Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP - AIDS Watch Indonesia
“Saat ini prostitusi sudah ditutup, tingginya angka
HIV/AIDS ini sungguh mengejutkan. Kami menduga, penyebaran HIV/Aids
itu sekarang bersumber dari café, tempat karaoke dan rumah kost yang seringkali
digunakan sebagai tempat mesum dan pesta narkoba. Kami mengimbau Dinkes untuk
turun memberikan sosialiasi di tempat-tempat itu.” Ini pernyataan anggota
Komisi I DPRD Kota Blitar, M.Nuhan Eko Wahyudi dalam berita “Dewan Imbau Dinkes Sosialisasi HIV/AIDS Ke
Café, Kost dan Karaoke” (jatimtimes.com,
18/8-2016).
Data di Dinkes Kota Blitar menunjukkan sampai
pertengahan Agustus 2016 sudah ada 92 penderita HIV-AIDS yang terdeteksi. Angka
ini tidak menggambarkan jumlah warga yang mengidap HIV/AIDS karena ada yang
tidak terdeteksi. Hal ini terjadi karena warga yang mengidap HIV/AIDS tidak
menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka dan tidak ada pula
keluhan kesehatan yang terkait langsung dengan AIDS.
Pernyataan anggota DPRD Kota Blitar itu menunjukkan
anggota DPRD itu terkungkung mitos (anggapan yang salah) yang selama ini
menjadi salah satu faktor yang menyulitkan penanggulangan HIV/AIDS, yaitu
sumber HIV/AIDS adalah prostitusi, dalam hal ini lokalisasi pelacuran.
Fakta: HIV/AIDS di lokalisasi pelacuran yang
terdeteksi pada pekerja seks komersial (PSK) dibawa atau ditularkan oleh
laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa
memakai kondom.
Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dalam
kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, atau
lajang yang seterusnya menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat
terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Bagi laki-laki yang mempunyai istri, maka ada risiko
menularkan HIV ke istrinya. Jika istrinya tertular, itu artinya anak yang
dikandung istrinya berisiko pula tertular HIV dari ibunya selama di kandungan
atau ketika persalinan atau sewaktu menyusu ke ibunya.
Selanjutnya ada pula laki-laki yang tertular HIV dari
PSK karena melakukan hubungan seksual dengan tidak memakai kondom. Laki-laki
ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar,
selingkuhan, atau lajang yang seterusnya menjadi mata rantai penyebaran
HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam
dan di luar nikah.
Fakta inilah yang tidak diketahui oleh anggota Komisi
I DPRD Kota Blitar tadi sehingga mengaitkan lokalisasi pelacuran dengan
penyebaran HIV/AIDS.
Disebutkan pula oleh Nuhan: “Kami menduga,
penyebaran HIV/Aids itu sekarang bersumber dari café, tempat karaoke dan rumah
kost yang seringkali digunakan sebagai tempat mesum dan pesta narkoba ....”
Ini juga persis sama dengan lokalisasi pelacuran.
HIV/AIDS tidak serta-merta hadir atau ada di café, tempat karaoke dan rumah
kost. Perempuan-perempuan di café, tempat karaoke dan rumah kost yang melayani
transaksi seksual tertular HIV dari laki-laki yang mereka ladeni melakukan
hubungan seksual tanpa kondom.
Di sisi lain anggota DPRD Blitar ini mengakui bahwa di
café, tempat karaoke dan rumah kost terjadi praktek pelacuran. Lalu, untuk apa
menutup lokalisasi pelacuran kalau kemudian pelacuran itu pindah ke café,
tempat karaoke dan rumah kost?
Ya, bisa jadi untuk pencitraan: Di Kota Blitar, Jawa Timur, tidak
ada pelacuran! Benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi
pelacuran. Sedangkan praktek pelacuran, ya, tetap ada. Buktinya, seperti yang
disebutkan anggota DPRD itu yaitu café, tempat karaoke dan rumah kost.
Katakanlah di Kota Blitar tidak ada lagi café, tempat
karaoke dan rumah kost yang menerima transaksi seksual, apakah Pemkot Blita
bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Kota Blitar yang melakukan
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan
yang berganti-ganti atau dengan PSK di luar Kota Blitar atau di luar negeri?
Tentu saja tidak bisa. Maka, laki-laki dewasa warga
Kota Blitar yang tertular HIV di luar kota atau di luar negeri kalau pulang ke
Kota Blitar jadi mata rantai penyebaran HIV.
Langkah konkret yang bisa menurunkan insiden infeksi
HIV di Kota Blitar adalah dengan melakukan intervensi terhadap laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan perempuan di café, tempat karaoke dan rumah
kost, yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksual.
Tanpa langkah konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat, terutama melalui hubungan seksual, akan jadi ‘bom waktu’ untuk ‘ledakan
AIDS’ di Kota Blitar. Untuk mencegah hal ini semua terpulang kepada Pemkot
Blitar: pilih sosialisasi atau intervensi. ***
Ilustrasi
(Sumber: www.dnaindia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.