Oleh:
SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch
Indonesia
“Rentan Tertular HIV/AIDS Ibu Hamil
Diharuskan Tes Darah.” Ini judul berita di www.goaceh.co (4/8-2016). Judul berita ini mengesankan ibu-ibu
hamil itu rentan tertular HIV/AIDS karena perilaku (seksual) mereka. Padahal,
mereka rentan tertular HIV/AIDS karena, seperti dikatakan oleh Kepala
Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan
Lhokseumawe, Aceh, Herliza: “ .... kalangan ibu rumah tangga lebih banyak
tertular disebabkan faktor suami yang sering ganti pasangan serta menggunakan
narkoba.”
Maka,
judul berita itu tidak tepat karena menyudutkan ibu-ibu rumah tangga. Judul
yang pas dan objektif adalah: “Rentan Tertular HIV/AIDS dari Suami, Ibu Hamil
Diharuskan Tes Darah”.
Tapi,
satu hal yang perlu diingat adalah tes HIV pada ibu-ibu hamil itu adalah
langkah penanggulangan di hilir. Artinya, mereka dibiarkan oleh Pemkot
Lhokseumawe ditulari HIV oleh suami.
Lagi
pula ibu hamil yang menjalani tes HIV kan hanya yang periksa kehamilan di
puskesmas dan rumah sakit umum. Kalau ke bidan atau dokter pribadi serta rumah
sakit swasta tentu tidak ada kontrol. Itu artinya ada risiko bayi-bayi yang
lahir dengan HIV/AIDS.
Yang
perlu dilakukan oleh Pemkot Lhokseumawe adalah menurunkan insiden infeksi HIV
baru pada laki-laki dewasa. Mereka ini berisiko tertular HIV karena perilaku
seksual yang berisiko yaitu:
(1)
Melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan
perempuan yang berganti-ganti, dan
(2)
Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.
PSK
langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu yang ada di tempat terbuka, seperti lokasi,
lokalisasi atau tempat-tempat pelacuran dan transaksi seks, sedangkan PSK tidak
langsung adalah PSK yang tidak bisa dikenali karena mereka tidak beroperasi
secara terbuka, seperti cewek kafe, cewek disko, cewek pemijat, ABG, ayam
kampus, ibu-ibu, dll.
Pada
poin (1) jelas tidak bisa ditangani karena hubungan seksual terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu. Sedangkan poin (2) hanya bisa dilukan
terhadap PSK langsung dengan catatan praktek mereka dilokalisir.
Tentu
saja intervensi tidak bisa dilakukan terhadap laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dengan PSK langsung karena tidak ada tempat pelacuran yang terbuka
Disebutkan
oleh Herliza: “Berdasarkan hasil pendataan oleh pihak kita, ditemukan puluhan
ibu rumah tangga yang tertular virus HIV/AIDS dan ada yang sudah meninggal.
Secara umum mereka tertular akibat faktor suami.”
Itu
membuktikan suami-suami yang menlarkan HIV ke istri melakukan perilaku seksual
yang berisiko yaitu poin (1) atau poin (2) atau dua-duanya.
Dikatakan
lagi oleh Herliza: “Penyakit HIV/AIDS itu lebih bagus terdeteksi secara dini,
sehingga bisa dilakukan berbagai tindakan medis untuk memperlambat
perkembangbiakan virus tersebut. Maka bagi kalangan ibu hamil harus melakukan
pemeriksaan, agar bisa diketahui postif atau tidak.”
Biar
pun bisa ditangani, tapi kan sudah tertular HIV. Yang perlu dilakukan adalah
program yang bisa mengurangi risiko tertular HIV bukan menjalani tes HIV karena
dibiarkan tertular dan meminum obata untuk memperlambat perkembangbiakan virus.
Tanpa
program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi terutama
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus-kasus
HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi ‘bom waktu’ yang kelak sampai pada ‘ledakan
AIDS’. *** [AIDS Watch Indonesia] ***
Ilustrasi
(Sumber: www.pinterest.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.