01 Maret 2016

Kasus HIV/AIDS Dekati Angka 300.000, Perlu Langkah Konkret Cegah Penyebaran HIV

JAKARTA, AWI (1/3-2016) - Jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Indonesia terus bertambah. Laporan Ditjen PP&PL, Kemenkes RI, tanggal 26 Februari 2016 menunjukkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 1987-Desember 2015 mencapai 268.185 yang terdiri atas 191.073 kasus infeksi HIV dan 77.112 kasus AIDS dengan 13.319 kematian.

“Yang perlu diingat adalah angka yang dilaporkan Kemenkes itu tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat,” kata Syaiful W. Harahap, aktivis di AIDS Watch Indonesia (AWI). Soalnya, penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan (268.185) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Kasus-kasus HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi, menurut Syaiful, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di di dalam dan di luar nikah. Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, “Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi harus ditemukan,” ujar Syaiful.

Dalam kaitan itu, menurut Syaiful, pemerintah didorong untuk membuat regulasi agar ada cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat melalui ara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Dalam satu perbincangan dengan Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD, KHOM, pakar AIDS di FK UI, disebutkan bahwa di Amerika Serikat (AS) semua pasien rumah sakit pemerintah diwajikan menjalani tes HIV tanpa melihat jenis penyakit. Ini tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar HAM karena ada pilihan yaitu berobat ke rumah sakit nonpemerii ntah.

Selain mewajibkan pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah untuk menjalani tes HIV, bisa juga dibuat regulasi yang mewajibkan pasangan suami-istri menjalani konseling tes HIV ketika si istri sedang hamil. Jika perilaku seks suami berisiko tertular HIV maka suami wajib tes HIV. Langkah ini akan menyelematkan bayi yang dikandung si ibu dari risiko terular HIV karena kalau si ibu terdeteksi mengidap HIV/AIDS maka akan dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Dengan jumlah kasus yang mendekati angka 300.000 sudah saatnya pemerintah menjalankan program penanggulangan yang konkret, terutama di hulu yaitu pada laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) yaitu melalui program ‘wajib memakai kondom’ bagi laki-laki setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

“Persoalannya adalah praktik PSK di Indonesia tidak dilokalisir melalui regulasi,” kata Syaiful. Bahkan, pemerintah melalui Kemensor RI menargetkan menutup semua tempat pelacuran di Indonesia. Itu artinya praktik PSK kian tidak bisa dijangkau sehingga program ‘wajib memakai kondom’ pun tidak bisa dijalankan.

Karena tidak ada program yang bisa dijalankan di hulu agar jumlah kasus penularan HIV baru bisa diturunkan, khususnya pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka, “Dikhawatirkan penyebaran HIV/AIDS yang tidak terkendali akan sampai pada ‘ledakan kasus AIDS’,” kata Syaiful. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.