Oleh: SYAIFUL W HARAHAP – AIDS Watch Indonesia
Laki-laki dewasa ada yang perilaku seksualnya berisiko
tinggi tertular HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan
perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK).
PSK sendiri dikenal dua macam, yaitu: (1) PSK langsung yaitu
PSK yang kasat mata, seperti di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di
jalanan, dan (2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak bisa dikenali, seperti
cewek pemijat, cewek kafe, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek
gratifikasi seks, dll.
Laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, al. kepada istrinya,
selingkuhan, sampai PSK. Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menjadi bukti
bahwa mereka tertular HIV dari suami.
Celakanya, lima
program pencegahan penularan HIV/AIDS yang dijalankan Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) Kota Cirebon, Jawa Barat, justru mengabaikan potensi laki-laki
dewasa sebagai penyebar HIV. Dalam berita “KPA
Cirebon Siapkan 5 Program Pencegahan Penularan HIV-AIDS” (republika.co.id, 29/7-2016) disebutkan lima program itu adalah:
(1) Kalangan remaja, (2) Ibu hamil, (3) Calon pengantin, (4) Ibu ke anak, dan
(5) Pengguna narkoba suntik.
Dengan lima
program tsb., maka (Gambar 1):
Pertama, laki-laki yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular dan menularkan
HIV diabaikan. Maka, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa pun akan terus
terjadi yang pada gilirannya akan menambah jumlah ibu hamil yang tertular HIV. Di terminal akhir akan menambah bayi yang
berisiko lahir dengan HIV/AIDS.
Laki-laki dewasa
yang perilaku seksualnya berisiko melakukan hubungan seksual berisiko sebelum
program dijalankan dan selama program dijalankan karena tidak ada intervensi
terhadap mereka. Pada waktu
yang bersamaan ada risiko mereka menularkan HIV ke istri atau pasangan seks
lain serta PSK.
Kedua, KPA Kota Cirebon membiarkan ibu-ibu rumah tangga ditulari HIV oleh suami
mereka karena tidak ada program yang menjangkau suami-suami untuk menjalankan
seks yang aman (Gambar 2). Yang perlu dilakukan KPA Kota Cirebon adalah menjalankan
intervensi yaitu mewajibkan laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan
PSK selalu memakai kondom.
Atau KPA Kota
Cirebon membusungkan dada dengan mengatakan: Di Kota Cirebon tidak ada
perzinaan (baca: praktek pelacuran)!
Di satu sisi kita
percaya kalau tolok ukurnya lokalisasi pelacuran. Memang di Kota Cirebon tidak
ada pelacuran yang dilokalisir.
Tapi, apakah KPA
Kota Cirebon bisa menjamin di Kota Cirebon tidak ada hubungan seksual yang
berisiko antara laki-laki dan perempuan dengan imbalan uang?
Tentu saja tidak
bisa. Itu artinya di Kota Cirebon ada praktek pelacuran. Di Kota Cirebon dan
sekitarnya memang tidak ada ’pelacuran’ karena di sana disebut ”esek-esek”. Ini
eufemisme terhadap praktek pelacuran sehingga laki-laki pun tidak rikuhya
menjawab kalau ditanya: Pulang dari mana? Karena jawabannya bukan dari
pelacuran atau berzina, tapi pulang dari ”esek-esek” (Praktek ‘Esek-esek’ di Kab Cirebon, Jabar).
Penanggulangan
pada ibu hamil (program nomor 2) yaitu tes HIV adalah program di hilir.
Artinya, KPA Kota Cirebon membiarkan ibu-ibu rumah tangga (baca: istri)
ditulari suaminya, setelah hamil baru dilakukan tes HIV (Gambar 3).
Bagi laki-laki
dewasa yang beristri ada dua pilihan, yaitu: (a) tidak memakai kondom ketika melakukan
hubungan seksual berisiko, tapi memakai kondom ketika sanggama dengan istri
sehingga proses reproduksi terhenti, atau (b) memakai kondom ketika melakukan
hubungan seksual berisiko sehingga tidak perlu memakai kondom ketika sanggama
dengan istri dan proses reproduksi bisa berjalan alamiah.
KPA Cirebon hanya
menyelematkan bayi agar tidak tertular HIV dari ibunya, sementara ibu-ibu
dibiarkan tertular HIV karena tidak ada program yang melindungi istri-istri
dari risiko ditulari oleh suaminya.
Pelajar SMA dan
SMK yang tertular HIV merupakan terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai
pasangan yang tetap (baca: istri) sehingga penyebaran HIV berhenti pada mereka.
Persentase pelajar puitra dengan perilaku seks berisiko sangat kecil jika
dibandingkan dengan laki-laki dewasa.
Sedangkan
laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS akan jadi mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal ke istrinya, pasangan seks yang lain serta PSK. Celakanya, program
KPA Kota Cirebon justru tidak menyasar laki-laki dewasa sehingga penyebaran HIV
di Kota Cirebon akan terus bertambah, al. bisa dilihat dari jumlah ibu rumah
tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Peraturan daerah
(Perda) Kota Cirebon No 1 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS juga tidak
menawarkan cara-cara penanggulangan yang konkret (Perda AIDS Kota Cirebon, Jawa Barat).
Lima program pencegahan yang akan dilakukan KPA Kota
Cirebon tidak akan menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa,
pada gilirannya jumlah ibu rumah tangga yang tertular HIV pun bertambah. Di
ujung jumlah bayi yang berisiko lahir dengan HIV pun banyak pula.
Maka, tanpa program pencegahan yang konkret di hulu
insiden infeksi HIV baru di Kota Cirebon akan terus terjadi yang akan jadi ’bom
waktu’ menuju ’ledakan AIDS’. ***
Ilustrasi
(Sumber: www.lifemartini.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.