06 Februari 2016

Kondom dan Stigma terhadap Remaja

Oleh SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia

“Penjualan alat kontrasepsi jenis kondom diwacanakan akan diperketat. Khususnya pada toko-toko obat. Alasannya supaya tidak dimanfaatkan untuk hal negatif, terutama bagi yang belum berkeluarga.” Ini lead pada berita “Penjualan Kondom Diperketat” di Harian “Radar Banjarmasin” (6/2-2016).

Wacana tsb. disampaikan oleh Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP2PAKB), Kab Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, H Hormansyah. Yang dimaksud diperketat adalah pembeli diharuskan mengisi formulir sebagai bukti pembeli sudah berkeluarga, bukan remaja yang belum menikah.

Menurut Hormansyah, jika anak-anak muda yang membelinya dipastikan akan digunakan ke hal negatif, sehingga tidak dijual ke mereka.

Pernyataan ini tidak akurat dan menyudutkan remaja karena bisa saja laki-laki dewasa membeli kondom untuk mencegah kehamilan pada pacar atau selingkuhan mereka.  Pernyataan Hormansyah ini tidak objektif karena tidak membandingkan perilaku remaja dalam hal membeli kondom dengan kalangan laki-laki dewasa.

Jika remaja-remaja putra membeli kondom sebagai alat untuk melindungi diri agar tidak tertular IMS (infeksi menular seksual yang penyakit-penyakit atau infeksi yang ditularkan oleh pengidap IMS ke orang lain melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, herpes genitalis, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS meunjukkan remaja tsb. memahami cara-cara yang akurat dalam mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

Pada masa remaja dorongan libido seks sangat tinggi sehingga perlu penyaluran. Dorongan seksual sebagai kebutuhan biologis tidak bisa disubsitusi dengan kegiatan lain sehingga remaja-remaja itu melakukan hubungan seksual. Jika mereka lakukan dengan pacar tentu ada risiko kehamilan, kalau mereka lakukan dengan pekerja seks komerisal (PSK) ada risiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. PSK dikenal ada dua tipe yaitu: (1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata. Mereka ini ‘praktek’ di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau mangkal di tempat-tempat tertentu, dan (2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.

Pertanyaan untu Pak Hormansyah: Apaka di Kab Tabalong ada pelacuran?

Tentu saja dengan menepuk dada Pak Hormansyah mengatakan: Tidak Ada!

Pak Hormansyah benar secara de jure. Tapi, secara de facto ada praktik pelacuran di berbagai tempat dengan cewek panggilan. Maka, ketersediaan dan kemudahan mendapatkan kondom sangat penting agar penyebaran IMS dan HIV/AIDS tidak terjadi di masyarakat Kab Tabalong.

Jika penjualan kondom dibatasi, maka bisa terjadi penjualan kondom di pasar gelap dengan dampak harga yang makin mahal. Bisa juga laki-laki beristri jadi calo penjual kondom kepada remaja ini pun harga akan melonjak.

Jika penjualan kondom dibatasi, maka remaja akan berhadapan langsung dengan risiko kehamilan pacar, tertular IMS, tertular HIV/AIDS atau tertular IMS dan HIV/AIDS sekaligus.

Dalam program keluarga berencana (KB) kondom mempunyai dua manfaat, yaitu (a) mencegah kehamilan, dan (b) mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS. Sayang, pemerintah mengabaikan hal ini sehingga kian banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap IMS dan HIV/AIDS karena mereka tertular dari suaminya.

Dengan langkah BP2PAKB Kab Tabalong ini yaitu membatasi akses penjualan kondom, khususnya bagi remaja, maka Pemkab Tabalong siap-siap menghadapi ‘ledakan AIDS’ di kalangan remaja putra. ***

05 Februari 2016

PSK Terdeteksi AIDS Dipulangkan, Laki-laki yang Idap AIDS Dibiarkan Menyebarkan HIV



Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Wacth Indonesia

17 PSK Terindikasi HIV/AIDS Dipulangkan” Ini judul berita di www.korankaltim.com (1/2-2016). Ini Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Kaltim.
                    
Jika disimak makna yang ada di dalam judul berita ini, maka ada 17 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Itu artinya ada pula 17 laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari al. bisa sebagai seorang suami, yang mengidap HIV/AIDS yaitu yang menularkan HIV ke PSK tsb.

Di sisi lain ada pula puluhan bahkan ratusan laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari al. bisa sebagai seorang suami, yang berisiko tertular HIV dari 17 PSK tadi jika ketika mereka melakukan hubungan seksual laki-laki tidak memakai kondom.

Secara teoritis seseorang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV minimal sudah tertular 3 (tiga) bulan. Waktu tiga bulan diperlukan tubuh untuk memproduksi antibody HIV. Dalam tes HIV yang dicari bukan virus (HIV), tapi antibody HIV.

Maka, ada 3.060 laki-laki yang berisiko tertular HIV, yaitu 17 PSK x 3 laki-kaki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan. Angka ini jika memang 17 PSK itu baru tertular 3 bulan sebelum dites. Kalau ada di antara 17 PSK itu ketika dites sudah masuk masa AIDS itu artinya PSK itu sudah tertular antara 5-15 tahun sebelum menjalani tes HIV. Nah, kalau ini yang terjadi maka jumlah laki-laki yang berisko tertular HIV bisa mencapai ribuan.

Celakanya, laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK tidak menyadarinya. Bahkan bertahun-tahun tidak ada gejala dan keluhan yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang tertular HIV.

Kondisi di atas membuat laki-laki yang mengidap HIV/AIDS, dalam hal ini yang tertular dari 17 PSK tadi, menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Salah satu indikator laki-laki sebagai penyebar HIV adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada perempuan hamil. Sayang, dalam berita tidak ada data tentang jumlah kasus HIV/AIDS di Kukar.




Dalam berita disebutkan “Pemulangan dilakukan setelah mereka menjalani perawatan medis dan pendampingan.”

PSK itu menjalani perawatan medis apa? Tidak dijelaskan. Soalnya, orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak otomatis membutuhkan pelayanan medis, kecuali sudah masuk masa AIDS karena ada infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, jamur di mulut, dll.

Celakanya, laki-laki yang tertular HIV dari PSK itu tidak terdeteksi dan mereka menyebarkan HIV di Kukar tanpa mereka sadari.

Di bagian lain disebutkan “Satu PSK diketahui mengidap HIV/AIDS di salah satu lokalisasi pada pertengahan Desember 2015 lalu dan meninggal dunia di RSUD AM Parikesit.”

Kematian PSK ini terjadi pada masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun. Nah, coba kita hitung jumlah laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV dari PSK yang mati ini: 1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun = 3.600 – 10.800.

Angka itu tidak kecil karena menjadi mata rantai penyebaran HIV. Ketika istri-istri mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Ada pula pernyataan, oleh  Kepala Bidang Rehabilitasi dan Kesetiakawanan (Resos) Dinsos Kukar, Supriyanto, justru merupakan mitos (anggapan yang salah) yang menjadi salah satu isu yang melemahkan program penanggulangan HIV/AIDS, yaitu: “ ....  Kami mengimbau juga agar warga tak lagi mengunjungi lokalisasi agar tidak tertular HIV/AIDS yang kemudian bisa terbawa sampai ke anggota keluarga.”

Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak tergantung pada tempat hubungan seksual dilakukan, tapi tergantung pada kondisi saat hubungan seksual terjadi, yaitu dilakukan dengan yang mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika hubungan seksual.

Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di lokalisasi merupakan perilaku yang berisiko tertular HIV karena PSK adalah orang yang sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.  Bisa saja terjadi salah satu di antara laki-laki yang pernah dilayani PSK itu mengidap HIV/AIDS sehingga PSK itu pun berisiko pula tertular HIV. ***

31 Januari 2016

Di Kota Tanjungpinang Pengidap HIV/AIDS “Tidak Bisa Hidup Layaknya Manusia Biasa”

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Pemerintah Kota Tanjungpinang (Prov Kepri-pen.) melalui Dinas Kesehatan terus melakukan sosialisasi dan pembinaan agar penderita HIV/Aids tetap bisa hidup layaknya manusia biasa.” Ini pernyataan dalam berita “Cegah Penularan HIV/Aids, Dinkes Tanjungpinang Minta Ibu Hamil Screening Sejak Dini” di batam.tribunnews.com (30/1-2016).

Pernyataan ini di luar akal sehat karena pengidap HIV/AIDS, disebut Odha (Orang dengan HIV/AIDS), tidak bisa dilihat dan dikenali dari ciri-ciri fisik. Sama sekali tidak ada perbedaan secara fisik, bahkan dari segi kesehatan, antar Odha dan orang-orang yang tidak tidak tertular HIV.

Maka, frasa “agar penderita HIV/Aids tetap bisa hidup layaknya manusia biasa” merupakan stiga (cap buruk) terhadap Odha yang pada gilirannya merendahkan harkat dan martabat Odha sebagai manusia. Soalnya, frasa itu mengesankan “penderita HIV/Aids tidak bisa hidup layaknya manusia biasa” kalau tidak mendaptkan sosialisasi.

Cara-cara pemberitaan seperti berita inilah yang menjadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. Media massa, termasuk media online, menjadi ujung tombak penyampaian informasi HIV/AIDS. Namun, kalau yang disampaikan tidak konkret, maka yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Seperti frasa tadi tentulah menimbulkan pemahaman yang salah di benak banyak orang.

“Sosialisasi dan pembinaan” justru perlu untuk orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS, seperti laki-laki yang gemar melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang beganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., serta melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering beganti-ganti pasangan, misalnya pekerja seks komersial (PSK).

Di lead berita disebutkan “Penderita HIV/Aids di Tanjungpinang sudah merambah semua kalangan.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ‘merambah’ disebutkan: v 1 membabat; menebang; memangkas (tumbuh-tumbuhan):  2 membuka atau menebang (tt hutan; 3 merintis (jalan); 4 memarang (menembaki, memukul banyak-banyak sekaligus; 4 menjelajah.

Itu artinya pemamakaian kata ‘merambah’ terkait dengan epidemi HIV/AIDS tidak pas. Sebagai virus HIV tidak merambat (KBBI: al. merambat adalah meluas; menjalar (tt api ganas); menular (tt penyakit); tersiar (tt kabar, berita); meluas dan berkepanjangan (tt percakapan), tapi menular dari seorang pengidap HIV/AIDS ke orang lain dengan cara-cara yang sangat khas, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di bagian lain disebutkan: “Ini (sosialisasi dan pembinaan-pen,) dilakukan agar ibu penderita HIV/Aids tidak menularkan penyakit tersebut pada bayinya. Upaya tersebut diantaranya dilakukan dengan pencegahan penularan terhadap anak sejak dini.”

Jika ditelisik pernyataan di atas dan dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka terjadi pembiaran yaitu membiarkan perempuan, dalam hal ini istri atau ibu rumah tangga, tertular HIV dari suaminya. Setelah perempuan-perempuan itu tertular, risiko bisa terjadi karena terjadi kehamilan sebagai bukti suami mereka tidak memakai kondom ketika sanggama.

Bayi-bayi yang (akan) dilahirkan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya bisa terhindar dari risiko tertular HIV/AIDS, tapi ibu-ibu rumah tangga itu dibiarkan ditulari suami mereka.

Biar pun mata rantai penular HIV/AIDS ke ibu-ibu rumah tangga itu adalah suami mereka, tapi dalam berita ini sama sekali tidak ada pembahasan tentang suami sebagai penular HIV/AIDS

Lagi-lagi semua ditimpakan kepada perempuan, dalam hal ini ibu-ibu rumah tangga.

Mengapa Pemkot Tanjungpinang tidak (bisa) membalik paradigma berpikir mereka?

Buat peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan pasangan suami-istri konseling tes HIV ketika si istri hamil. Jika hasil konseling menunjukkan perilaku suami berisiko tertular HIV, maka yang menjalani tes HIV adalah suami. Kalau suami positif, baru istrinya menjalani tes HIV. ***