‘seks bebas’, dll.

Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks bebas, seks menyimpang, dll.) karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom.

Kondom pun mendapat stigma dari pemberitaan di media massa. Dikesankan sosialisasi kondom sebagai upaya untuk melegalkan zina. Tentu saja ini salah besar karena orang-orabg yang berzina, terutama laki-laki ‘hidung belang’ justru tidak mau pakai kondom karena berbagai alasan. Itu artinya wartawan yang menulis berita tentang kondom tidak melakukan riset dan pengamtan lapangan. Maka, berita itu hanya sebatas talking news yang nilainya sama dengan opini.

Dampak buruk lain dari berita-berita yang hanya berpijak pada mitos adalah stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakukan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan nama mereka bocor ke masyarakat. Mitos dan stigma menjadi dampak terburuk akibat berita media massa (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, Jakarta, 2000).

Monster

Ada pula media massa yang justru mencari-cari isu AIDS yang bisa dijadikan sebagai berita yang sensaional. Seperti ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak perduli apakah wania itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat bebicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).

Nah, kalau saja wartawan yang menulis berita ini mau meringankan langkah mencari orang yang sudah tertular HIV lebih dari lima tahun, apakah benar wajah mereka seperti monster. Lalu, wajah siapa, dong, yang seperti monster?

Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di 70-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.

Bahkan beberapa Perda justru menyuburkan mitos. Misalnya, menyebutkan cara mencedah penularan HIV/AIDS adalah dengan meningkatkan iman dan taqwa. Apa alat ukurnya? Siapa yang berhak mengukurnya? Berapa ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah HIV/AIDS?

Ada lagi Perda yang menyebutkan pencegahan HIV/AIDS adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah. Nah, sekarang banyak istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka setia dan hubungan seksual yang mereka lakukan sah dan resmi, lalu mengapa tertular HIV?

Apa, sih, peranan media massa, media online dan media sosial dalam penanggulangan HIV/AIDS?

Kita berkaca pada Thailand. Keberhasilan Negeri Gajah Putih itu menanggulangi HIV/AIDS adalah melalui peningkatan peran media massa sebagai media pembalajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS  di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000)

Untuk itulah kita berharap media massa, media online dan media sosial berlapang dada menyampaikan berita dan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS tanpa harus membalutnya dengan norma, moral, dan agama. Soalnya, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji dnegan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun bisa diketahui secara medis.

Atau media massa, media online dan media sosial tetap berpegang pada pemberitaan yang dibalut dengan norma, moral dan agama?

Kalau ini yang terjadi, maka kita pun akan bisa bernasip seperti Thailand yang pernah mencapai kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.000 yang menghabiskan tiga perempat devisa pariwisatanya untuk menanggulangi HIV/AIDS. Artinya, kita tinggal menunggu ‘panen’ ledakan AIDS.

Ini yang perlu direnungkan para insan pers di Hari Pers Nasional (HPN), yang diperingati hari ini di NTB. *** Syaiful W. Harahap

07 Februari 2016

Sering “ML” dengan Cewek Pemijat Ketakutan Apakah Sudah Kena AIDS

Oleh SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

Tanya Jawab AIDS No 1/Februari 2016

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: SW Harahap, Markas BaraJP, Jl. Bhinneka Raya No 3, Cawang Baru, Jakarta 13340, (2) Telepon (021) 8566755, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya seorang karyawan swasta. Selama hampir dua tahun belakagan ini saya ke panti pijat plus-plus, tapi hanya sekali bulan dan itupun tidak setiap bulan. Kadang saya hanya martubasi pake tangan cewek, seks oral beberapa kali. Seingat saya ada enam kali. ML pakai kondom empat kali, tidak pakai kondom satu kali itupun keburu keluar di luar vagina. Hanya dua kali orgasme di dalam. Nah, sepulang dari luar negeri setelah satu bulan di sana, baru kerja tiga hari kerja saya demam. Selang beberapa hari kelanjar getah bening bengkak. Saya berobat ke dokter. Kata dokter hanya radang dan perlu istirahat. (1) Berapa persen saya kemungkinan terjangkit HIV/AIDS? Sekarang saya dah gak pernah ke panti lagi. Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Tn “H” via e-mail (5/2-2016)

Jawab: (1) Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual keberapa terjadi penularan. Bisa yang pertama, kedua, ketujuh, kedua puluh lima, ketujuh puluh, kesembilan puluh dan bisa jadi pada hubungan seksual yang keseratus.

Itu artinya setiap kali melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang mengidap HIV/AIDS selalu ada risiko tertular.

Terkait dengan kasus Saudara masalahnya adalah kita tidak tahu apakah cewek-cewek yang pernah Saudara kencani mengidap HIV/AIDS atau tidak. Kalau tidak mengidap HIV/AIDS Saudara tidak berisiko tertular HIV.

Tapi, yang perlu diingat adalah cewek-cewek itu adalah perempuan yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja terjadi salah satu laki-laki yang mengencani mereka mengidap HIV/AIDS sehingga cewek-cewek itu berisiko tertular HIV.

Karena Saudara tidak mengetahui status HIV cewek-cewek itu dan Saudaran pernah ngeseks tanpa kondom, maka Saudara berisiko tertular HIV.

Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena ejakulasi terjadi di dalam vagina, tapi karena penis bergesekan dengan vagina dan penis pun ‘berendam’ di cairan vagina. Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV ada di dalam cairan vagina, sedangkan gesekan penis dengan vagina bisa menimbulkan iritasi yang menjadi pintu masuk HIV.

Untuk mengatasi keragu-raguan Saudara, silakan tes HIV di klinik VCT yang ada di Puskesmas dan rumah sakit umum pemerintah di tempat Saudara. Jika ada kesulitan silakan kontak kami. ***