Oleh:
SYAIFUL W. HARAHAP – AIDS Watch Indonesia
“Rhoma Irama ikut menyuarakan penolakannya terhadap makin
maraknya praktek LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Ia mengkaitkan
mewabahnya penyakit HIV di dunia saat ini dengan kemarahan Tuhan atas tumbuh
suburnya para pelaku LGBT.” Ini lead di berita “Bang Rhoma
Bicara Soal LGBT yang Resahkan Warga dan HIV Sebagai Azab Allah” (Wisnu Prasetiyo – detikNews, 6/3-2016).
Kesimpulan
wartawan yang menulis berita ini menujukkan pengetahuannya tentang HIV/AIDS
sangat rendah, hal yang sama juga pada narasumber yaitu Rhoma Irama.
Pertama, HIV bukan penyakit tapi virus yang
bisa dicegah penularannya. Virus ini tidak mengenal orientasi seksual karena
virus ini menular dari seseorang yang mengidap HIV ke orang lain melalui
beberapa cara, al. hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, kasus AIDS pertama yang
dipublikasikan memang terdeteksi pada laki-laki gay di San Fransisco, AS, 1981.
Tapi, setelah WHO menetapkan HIV sebagai penyebab AIDS dan menyetujui reagen
tes HIV (1983) ternyata ada darah pasien, bukan LGBT, yang disimpan di sebuah
rumah sakit di Swedia yang diambil tahun 1959 mengandung HIV. Ketika kasus AIDS
terdeteksi di San Fransisco pada saat yang sama juga ada kasus AIDS pada
pekerja seks di pantai timur AS.
Ketiga, LGBT adalah Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (waria) yang secara seksual tertarik kepada sesama
jenis. Risiko penularan HIV pada gay, biseksual dan waria terjadi karena pada
seks anal probabilitas penularan lebih besar daripada seks vaginal jika tidak
memakai kondom.
Keempat, hubungan seksual pada Lesbian
tidak ada laporan telah terjadi penularan HIV. Maka, Lesbian tidak termasuk
kalangan yang disebut Rhoma Irama sebagai
‘kemarahan Tuhan’.
Kelima, kasus HIV/AIDS pada gay, biseksual
dan transgender jauh lebih sedikit daripada kasus HIV/AIDS di kalangan
heteroseksual (laki-laki tertarik pada perempuan dan sebaliknya). Ini data yang
dikeluarkan oleh Ditjen PP&P, Kemenkes RI, tanggal 26 Februari 2016, berupa
data kasus di Indonesia sampai Desember 2015 yaitu: dari 77.112 kasus AIDS yang
terdeteksi pada homoseksual (gay dan waria) 2.272 atau 2,95 persen dan pada
biseksual 390 atau 0,51 persen. Bandingkan dengan kasus AIDS pada heteroseksual
51.467 atau 66,74 persen.
Keenam, ‘tumbuh suburnya para
pelaku LGBT’ tidak ada kaitannya secara langsung dengan penyebaran HIV/AIDS
karena penyebaran HIV dilakukan oleh orang-orang yang mengidap HIV/AIDS
kebanyakan tanpa mereka sadari.
Di bagian lain disebutkan “HIV
itu kan penyakit yang menyengsarakan dan belum ada obatnya”. Nah, ini yang
membuat kacau karena ketidaktahuan bahwa HIV adalah virus bukan penyakit
sehingga tidak akan ada obatnya. Terhadap virus bukan obat, tapi vaksin. Belum
da vaksin HIV. Virus tidak bisa dimatikan dengan obat di dalam tubuh manusia,
seperti virus flu. Yang ada yaitu obat antiretroviral (ARV) yang berguna untuk
menekan laju perkembangbiakan HIV di dalam darah. Setiap hari HIV berkembang
biak antara 10 miliar – 1 triliun. Ini yang menyebabkan sistem pertahanan tubuh
pengidap HIV/AIDS cepat rusak sehingga mudah dimasuki penyakit.
Dikatakan Rhoma Irama lagi: Ia menambahkan, perilaku LGBT
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, utamanya sila
pertama.
Apakah perilaku laki-laki beristri yang selingkuh, berzina,
atau melacur bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
utamanya sila pertama?
Tampaknya, hanya hubungan seksual pada LGBT yang disoal,
sedangkan seks oral dan seks anal pada suami-istri tidak diperbincangkan.
Yang perlu diingat adalah HIV/AIDS pada LGBT, khususnya gay,
ada pada terminal terakhir karena kalaupun ada kemungkinan ditularkan hanya
kepada kalangan gay juga.
Sedangkan pada transgender HIV akan menyebar ke laki-laki
heteroseksual karena laki-laki heteroseksual yang ngeseks dengan waria selalu
jadi ‘perempuan’ (dalam bahasa waria disebut ‘ditempong’). Posisi itu membuat
laki-laki heteroseksual berisiko tinggi tertular HIV jika waria mengidap HIV
karena waria melakukan penetrasi penis ke anus laki-laki heteroseksual
(menempong). Seorang waria di Malang, Jatim, mengatakan laki-laki heteroseksual
selalu mencari waria yang mau jadi ‘suami’ agar memperlakukan dia sebagai
istri.
Persoalan besar ada pada laki-laki biseksual karena mereka
jadi jembatan penyebaran HIV dari masyarakat ke waria dan LSL (Lelaki Suka Seks
Lelaki) dan sebaliknya. Istri mereka akan menjadi tujuan penyebarn berikutnya
dan berakhir pada anak yang dikandung istrinya. Sedangkan laki-laki juga
berpotensi menularkan ke perempuan lain, waria, LSL dan pekerja seks.
Selama informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral
dan agama, maka selama itu pula fakta tentang cara-cara penularan dan
pencegahan HIV tidak akan bisa diketahui banyak orang. Kondisi ini akan
bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.