“Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Thailand telah menjadi negara pertama di Asia
yang berhasil menghentikan transmisi HIV dari ibu ke anak.” In lead pada berita
“Thailand Berhasil Hilangkan Transmisi HIV Ibu-Anak” (BBC Indonesia, 8/6-2016).
Berita
ini menyentak karena data Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, sampai tanggal 31
Desember 2015 di Indonesia terdeteksi 10.626 ibu rumah tangga
yang mengidap HIV/AIDS yang sudah sampai pada masa AIDS (kondisi ketika sistem
kekebalan tubuh sudah rusak dan mudah dimasuk penyakit yang terjadi antara 5-15
tahun setelah tertular HIV). Sedangkan jumlah anak berusia di bawah empat tahun yang hidup
dengan HIV/AIDS dari tahun 2010-2015 sebanyak 3.441 (tahun 2015 data sampai
dengan bulan April).
Secara global setiap tahun, 1,4 juta pengidap HIV akan
hamil. Jumlah anak yang lahir dengan HIV/AIDS setiap tahun mencapai 400.000
pada tahun 2009, namun pada tahun 2013 turun jadi 240.000 karena program
pencegahan.
Itu artinya ada 10.626 bayi yang akan lahir di Indonesia
dengan HIV/AIDS yang tertular secara vertikal dari ibu-ke-bayi pada masa
kehamilan atau pada saat persalinan. Celakanya, tidak ada program yang
komprehensif untuk mendeteksi ibu-ibu hamil yang mengidap HIV/AIDS karena yang
ada hanya anjuran kepada ibu hamil ketika memeriksakan kehamilan di sarana
kesehatan pemerintah.
Soalnya, tanpa program pencegahan pada ibu hamil risiko
tertular HIV pada bayi bisa mencapai 45 persen. Artinya, jika ada 100 perempuan
pengidap HIV/AIDS melahirkan ada 45 bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Kalau
ditangani dokter dalam program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang
dikandungya (dikenal luas sebagai PMTCT/Prevention of mother-to-child transmission),
al. dengan pemberian obat dan persalinan dengan operasi caesar, risiko 1 persen
bahkan bisa nol persen.
Pernyataan
WHO menyebutkan Thailand adalah negara pertama dengan jumlah pengidap HIV/AIDS
yang tinggi yang bisa memastikan generasi bebas AIDS. Ini benar-benar menyentak
karena Indonesia dengan kasus yang jauh lebih kecil dari Thailand ternyata
tidak mempunyai program yang konkret dengan skala nasional untuk memastikan
generasi yang besar AIDS.
Disebutkan
oleh Direktur Eksekutif UNAIDS, Michel Sidibe: "Kemajuan Thailand
menunjukkan hal yang dapat dicapai ketika ilmu pengetahuan dan obat, didampingi
dengan keberlangsungan kehendak politik.”
Keputusan
politik di Thailand dalam penanggulangan HIV/AIDS memang menjadi pilar utama,
seperti pemberlakuan ‘program wajib kondom 100 persen’ terhadap laki-laki
dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Program ini hanya bisa dijalankan dengan efektif kalau PSK dilokalisir.
Celakanya, di Indonesia promosi kondom pun sudah ditentang habis-habisan oleh
banyak kalangan. Lalu, pemerintah melalui Kemensos mati-matian pula menutup
lokasi pelacuran di seluruh Indonesia.
Salah
satu pintu masuk HIV/AIDS ke ibu rumah tangga adalah dari suami yang
perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu suami-suami yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang
berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, atau dengan perempuan yang sering
ganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung atau PSK tidak langsung.
(1) PSK
langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi
pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.
(2) PSK
tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti
pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe,
cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam
kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.
Karena
tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual yang berisiko, maka jumlah ibu rumah
tangga yang tertular HIV akan terus bertambah. Pada giliranya bayi yang lahir
dengan HIV/AIDS pun terus bertambah karena tidak ada program yang konkret
dengan skala nasional untuk mendeteksi HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga.
Untuk
itu pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah (kabupaten dan kota) karena
masalah kesehatan sudah dilimpahkan ke daerah, harus membuat aturan yaitu
peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami dari perempuan hamil yang
memeriksa kehamilan atau berobat ke sarana kesehatan pemerintah menjalani
konseling HIV/AIDS dan tes HIV jika perilakunya berisiko.
Istri
atau pasangan dari suami atau laki-laki yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pun
menjalani konseling HIV/AIDS dan tes HIV. Selanjutnya, mengikuti program
pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi agar bayi yang lahir kelak bebas HIV/AIDS.
Tanpa
program yang realistis, maka jumlah ibu yang tertular HIV akan bertambah dan
bayi yang lahir dengan HIV pun akan banyak. Kelak akan terjadi ‘lost generation’
karena bayi-bayi yang lahir hidup dengan HIV/AIDS sepanjang hidupnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.