Oleh; SYAIFUL W. HARAHAP - AIDS Watch Indonesia
Ada ironi yang berkembang dari tahun ke tahun sejak
epidemi HIV/AIDS dilaporkan di Indoensia (sejak 1987). Celakanya, ironi itu
juga mendorong mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS sehingga kasus
insiden infeksi HIV baru terus-menerus terjadi di Indonesia.
Di awal epidemi pernyataan resmi pemerintah
menyebutkan HIV/AIDS adalah penyakit orang bule
dan penyakit homoseksual. Dekade berikutnya disebutkan pula HIV/AIDS
berkecamuk di lokalisasi pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial
(PSK). Selanjutnya yang jadi ‘kambing hitam’ adalah PSK yang dipojokkan sebagai
penyebar HIV.
Setelah itu pernyataan kemudian menyebutkan HIV/AIDS
di Indonesia terkonsentrasi pada PSK. Celakanya, pernyataan ini hanya
berdasarkan survailans tes HIV (tes HIV secara anomim tanpa tes konfirmasi)
pada kalangan PSK di lokalisasi pelacuran tanpa ada survailans tes HIV pada
kalangan atau kelompok lain sebagai pembanding.
Belakangan yang mencuat ke permukaan adalah HIV/AIDS
sudah masuk ke keluarga yaitu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah
tangga.
Yang jadi pertanyaan besar dari perjalanan pernyataan
di atas adalah:
Pertama, yang membawa HIV/AIDS ke lokalisasi pelacuran justru laki-laki yang dalam
kehidupan sehari-hari ada yang sebagai suami, pacar, selingkuhan, duda atau
lajang. Fakta ini digelapkan sehingga sasaran tembak hanya kepada lokalisasi
pelacuran.
Kedua, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan
sehari-hari ada yang sebagai suami, pacar, selingkuhan, duda atau lajang. Fakta
ini juga digelapkan sehingga sasaran tembak hanya kepada PSK.
Ketiga, PSK juga adalah bagian dari masyarakat yang hidup dalam keluarga. Ada
yang bersuami dan mempunyai anak, mereka juga hidup dalam keluarga dengan ayah
dan ibu atau dengan mertua.
Maka,
pernyataan di berita ini pun memakai landasan pemikiran seperti di atas: Kasus
HIV/AIDS di Jawa Barat (Jabar) semakin menakutkan. Pengidapnya kini tidak hanya
dialami oleh wanita pekerja seks komersial (PSK), melainkan sudah merambah ke
rumah tangga. Bahkan jumlahnya pun melebihi dari pengidap HIV/AIDS dari
golongan PSK (Ibu Rumah Tangga Pengidap
HIV/AIDS Lebih Banyak Ketimbang PSK, jawapos.com,
15/7-2016).
Pernyataan
dalam berita itu menggambarkan pola pikir seperti alur yang disebarluaskan
media massa selama ini. Padahal, kalau berpijak pada realitas, maka tidak ada
yang aneh, menakutkan, dll. Soalnya, 1 PSK meladeni 3-5 laki-laki setiap malam
(Lihat Gambar 1).
Laporan Kemenkes (2012): Laki-laki dewasa
pelanggan PSK langsung di Indonesia ada 6,7 juta, 2,2 juta di antaranya adalah
suami. Itu artinya ada 2,2 juta istri yang berisiko terular HIV dari suami.
Suami-suami yang tertular HIV akan menularkan HIV ke istri, sedangkan PSK yang
sudah tertular HIV jumlahnya akan tetap sama biar pun terular HIV lagi dari
laki-laki pelanggannya [Lihat: Dibanding PSK, Ibu RumahTangga Lebih Banyak yang (Berisiko) Tertular HIV/AIDS].
Disebutkan dalam berita “Berdasarkan data
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jabar, sebanyak 812 orang ibu rumah tangga
(IRT) mengidap HIV/AIDS. Sementara PSK yang terkena HIV/AIDS hanya 366 orang.”
Nah,
kalau 366 PSK yang mengidap HIV/AIDS itu melayani 3-5 laki-laki itu artinya
setiap malam ada 1.098 – 1.830 laki-laki yang berisiko tertular HIV, di ujung
ada 1.098 – 1.830 istri yang berisiko
tertular HIV dari suami, dan pada terminal terakhir ada 1.098 – 1.830 bayi yang
berisiko pula tertular HIV yang dilahirkan istri-istri yang terular HIV dari
suami.
Disebutkan oleh Ketua Harian Komisi Penanggulangan (KPA)
AIDS Jabar, Iwa Karniwa: Oleh karena itu, menurutnya perlu upaya serius untuk
menanggulanginya. Apabila tidak berbuat sama sekali, maka akan terjadi
kehilangan generasi masa depan.
Persoalannya,
adalah dalam semua peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS yang ada di
Jawa Barat sama sekali tidak ada pasal yang konkret untuk menurunkan insiden
infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Memang,
di Jawa Barat tidak ada lokalisasi pelacuran, tapi pratek pelacuran tetap saja
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Yang
diperlukan adalah pasal yang konkret untuk memaksa laki-laki memakai kondom
setiap kali ngeseks dengan PSK. Tapi, ini hanya bisa dilakukan jika PSK
dilokalisir. Celakanya, di Jawa Barat PSK tidak dilokalisir sehingga tidak bisa
dilakukan intervensi untuk memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali ngeseks
dengan PSK.
Ada
juga ‘agen’ penyebar HIV/AIDS yaitu perempuan Jawa Barat yang bekerja sebagai
PSK langsung dan PSK tidak langsung di Jawa Barat atau di luar Jawa Barat. Mereka
menularkan HIV ke pasangannya (suami atau pacar) atau laki-laki yang menjadi
pelanggan mereka ketika pulang kampung dan mudik Lebaran (Lihat: Wahai Perantau BerperilakuBerisiko, Ketika Mudik Janganlah Sebarkan HIV/AIDS di Kampung Halamanmu).
Penyebaran
HIV/AIDS kian runyam di Jawa Barat karena selain PSK lansung (PSK yang kasat
mata, seperti di lokasi pelacuran dan di jalanan), ada pula PSK tidak langsung
(PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat, cewek kafe, cewek diskotek,
ABG, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu, cewek gratifikasi seks, dll.). PSK
tidak langsung ini tidak bisa diintervensi karena mereka ‘praktek’ berdasarkan
perjanjikan dengan kurir, telepon, SMS, media sosial, dll.
Selama tidak ada intervensi terhadap PSK langsung di
Jawa Barat untuk memaksa laki-laki pakai kondom setiap kali ngeseks, maka
selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada
gilirannya HIV/AIDS tersebar luas di masyarakat pada ibu-ibu rumah tangga dan
bayi yang mereka lahirkan. Kondisi ini merupakan ‘bom waktu’ untuk menuju ke ‘ledakan
AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.