Oleh: SYAIFUL W.
HARAHAP – AIDS Watch Indonesia
“Tugas dalang kini bertambah. Pemkab meminta para dalang
untuk menyosialisasikan bahaya penyakit HIV/AIDS.” Ini ada di berita “Dalang di
Kabupaten Kebumen Diminta Sosialisasi Bahaya HIV/AIDS” (Radar Banyumas,
5/8-2016).
Sosialisasi bahaya HIV/AIDS sudah dilakukan jauh-jauh hari
sejak kasus HIV/AIDS terdeteksi (1981). Tapi, tetap saja banyak orang yang
tidak mengindahkan sosialisasi karena mitos (anggapan yang salah) yang membalut
HIV/AIDS sehingga fakta tentang HIV/AIDS pun ‘terkubur’.
Misalnya, penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan
(pelanggaran) norma, moral dan agama. Padahal, sebagai virus HIV menular
melalui cara-cara yang tidak terkait langsung dengan norma, moral dan agama.
Lihat saja penularan HIV melalui transfusi darah dan jarum suntik. Ini sama
sekali tidak ada kaitannya dengan pelanggaran norma, moral dan agama. Begitu
juga dengan penularan HIV di dalam ikatan pernikahan yang sah sama sekali tidak
terkait dengan pelanggaran norma, moral dan agama.
Akibat dari informasi HIV/AIDS yang dibalut dengan nomor,
moral dan agama itu banyak orang yang kemudian lalai karena mereka merasa tidak
melakukan pelanggaran moral, seperti kawin-cerai dan kawin kontrak. Padahal,
dua hal ini merupakan perilaku yang berisiko tertular HIV karena hubungan
seksual dilakukan dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Informasi HIV/AIDS lain yang juga dibalut dengan norma, moral
dan agama adalah mengait-ngaitkan penularan HIV dengan lokasi atau kokalisasi
pelacuran dan pekerja seks komerisal (PSK). Maka, lokasi dan lokalisasi
pelacuran pun ditutup di semua daerah.
Tapi, apa yang terjadi kemudian?
Penyebaran IMS (infeksi menular seksual atau yang lebih
dikenal sebagai ‘penyakit kelamin’, seperti raja singa/sifilis, kencing
nanah/GO, virus hepatitis B, klamidia, herpes genitalis, dll.) dan HIV/AIDS pun
tidak terkendali karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan
sembarang waktu. Ketika PSK dilokalisir bisa dilakukan intervensi berupa
memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan
PSK.
Dampak lain adalah banyak laki-laki yang merasa tidak
berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual
dengan PSK di lakasi atau lokalisasi pelacuran. Mereka melakukan hubungan
seksual dengan cewek kafe, cewek pemijat, anak sekolah, ayam kampus, dll. Ini
dikenal sebagai PSK tidak langsung. Tapi, yang perlu diingat adalah perilaku
seksual PSK langsung (PKS yang kasat mata yang ada di lokasi atau lokalisasi
pelacuran) dan PSK tidak langsng terkait
dengan HIV/AIDS sama saja yaitu berisiko tertular HIV.
Pertanyannya adalah dengan kondisi yang ada: Apa yang akan
dilakukan dalang sebagai sosialisasi bahaya HIV/AIDS?
Tentu saja tidak ada karena yang diperlukan bukan sosialisasi
bahaya HIV/AIDS, tapi langkah nyata yaitu menurunkan jumlah insiden infeksi HIV
baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK
tidak langsung.
Di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, jumlah kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi adalah 551 dengan 187 kematian. Angka ini tidak menggambarkan kasus
HIV/AIDS yang sebenarnya di Kab Kebumen karena banyak orang yang mengidap
HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Orang-orang inilah yang
akan jadi mata rantai menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Mungkin Pemkab Kebumen akan menepuk dada dengan mengatakan:
Di wilayah kami tidak ada pelacuran.
Pernyataan itu benar kalau yang dimaksud adalah pelacuran
yang dilokalisir, tapi praktek pelacuran tentu saja terjadi setiap saat di
sembarang tempat di wilayah Kabupaten Kebumen. Itu artinya perilaku berisiko
yaitu laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom
tetap terjadi di wilayah Kabupaten Kebumen yang pada gilirannya akan menambah
jumlah laki-laki dewasa yang tertular HIV dan akan berakhir pada ibu-ibu rumah
tangga dan bayi yang mereka lahirkan kelak.
Selain itu apakah Pemkab Kebumen bisa menjamin tidak ada
laki-laki dewasa penduduk Kebumen yang melakukan perilaku berisko di luar
wilayah Kebumen atau di luar negeri?
Tentu saja tidak bisa. Ini juga akan menambah jumlah
laki-laki dewasa penduduk Kebumen yang tertular HIV yang akan berimbas pada
jumlah ibu rumah tangga dan bayi yang lahir dengan HIV/AIDS.
Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Kebumen adalah menurunkan jumlah
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa. Celakanya, hal ini tidak bisa
dilakukan karena praktek pelacuran tidak dilokalisir dan tidak ada pula
mekanisme yang bisa mencegah laki-laki dewasa penduduk Kebumen agar tidak
melakukan perilaku berisiko di luar Kebumen dan di luar negeri.
Itu artinya sosialisasi dalang tentang bahaya HIV/AIDS ibarat
‘menggantang asap’. ***
Ilustrasi (Sumber:
solopos.com)
Suit actor was a white face new version, please wear a blue stripe red replica watches sale drive, white and classic Le Mans 1970 film excellent. The Porsche 917 Gulf driving scenes of his, in tag heuer replica uk real estate department insisted on giving Joe Siffert including a driving replica tag heuer watches chronograph suits overall also natural to him. Always, 24 hours, Heuer representatives of many set up by rolex replica uk that has been proud to wear the watch company logo and officially in rolex replica sale rally champion and rider, Switzerland Joe Siffert, is famous it was the first of. Of course, Steve Monaco dressed in his wrist has contributed to its popularity. The replica watches sale style, ultra-modern of them, becomes one of the deviation complete popular replica watches among the artwork traditional, however, it is not the only reason.
BalasHapus