Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode tahun 1987 – 30 Juni 2015 sebanyak
291.465 yang terdiri atas 208.909 HIV dan 82.556 AIDS dengan 14.234 kematian. Estimasi
kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 600.000, yang terdeteksi baru separuh.
Dari jumlah yang terdeteksi baru 70.000-an yang meminum obat antiretrorival
(ARV).
Yang perlu diingat adalah kasus yang
terdeteksi tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya ada di
masyarakat. “Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es,” kata
Syaiful W. Harahap, aktivis di “AIDS Watch Indonesia” di Jakarta.
Lebih lanjut Syaiful mengatakan bahwa fenomena gunung es adalah kasus yang terdeteksi digambarakan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Lebih lanjut Syaiful mengatakan bahwa fenomena gunung es adalah kasus yang terdeteksi digambarakan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Dalam epidemi HIV/AIDS yang jadi masalah
besar adalah kasus yang tidak terdeteksi. “Artinya, warga yang mengidap
HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat,” ujar Syaiful. Yang perlu dilakukan adalah program yang bisa
menemukan warga yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, “Tapi,
perlu diingat jangan sampai melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia
(HAM),” kata Syaiful mengingatkan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh
pemerintah kota dan pemerintah kabupaten di adalah membuat peraturan derah
(Perda) yang mewajibkan ibu rumah tangga yang sedang hamil dan suaminya
menjalani konseling HIV/AIDS di sarana kesehatan pemerintah atau swasta yang
ditunjuk pemerintah. Jika dari hasil konseling tsb. ada indikasi perilaku
seksual suami berisiko tertular HIV, maka suami wajib menjalani tes HIV. Kalau hasil
tes menunjukkan suami positif tertular HIV istrinya pun menjalani tes HIV.
Langkah tsb., menurut Syaiful, ibarat sekali
dayung dua pulau terlampaui. Pertama, bisa terdeteksi warga yang mengidap
HIV/AIDS, yaitu suami, sehingga bisa diputus mata rantai penyebaran HIV/AIDS
melalui si suami ke perempuan atau pasangan seks yang lain. Kedua, kalau si
istri juga tertular HIV bisa dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi
yang dikandungnya. Ketiga, program pencegahan akan melahirkan anak-anak yang
bebas HIV/AIDS.
Program pencegahan penularan HIV
dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya akan efektif jika dilakukan pada saat hamil
muda. Pencegahan dilakukan dengan pemberian obat ARV kepada ibu hamil yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS agar tidak terjadi penularan vertikal ke bayi yang
dikandungnya. Sejauh ini baru Thailand yang menyatakan bahwa bayi-bayi yang
lahir di Negeri “Gajah Putih” itu bebas
HIV/AIDS. Ini berkat program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan konsisten
di Thailand.
Banyak daerah di Indonesia yang
berlomba-lomba membuat Perda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, tapi tidak
ada satu pun pasal yang menukik ke akar persoalan sehingga perda-perda itu
tidak efektif menanggulangi HIV/AIDS. Sampai sekarang sudah ada 105 peraturan
terkait AIDS mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yaitu: Perda 21
provinsi, 53 kabupaten dan 22 kota, serta 4 Pergub, 5 Perbup dan 1 Perwali.
Program yang banyak dijalankan adalah tes HIV
dengan berbagai macam bentuk. “Program ini ada di hilir,” kata Syaiful.
Artinya, dibiarkan dulu warga tertular HIV baru dites.
Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). “Celakanya, praktek PSK di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK,” ujar Syaiful.
Yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). “Celakanya, praktek PSK di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK,” ujar Syaiful.
Risiko insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa di satu daerah, seperti kabupaten dan kota, dapat diketahui
melalui perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa, apakah mereka: (a) pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di daerahnya atau di luar daerah,
dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom
dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) di daerahnya artau di luar daerah.
Dalam kaitan itulah perlu sosialisasi yang
gencar agar laki-laki yang pernah atau sering melakukan perilaku (a) dan (b)
menjalani tes HIV. Bisa juga dengan melatih tenaga penjangkau untuk mendekati
orang-orang yang sering melakukan perilaku (a) dan (b) agar mereka mau
melakukan tes HIV. Soal keengganan orang datang ke tempat tes HIV, “Bukan
karena malu, tapi banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya
berisiko tertular HIV/AIDS,” kata Syaiful.
Jika hanya menunggu kasus HIV/AIDS melalui warga
yang datang berobat karena sakit dengan ciri-ciri penyakit terkait AIDS, itu artinya
penanggulangan pasif. Warga dibiarkan tertular HIV dahulu baru ditangani.
Celakanya, “Kalau ini yang dilakukan sebelum orang-orang yang sakit tadi
berobat dan menjalani tes HIV mereka sudah menularkan HIV ke orang lain
sehingga kasus HIV/AIDS kian banyak di masyarakat,” kata Syaiful.
Yang jadi persoalan adalah praktek pelacuran
yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti cewek pemijat di panti pijat
plus-plus, cewek kafe, cewek biliar, anak sekolah, mahasiswi, dll. karena tidak
bisa diintervensi. Praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga program penanggulangan tidak
bisa dilancarkan secara efektif.
Jika ada panti pijat plus-plus dan praktek
pelacuran terselubung, itu artinya ada risiko insiden penularan HIV pada
laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di sana. “Laki-laki
yang tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka menularkan HIV/AIDS
ke orang lain, terutama ke istrinya,” kata Bang Syaiful.
Sebaliknya, biar pun tidak ada panti pijat
plus-plus dan praktek pelacuran terselubung bisa saja ada laki-laki dewasa yang
melakukan perilaku seks berisiko di luar daerahnya. Jika ada di antara mereka
yang tertular, maka mereka pun akan menyebaran HIV/AIDS di daerahnya, terutama
ke istrinya.
Unrtuk itulah perlu mekanisme yang realistis untuk
mendeteksi warga yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, al.
melalui Perda yang mewajibkan pasangan suami-istri konseling HIV ketika si
istri sedang hamil. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.