Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia
“Wakil
Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat mengeluarkan surat edaran bagi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Ibu Kota untuk melakukan pemeriksaan HIV-AIDS.” Ini lead pada berita “Djarot: PNS DKI Wajib Periksa HIV-AIDS” (news.okezone.com, 24/3-2016).
Ada beberapa
hal yang terkait dengan surat edaran ini:
Pertama, tes HIV, juga tes penyakit lain
kecuali penyakit yang sedang mewabah, harus dengan sukarela dan didahului
dengan konseling dan ada pula konseling setelah tes. Setelah konseling ada
pernyataan kesediaan tes HIV.
Tes HIV Program di Hilir
Kedua, jika surat edaran itu tidak
memberikan pilihan yaitu semua PNS wajib tes HIV, maka itu artinya terjadi
perbuatan melawan hukum dan pelangaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Agar
tidak melawan hukum tes HIV dilakukan bagi (a) PNS yang berobat IMS (infeksi
menular seksual, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.), (b) PNS yang berobat
TBC, (c) PNS yang sedang hamil, dan (d) PNS yang berobat di fasilitas kesehatan
Pemprov DKI dengan biaya pemerintah provinsi.
Ketiga, tes HIV bukan vaksin. Artinya,
ketika ada PNS DKI yang hasil tesnya negatif itu tidak berarti PNS itu akan
selamanya tidak mengidap HIV/AIDS. Bisa saja setelah tes PNS tsb. melakukan
perilaku yang berisiko tertular HIV. Maka, Pemprov DKI Jakarta harus melakukan
tes HIV terhadap PNS rutin sepanjang PNS itu belum pensiun.
Keempat, mewajibkan semua PNS tes HIV itu
artinya Pemprov DKI Jakarta menyamaratakan perilaku seksual semua PNS. Ini amat
sangat tidak etis. PNS yang menjaga perilaku seksnya akan merasa terhina karena
harus tes HIV sebagai bagian dari PNS yang perilaku seksualnya berisiko
tertular HIV.
Kalau saja
Pak Wagub lebih arif, maka tes HIV dianjurkan kepada PNS yang perilakunya
berisiko tertular HIV. Ini bisa dijalankan dengan konseling per unit atau
bagian di pemprov.
Dalam berita
disebutkan: “ .... kebijakan
tersebut diberlakukan guna mengetahui sejauh mana peta dari penyakit yang belum
ditemukan obatnya tersebut.”
Yang
jelas tes HIV itu adalah program di hilir, yaitu ada PNS yang sudah tertular
HIV. Artinya, Pak Wagub “membiarkan” ada PNS yang tertular HIV karena
perilakunya yang berisiko, al. (1) sering melakukan hubungan seksual tanpa
kndom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2) sering
melakukan hubungan seksual tanpa kndom dengan sesoerang yang sering ganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan/atau PSK tidak
langsung.
(1) PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti PSK di lokasi atau
lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan tempat lain.
(2) PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek
pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon kecantikan di salon
plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe remang-remang, ABG,
‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan, cewek gratifikasi
seks, dll.
Yang
diperlukan bukan tes HIV, tapi program konkret di hulu agar insiden infeksi HIV
terhadap PNS bisa diturunkan, al. melalui program ‘wajib pakai kondom’ bagi
laki-laki yag ngeseks dengan PSK langsung. Ini tentu sulit karena praktek PSK
langsung tidak dilokalisir. Sedangkan terhadap PSK tidak langsung adalah hal
yang mustahil melakukan intervensi karena mereka ‘bekerja’ di sembarang tempat
dan sembarang waktu.
Ini
lagi-lagi pernyata Wagub Djarot: "Apa karena seks bebas yang
beresiko, apa karena narkoba, atau karena perilaku yang menyimpang? Kita harus
tahu terlebih dahulu."
Penularan
HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksula (seks bebas,
zina, melacur, homoseksual, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan
seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS, laki-laki tidak memakai kondom).
Jumlah Kasus
Bertambah
“Menyimpang”
adalah frasa moral yang tidak objektif. Kalau yang disebut menyimpang adalah
zina, maka laki-laki atau perempuan yang bersuami atau beristri juga harus
disebut menyimpang ketika mereka berzina (seks dengan PSK atau gigolo) atau
berselingkuh.
Ada pernyataan
Wagub Djarot: Djarot mengimbau, seluruh PNS di lingkungan Pemprov DKI tak
khawatir dengan aturan ini. Menurutnya, penyakit HIV/AIDS masih dapat diobati
asalkan mampu 'membunuh' virusnya.
Justru yang jadi
persoalan besar adalah tidak ada obat yang bisa membunuh (virus) IHV di dalam
tubuh. Selain itu AIDS jelas tidak akan pernah ada obatnya karena AIDS bukan
penyakit. Penyebutan penyakit terhadap AIDS adalah terminologi atau istilah
yang merujuk ke kondisi seseorang pengidap HIV yang sudah masuk masa AIDS yang
secara statistik antara 5-15 tahun.
Obat yang ada
sekarang adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menahan laju HIV
menggandakan diri di dalam darah. Sejak HIV masuk ke dalam tubuh seseorang,
maka HIV akan mereplikasi diri di sel-sel darah putih dan membentuk HIV baru
yang jumlah setiap hari antara miliaran sampai triliunan virus baru. Dengan
menahan replikasi maka masa AIDS pun bisa ‘ditunda’sehingga orang-orang yang
mengidap HIV dengan meminum obat ARV akan tetap bisa hidup layak seperti
sebelum tertular HIV.
Maka,
pernyataan Wagub Djarot ini tidak akurat: "Jadi enggak usah takut dan
khawatir. Kalaupun memang terkena, kita bisa obati supaya tidak menjadi AIDS.
....”
Bukan
mengobati supaya tidak menjadi AIDS, tapi menahan laju replikasi HIV di dalam
darah sehingga masa AIDS bisa ‘ditunda’. Masa AIDS ditandai dengan penyakit
yang mudah masuk ke tubuh pengidap HIV/AIDS karena sistem kekebalan tubuhnya
sangat rendah. Ini diukur dari CD4 yang diketahui melalui tes darah. WHO
memberikan batas CD4 di bawah 200 dikategorikan masa AIDS. Sedangkan untuk
mulai minum obat ARV dengan kondisi CD4 350.
Dalam berita
Wagub Djarot beranggapan dengan mewajibkan tes HIV bagi seluruh PNS Pemprov DKI
maka populasi Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Jakarta bisa ditekan. Justru dengan
tes HIV itu jumlah kasus Odha di Jakarta akan meningkat karena bertambah dari
hasil tes wajib itu.
Laporan
Ditjen PP&P, Kemenkes RI, tanggal 26 Februari 2016 menyebutkan jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS di Jakarta adalah 47.440 yang terdiri atas 39.347 HIV dan
8.093 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jakarta pada peringkat pertama jumlah kasus
secara nasional.
Selama
Pemprov DKI Jakarta tidak melakukan intervensi terhadap laki-laki agar memakai
kondom setiap kali ngeseks dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV
baru akan terus terjadi. Itu artinya Pemprov DKI Jakarta tinggal menunggu waktu
saja untuk ‘panen AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.