Oleh SYAIFUL W. HARAHAP - AIDS Watch Indonesia
“Tiduri Pelacur Didenda Rp 50 Juta” (poskotanews.com, 14/6-2016). “Tidak Pakai Kondom Saat Melacur Bakal Dipidana” (poskotanews.com, 30/9-2015).
Judul-judul
berita di atas mewakili pasal-pasal di dalam 85 peraturan daerah (Perda)
tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada Perda-perda: provinsi (21),
kabupaten (44) dan kota (20) yang yang memuat sanksi pidana dan denda terhadap
pekerja seks komersial (PSK) jika ketahuan meladeni laki-laki ‘hidung belang’
melakukan hubungan seksual tidak memakai kondom.
Tapi,
ada beberapa fakta yang luput dari dua hal yang dibicarakan di judul berita
itu, yakni:
Pertama, jika razia
dilakukan setelah terjadi hubungan seksual antara laki-laki ‘hidung belang’
dengan PSK itu artinya sudah ada kemungkinan terjadi penularan HIV. Laki-laki
‘hidung belang’ yang tertular HIV dari PSK tidak menyadarinya dan mereka pun
menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal terutama
melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, mekanisme atau cara mencari
atau mengetahui apakah PSK melayani laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak
memakai kondom pun di banyak Perda tidak sistematis. Ada yang melihat kondom
bekas pakai di tempat yang disiapkan di kamar PSK.
Ketiga, kalau cara melihat apakah PSK
melayani laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom melalui tes IMS
(infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, dll.)
dilakukan sekali sebulan itu artinya sudah banyak laki-laki ‘hidung belang’
yang berisiko tertular IMS, bisa pula sekaligus tertular HIV.
Keempat, jika sanksi
pidana hanya diberikan kepada PSK itu artinya Perda membiarkan laki-laki
‘hidung belang’ yang menularkan HIV ke PSK dan yang tertular HIV dari PSK
menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom
di dalam dan di luar nikah
Kelima, kalau yang dipidana dan didenda
hanya PSK karena melayani laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom,
maka ini diskriminasi yang merupakan perbuatan yang melawan hukum sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Moral dan Agama
Keenam, terkait dengan epidemi HIV/AIDS
biar pun PSK dihukum penjara tidak mengatasi penyebaran IMS dan HIV karena
laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular HIV dari PSK yang dipenjara tadi jadi
mata rantai penyebaran IMS, bisa sekaligus dengan HIV, di masyarakat terutama
melalui hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam dan di luar nikah.
Enam
hal itulah yang menjadi persoalan besar dalam perda-perda penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia. Celakanya, enam hal itu selalu terulang dalam rencana
peraturan daerah (Raperda) berikutnya.
Hal
lain yang juga selalu terulang dalam Perda-perda AIDS adalah faktor yang
mendorong stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan
berbeda) terhadap orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha), yaitu:
(1)
Mengaitkan moral dan agama dalam pencegahan HIV/AIDS, misalnya dengan
menyebutkan ‘iman dan taqwa’ sebagai faktor yang bisa mencegah penularan HIV.
Tentu saja hal ini mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi dan diskriminasi
terhadap Odha karena dikategorikan sebagai orang yang tidak beriman dan tidak
bertaqwa.
(2)
Mengitkan penularan HIV dengan hubungan seksual di luar nikah, seperti
selingkuh, pasangan yang bukan istri, dll. Ini juga mendorong masyarakat
melakukan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap Odha karena dikategorikan
sebagai orang yang penuh dosa karena sudah melakukan zina. Ini tentu saja
memojokkan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami melalui hubungan
seksual di dalam pernikahan yang sah. Lagi pula penularan HIV/AIDS melalui
hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (sebelum menikah), tapi
karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki
tidak memakai kondom
Seks Sebelum Menikah
(3)
Mengatikan penularan HIV dengan hubungan seksual sebelum menikah. Tentu saja
ini ngawur karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena
sifat hubungan seksual (sebelum menikah), tapi karena kondisi hubungan seksual
(salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Celakanya,
tidak dijelaskan hubungan seksual yang seperti apa dan yang bagaimana yang
tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah agar tidak tertular
HIV/AIDS.
(4)
Mengaitkan peran serta masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan
‘ketahanan keluarga’. Ini sangat menyakitkan karena masyarakat akan menilai
pengidap HIV/AIDS sebagai orang yang hidup dalam keluarga yang tidak mempunyai
ketahanan keluarga. Akibatnya pun sudah jelas yaitu stigmatisasi dan
diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS.
(5)
Mengaitkan penanggulangan HIV/AIDS dengan ‘hidup sehat’. Ini juga sangat naif
karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘hidup sehat’ karena orang-orang
yang (bisa) melakukan hubungan seksual adalah orang-orang yang sehat. Lagi pula
penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual
bukan karena sehat atau tidak sehat, tapi karena dilakukan dengan orang
yang mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kndom.
(6)
Mengaitkan pencegahan HIV/AIDS dengan ‘seks sehat’. Ini pun tidak jelas karena tidak
jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks sehat’. Yang jelas hubungan seksual bisa
dilakukan dengan kondisi yang sehat. Semua hubungan seksual di dalam dan di
luar nikah adalah sehat.
Persoalan
lain yang selalu ada dalam perda-perda AIDS itu aalah sanksi bagi orang yang
sengaja menularkan HIV/AIDS. Ini kontra produktif karena studi menunjukkan
lebih dari 90 persen penularan HIV/AIDS terjadi tanpa disadari oleh yang
menularkan dan yang ditularkan pada saat terjadi hubungan seksual.
Yang
lebih konyol lagi juga ada dalam perda-perda AIDS, yaitu kewajiban bagi pemilik
atau pengelola tempat-tempat hiburan melakukan pencegahan HIV. Ini ‘kan
membuktikan bahwa praktek pelacuran tetap terjadi biar pun lokasi atau
lokalisasi pelacuran ditutup. Kalau tidak ada praktek pelacuran di
tempat-tempat hiburan itu, untuk apa mewajibkan pengelola atau pengusahnya
menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS. Ini bentuk ril dari kemunafikan
(massal). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.