28 Januari 2016

AIDS di Yogyakarta: Yang Bikin Miris Bukan AIDS pada Pelajar dan Mahasiswa, tapi Pada Laki-lak Dewasa



Oleh: Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Fakta miris pelajar-mahasiswa Yogya, kena HIV/AIDS dan hamil duluan.” Ini judul berita di merdeka.com (29/1-2016).

Judul berita ini terkesan moralistis dan menghakimi pelajar dan mahasiswa.  Hal ini terjadi karena tidak ada pembanding kasus HIV/AIDS pada laki-laki dewasa, khususnya suami, dan  jumlah KTD (kehamilan tak diingikan) di kalangan perempuan dewasa. Selain itu tidak pula ada pembanding dengan kota lain yang juga jadi tujuan pendidikan.

Jika disimak dari epidemiologi HIV/AIDS, maka HIV/AIDS pada pelajar dan mahasiswa ada di ‘terminal terakhir’ karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap sehingga mata rantai penularan tidak sebesar laki-laki dewasa yang beristri.

Berbeda dengan laki-laki dewasa, terutama suami, jika mereka tertular HIV maka mereka akan menularkan HIV ke istri dan pasangan seks lain, seperti istri yang lain, selingkuhan dan pekerja seks komersial (PSK).

Catatan Kemenkes RI sampai tanggal 1 Desember 2015 sudah  9.096 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (bbc.com, 1/12-2015). Itu artinya ada 9.096 bayi yang berisiko tertular HIV ketika dilahirkan ke bumi.

Celakanya, langkah-langkah penanggulangan HIV/AIDS tidak dilakukan di hulu, tapi di hilir seperti tes HIV kepada ibu rumah tangga yang hamil. Itu artinya pemerintah membiarkan ibu-ibu rumah tangga ditulari suaminya.

Dalam berita disebutkan “Dari rentang usia, ODHA yang paling banyak yaitu usia 20-29 tahun sebanyak 965. Sementara dari jenis pekerjaan ODHA didominasi dari kalangan Wiraswasta yaitu 601.

Ada fakta yang dihilangkan dari data Odha pada usia 20-29 tahun yaitu banyak di antara mereka adalah penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Nah, mereka ini diwajibkan tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi.

Bandingkan dengan laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK, tidak diwajibkan tes HIV.

Kondisinya kian runyam karena program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya juga tidak melibatkan suami karena yang tes HIV adalah ibu rumah tangga yang hamil. Itu artinya suami tidak mengikuti konseling sebelum dan sesudah tes HIV sehingga mereka pun jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan pula: Hanya saja dari tahun 2015 jumlah penambahan ODHA berkurang dari tahun sebelumnya. "Penurunan ini menunjukkan jika kita sudah bisa mengendalikan penambahan ODHA. Tentunya ini juga peran dari masyarakat juga, yang semakin memiliki pemahaman pencegahan," kata Sekretaris KPA, Riswanto, kepada wartawan.

Yang berkurang adalah angka yang dilaporkan. Ini perlu dipertegas karena dari pernyataan Riswanto itu dikesankan yang turun insiden penularan HIV baru. Tentu saja tidak ada kaitan langsung antara jumlah kasus yang terdeteksi yang dilaporkan dengan insiden infeksi HIV baru karena orang-orang yang tertular HIV tidak semerta sakit atau menjalani tes HIV.

KTD

Terkait dengan isu ‘hamil di luar nikah’ yang dijadikan topik dalam berita ini ada fakta yang juga digelapkan yatu tanggung jawab laki-laki terhadap kehamilan pasangannya.  Pemaparan dalam berita ini hanya menohok perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD).

Selain itu tidak ada pula angka pembanding berupa jumlah KTD di kalangan perempuan dewasa, termasuk istri. “Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jakarta pada tahun 2003 di sembilan kota di Indonesia (Medan, Batam, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Mataram, dan Makassar) dengan responden 1.446 menunjukkan hasil yang lain dari ‘data’ yang diumbar selama ini.” Yaitu, 87 persen aborsi dilakukan perempuan bersuami. (Aborsi, Hujatan Moral yang Ambiguitas terhadap Remaja Putri).

Peranan laki-laki dalam kasus-kasus KTD tsb. sama sekali diabaikan oleh wartawan yang menulis berita ini. Semua kesalahan ada pada perempuan yang mengalami KTD.

Disebutkan “Faktor lain, kurangnya insiatif orang tua mengedukasi anak-anak tentang kesehatan reproduksi. Alasannya, masih dianggap tabu.

Tidak jelas apakah pernyataan ini kesimpulan wartawan atau kutipan dari pernyataan Koordinator Penelitian dan Diseminasi Data Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Aprilia Ike Nurwijayanti, yang jadi narasumber dalam berita ini.

Lagi-lagi menyalahkan orang tua. Apakah anak-anak yang sudah diedukasi orang tua, mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, dll. otomatis tidak akan pernah (lagi) mengalami KTD?

Mengapa peranan laki-laki pasangan remaja-remaja yang mengalami KTD itu diabaikan? Bisa jadi ada di antara laki-laki itu yang justru suami yang sudah paham tentang masalah seks dan kehamilan.

Yang membuat laki-laki tidak takut menghamili adalah masyarakat, termasuk sebagian pakar dan tokoh, selalu menyalahkan perempuan. Padahal, dalam pandangan alm Sartono Mukadis, psikolog UI, tanggung jawab ada pada laki-laki. Dalam berbagai kesempatan wawancara dengan Sartono disampaikan bahwa salah satu langkah mengatasi KTD adalah mendorong laki-laki agar bertanggung jawab menjaga kesucian pasangannya.

Tapi, yang terjadi di masyarakat dalam kasus pelecehan seksual dan perkosaan yang disalahkan selalu perempuan. Inilah yang membuat laki-laki tidak takut melakukan pelecdhan dan perkosaan, apalagi proses hukum sangat berbelit karena harus ada saksi.

Bahkan, kabar burung yang beredar ketika diperiksa perempuan korban perkosaan sering mengalami pelecehan secara verbal: Diperkosa ni ye. Goyang tidak waktu diperkosa. Dll. Bahkan, ada calon hakim agung yang menjalani fit and proper test di DPR mengatakan bahwa perempuan yang diperkosa menikmati hubungan seksual tsb. ***

26 Januari 2016

“Homo” Kena AIDS di Kab Banjar, Kalsel



Oleh: Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia


* HIV/AIDS di Kalangan Laki-laki Gay Nyaris di Terminal Terakhir Penyebaran HIV

Waspada! Enam Homo di Kabupaten Banjar Sudah Terkena HIV/AIDS.” Ini judul berita di banjarmasin.tribunnews.com (25/1- 2016). Kasus ini terjadi di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dengan pusat pemerintahan di Martapura.

Judul berita ini terkesan sensasional karena ada kata ‘homo’. Tapi, jika ditilik dari aspek epidemilogi HIV/AIDS judul ini ngawur bin ngaco.

Pertama, homo artinya manusia. Memang, yang tertular HIV itu manusia. Tapi, ‘homo’ dalam judul berita ini bermaksud menyebut homoseksual yatu salah satu orientasi seksual manusia.

Kedua, jika memang yang ‘homo’ yang dimaksud pada judul berita adalah homoseksual sebagai orientasi seksual lagi judul itu tidak benar karena homoseksual sebagai orietnasi seksual ada dua yaitu: gay (laki-laki) dan lesbian (perempuan).

Ketiga, sampai sekarang secara global belum ada laporan penularan HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian. Maka, lagi-lagi judul itu ngawur karena tidak disebutkan bahwa enam homo yang tertular HIV itu gay.

Keempat, HIV/AIDS pada kalangan homoseksual, dalam hal ini laki-laki gay, nyaris ada di terminal terakhir karena beberapa hal, al. mereka tidak mempunyai pasangan tetap seperti layaknya suami-istri pada heteroseksual,  dan jumlah gay pada komunitas gay terbatas.

Kelima, sangat kecil kemungkinan ada jembatan dari komunitas gay ke populasi karena kontak seksual hanya antara mereka dalam kominitas.

Maka, bertolak dari lima fakta di atas amatlah gegabah wartawan atau redaktur yang membuat judul berita itu karena bukan realitas terkait dengan HIV/AIDS.

Yang menjadi persoalan besar di Indonesia adalah HIV/AIDS di kalangan heteroseksual dan biseksual karena laki-laki heteroseksual dan biseksual yang mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, al. kepada istri dan pasangan seksualnya yang lain.

Fakta menunjukkan kian banyak istri yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sampai akhir tahun 2014, misalnya, sudah lebih 4.000-an ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka tertular dari suaminya.

Sayang, berita tsb. sama sekali tidak memberikan gambaran tentang kasus HIV/AIDS pada suami dan istri di Kab Banjar karena berita di-setting sebagai sensasi dengan objek homo(seksual). Dalam berita hanya ada data tentang jumlah 40. Tapi, lagi-lagi tidak ada perincian terkait kasus ini, seperti jenis kelamin, umur, dan faktor risiko.

Di lead disebutkan: ”ADA fakta mengejutkan yang diperoleh Dinkes Kabupaten Banjar. Mereka menemukan adanya perilaku seks menyimpang yakni hubungan sesama laki-laki atau pria homoseksual.”

Dalam seks tidak ada yang menyimpang karena semua hubungan seksual merupakan pemenuhan kebutuhan biologis. Disebut menyimpang hanya dari aspek norma, moral, agama dan hukum (ini jika terkait dengan tindakan asusila). Celakanya, biar pun berzina, selingkuh, memerkosa, dll. merupakan perbuatan yang melawan norma, moral, agama dan hukum tapi tidak disebut sebgai perilaku seks menyimpang.

Kalau disimak dari aspek penularan HIV, maka tidak ada kaitan langsung antara ‘perilaku seks menyimpang’ dengan penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi jika salah satu pasangan, heteroseksual dan homoseksual, mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau salah satu tidak pakai kondom (kondisi saat terjadi hubungan seksual) bukan karena hubungan seksual dilakukan menyimpang, homoseksual, melacur, zina, selingkuh, seks anal, seks oral, dll. (sifat hubungan seksual).

Untuk mengetahui status HIV seseorang hanya perlu melakukan tes HIV tidak perlu melakukan pemeriksaan medis, seperti yang disebutkan di lead berita tsb. “Bahkan, saat dilakukan pemeriksaan medis terhadap 20 orang yang perilaku seksualnya menyimpang itu, enam di antaranya sudah terkena HIV/AIDS.”

Pertanyaan untuk KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Banjar adalah: Apakah di wilayah Kab Banjar ada praktik-praktik perziaan, al. pelacuran terbuka dan tertutup?

Jawaban KPA Banjar tentulah tidak ada. Ya, memang secara de jure di Indonesia tidak ada pelacuran yang dilokalisir,  tapi secara de facto praktek pelacuran terjadi setiap waktu di berbagai tempat.

Pertanyaan berikutnya: Apakah ada program penanggulangan berupa intervensi langsung berupa pemakian kondom pada laki-laki yang ngeseks dengan pekerja seks?

Ini, sih, jawabannya pasti tidak ada. Maka, jumlah kasus yang disebut 40 itu hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakt karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi melalui kegiatan pelacuran terbuka dan terselubuh. Pada saatnya nanti Pemkab Banjar tinggal memetik hasil ‘ledakan AIDS’. ***