Oleh: SYAIFUL W. HARAHAP - AIDS Watch Indonesia
“Peneliti: Penularan HIV-AIDS Didominasi
Kalangan Homoseksual” Ini judul berita di
hidayatullah.com
(28/2-2016).
Pertama, pemakaian kata ‘dominasi’ dalam kalimat judul
berita ini tidak pas karena dominasi berarti penguasaan oleh pihak yg lebih
kuat thd yg lebih lemah (dl bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan,
olahraga, dsb) [KBBI]. Penularan HIV sama sekali tidak terjadi karena
dominasi kalangan homoseksual, tapi karena perilaku orang per orang apa pun
orientasi seksualnya, kecuali lesbian.
PSK Tidak
Langsung
Kedua, sampai hari
ini belum ada laporan penularan HIV melalui aktivitas seks di kalangan lesbian,
maka dengan menyebut ‘kalangan homoseksual’ berarti ada fakta yang digelapkan
karena tidak menyebut pengecualian.
Ketiga, penularan HIV
bukan karena kalangan, kelompok, grup, dll. tapi karena terjadi perpindahan
virus dari yang mengidap HIV/AIDS ke orang lain melalui beberapa kegiatan
berisiko, al. hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Keempat, risiko
tertular HIV terjadi pada orang per orang di kalangan, kelompok, grup, dll.
yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, al. (1)
melakukan hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom
di dalam dan di luar nikah dengan pasangan ang berganti-ganti, dan (2) melakukan
hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom dengan
seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK) langsung dan PSK tidak langsung.
- PSK langsung yaitu PSK yang
kasat mata, seperti PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, di jalanan, dan
tempat lain.
- PSK tidak langsung yaitu PSK
yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus,
karyawati salon kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek
disko, cewek kafe remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu,
cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.
Kelima, judul berita
ini memunculkan mitos (anggapan) baru terkait dengan penularan HIV yaitu ‘didominasi
kalangan homoseksual’ sehingga kalangan heteroseksual akan merasa aman
melakukan perilaku berisko (1) dan (2) di atas.
Kondisi
di atas menjadi hambatan dalam penanggulangan HIV/AIDS karena laki-laki dan
perempuan heteroseksual akan mengabaikan cara-cara pencegahan HIV melalui
hubungan seksual.
Fakta
tentang proporsi jumlah pengidap HIV/AIDS berdasarkan faktor risiko dalam
laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 12 Mei 2015, menunjukkan kasus
terbanyak ada pada kalangan heteroseksual yaitu 52 persen, sedangkan pada gay,
biseksual dan transgender (Lelaki Suka Seks Lelaki/LSL) 16 persen.
Lalu,
kok bisa ada judul berita yang tidak berdasarkan fakta?
Inilah
salah satu bentuk penulisan berita yang tidak berdasarkan fakta, tapi berpijak
pada opini pribadi dengan balutan moralitas diri. Rupanya, wartawan yang
menulis berita ini mengikuti seminar bertema “LGBT dalam Perspektif Keilmuan”
di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat (26/2-2016). Dalam seminar ini, peneliti
sekaligus Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr Dewi Inong Irana, SpKK, mengatakan,
bahaya utama bagi para pelaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender
(LGBT) adalah HIV-AIDS.
Pernyataan
itulah yang disimpulkan wartawan dan dengan balutan moralitas dirinya sehingga
muncullah opini yang justru hal yang wajib dihindari dalam jurnalistik.
IMS pada Vagina
Pernyataan
dr Inong itu tidak objektif karena risiko tertular HIV bukan pada kelompok,
kalangan, komunitas, dll., tapi erat kaitannya dengan perilaku seksual orang
per orang.
Menyebutkan
lesbian sebagai perilaku yang berbahaya tertular HIV tidak akurat karena belum
ada laporan kasus HIV yang tertular melalui aktivitas seks pada lesbian.
Risiko
tertular HIV pada gay, biseksual dan waria (transgender) terjadi jika mereka
melakukan hubungan seksual dengan kondisi yang melakukan penetrasi tidak
memakai kondom dan dilakukan dengan pasangan yang mengidap HIV/AIDS.
Kalau hubungan seksual pada gay, biseksual dan
waria dilakukan dengan pasangan yang tidak mengida HIV/AIDS tentu saja tidak
ada risiko penularan HIV.
Kaum heteroseksual pun berisiko tinggi tertular
HIV melalui seks vaginal jika dilakukan dengan tidak aman yaitu tidak memakai
kondom dan dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang
sering ganti-ganti pasangan.
Sebuah studi di Kota Surabaya (1990-an)
menunjukkan pelanggan waria justru dari kalangan heteroseksual dan sebagian
besar yang beristri. Dari studi itu terungkap pula faktor yang meningkatkan
risiko laki-laki heteroseksual tertular HIV adalah laki-laki heteroseks yang
jadi ‘perempuan’ yaitu dianal oleh waria (disebut ditempong). Dalam kondisi ini
waria jadi laki-laki yaitu menganal (disebut menempong). Kondisi ini membuat
laki-laki heteroseksual ada pada tingkat risiko tinggi tertular HIV.
Di bagian lain dr Inong mengatakan: “Infeksi Menular
Seksual (IMS) tertinggi itu pada (pertama) MSM atau gay; kedua vagina; dan
ketiga oral.”
Sayang,
wartawan tidak menjabarkan pernyataan ini karena IMS pada vagina terjadi pada
perempuan yang bukan LGBT yaitu perempuan heteroseksual. IMS pada vagina itu
bisa terjadi pada istri. Itu artinya suami mereka yang bukan LGBT tertular IMS
melalui aktivitas seksual dengan pasangan lain.
Yang
potensial dalam penyebaran HIV bukan LGBT, minus lesbian, tapi laki-laki
heteroseksual dan biseksual. Jika ada laki-laki heteroseksual dan biseksual
yang mengidap HIV/AIDS, maka mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Kasus
HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga merupakan ‘buah’ penyebaran
HIV yang dilakukan oleh laki-laki heteroseksual dan biseksual. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.