"Emang ada
(tempat) lokalisasi (prostitusi) di Bali? Saya rasa tidak ada itu." In
pernyataan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam berita “Gubernur
Pastika: Memangnya di Bali Ada Tempat Lokalisasi Prostitusi?” di kompas.com
edisi 23.2-2016.
Pak Gubernur tidak perlu pakai ‘rasa’ karena secara de jure di Indonesia
tidak ada lokalisasi pelacuran sejak era reformasi. Di era Orba ada program
untuk mengentaskan pekerja seks komersial (PSK) yaitu rehabilitasi dan
sosilisasi (resos) di tempat-tempat pelacuran yang dijalan oleh, waktu itu,
Departemen Sosial (Depsos).
Dilakukan di lokalisasi pelacuran karena PSK tetap menjalankan
pekerjaannya yaitu melayani laki-laki ‘hidung belang’. Mereka diberikan
pelatihan keterampilan menjahit dan tata rias wajah (salon) dan jika sudah
mahir diberikan modal usaha. Tapi, proyek resos PSK ini gagal, seperti
dikatakan oleh Prof Dr Hotman M. Siahaan, sosiolog di Unair Surabaya, karena
program tsb. top-down [Menyingkap(Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].
Artinya, apakah PSK memilih jadi tukang jahit atau tukang salon daripada
bekerja sebagai PSK? Proyek itu tidak berpijak pada jawaban dari pertanyaan
ini.
Maka, amatlah masuk akal kalau kemudian Gubernur Pastika dengan bangga
mengatakan di Bali tidak ada lokalisasi pelacuran karena memang tidak ada lagi
sejak reformasi. Secara de jure tidak ada lagi kemungkinan untuk melokalisir
praktik pelacuran di Indonesia.
Tapi, pertanyaan yang sangat mendasar untuk Gubernur Pastika adalah:
Apaka Pak Gubernur menjami bahwa di Bali memang tidak ada praktik pelacuran di
sembarang tempat, seperti penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang,
villa, resort, apartemen, dll.?
Kalau Gubernur Pastika mengatakan: Saya jamin tidak ada. Ya, secara de
jure. Jika secara de facto Gubernur Pastika tetap mengatakan tidak ada
pelacuran di Bali, maka Bali adalah daerah pertama di dunia setingkat provinsi
yang bebas praktik pelacuran. Bravo ....
Di bagian lain Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama: "Menurut saya,
(tempat lokalisasi) tidak ada di Bali. Namun, tidak menutup mata, tempat yang
kecil-kecil masih ada."
Di Kota Denpasar
ada Padang Galak yang menjadi tempat pelacuran [(Lokasi) Pelacuran Padang Galak di Sanur, Denpasar, Bali]. Selain itu ada
pula rumah-rumah mewah di tepi pantai yang menjadi tempat melepas syahwat. Di
sana tidak ada PSK, tapi laki-laki membawa cewek atau perempuan ke sana. Dalam
sebuah kunjungan ke Bali sebagai instruktur pelatihan wartawan dalam penulisan
berita AIDS ada satu fakta yang menarik terkait dengan rumah dan kamar-kamar
yang disewakan di tepi pantai itu. Selain laki-laki ‘hidung belang’ yang membawa
PSK dari berbagai tempat dan berbagai cara pemesanan, ada pula
pasangan-pasangan yang perempuannya bukan PSK. Kamar-kamar di sana akan penuh
antara pukul 19.00 – 21.00 yaitu bersamaan dengan masa putar film di bioskop.
Harian
“Tribun Kaltim” edisi 4/2-2015 memasang judul: HIV/AIDS.
75 Persen PSK di Bali Idap HIV/AIDS. Masih Mau Jajan? Dalam berita ini ada
pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali
Ketut Suarjaya: “Untuk seluruh
Bali, estimasi ada 6.000 PSK. Dan 75 persen di antaranya positif HIV/AIDS.
Sedangkan untuk daerahnya paling tinggi di Sanur dan Kuta."
Gubernur Pastika boleh saja tetap pada pendiriannya bahwa di Bali tidak
ada pelacuran. Ini benar jika yang dimaksud Pak Gubernur adalah PSK langsung
yaitu PSK yang kasat mata seperti di tempat-tempat pelacaran atau yang mangkal
di jalanan dan pantai.
Yang jadi persoalan besar adalah praktek PSK tidak langsung yang erat
kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS. PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak
kasat mata, seperti cewek pemijat di panti pijat plus-plus, karyawati salon
kecantikan di salon plus-plus, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek kafe
remang-remang, ABG, ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, ibu-ibu, cewek panggilan,
cewek gratifikasi seks, dll.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Bali per Desember 2015, jumlah kumulatif
kasus HIV/AIDS di Bali 13.319 yang terdiri atas 7.430 HIV dan 5.889 AIDS
(aidsbali.org, 20/1-2016). Salah satu pemicunya adalah praktik PSK tidak
langsung karena di Bali tidak ada lokalisasi pelacuran (Peringatan bagi “Penikmat Seks” di Bali: Ribuan PSK di BaliIdap HIV/AIDS).
Jika disimak dari aspek penyebaran HIV/AIDS penanggulangan akan lebih efektif jika pelacuran dilokalisir karena program bisa dijalankan dengan efektif. Program tsb. adalah intervensi berupa memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Langkah ini sudah berhasil dilakukan oleh Thailand dengan indikator penurunan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada calon taruna militer.
Jika disimak dari aspek penyebaran HIV/AIDS penanggulangan akan lebih efektif jika pelacuran dilokalisir karena program bisa dijalankan dengan efektif. Program tsb. adalah intervensi berupa memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual. Langkah ini sudah berhasil dilakukan oleh Thailand dengan indikator penurunan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada calon taruna militer.
Dalam berita Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama mengatakan: "Dari
dulu masyarakat Bali tidak setuju dengan adanya (tempat) lokalisasi. Secara
fakta merugikan, yang melakukan bukan gadis-gadis Bali, melainkan wanita dari
luar. Itu fakta yang merugikan. Dari segi budaya, kami juga tidak akan pernah
setuju ada (tempat) lokalisasi."
Terkait dengan pernyataan Adi ini:
Pertama, tidak ada masyarakat di mana pun yang setuju dengan praktik dan
lokalisasi pelacuran. Hanya sebagian orang yang setuju karena kepentingan usaha
mereka terkait dengan pelacuran, seperti minuman keras, dll.
Kedua, secara sosiologis perempuan yang melacur akan praktik di luar
daerahnya. Kalau gadis atau perempuan Bali tidak ada yang bekerja sebagai PSK
di Bali dan di luar Bali, maka ini luar biasa dan bisa masuk rekor dunia.
Ketiga, yang jadi masalah bukan asal PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’
yang ngeseks dengan PSK. Dalam hal ini laki-laki Bali, bisa jadi seorang suami,
ngeseks tanpa kondom dengan PSK ada risiko tertular HIV karena PSK adalah orang
yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV.
Maka, sudah tidak pada tempatnya kita bicara ada atau tidak ada lokaliasi
atau lokasi pelacuran karena nyaris tidak ada tempat di muka bumi ini yang
tidak ada praktik pelacuran.
Jadi, yang perlu dibicarakan sekarang adalah langkah atau upaya yang
konkret agar tidak ada (lagi) insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa
melalui hubungan seksual dengan PSK. Tanpa ada program yang konkret, maka
penyebaran HIV/AIDS di Bali akan terus terjadi melalui laki-laki yang tertular
HIV dari PSK. Jika ini yang terjadi, maka Pemprov Bali tinggal menunggu waktu
saja untuk ‘panen AIDS’. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.