Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
Berapa
orang, sih, laki-laki yang menikah
setiap hari di Indonesia? Coba bandingkan dengan jumlah laki-laki beristri
(baca: suami) yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS setiap hari.
Tentu
saja jumlah suami yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS jauh lebih
banyak daripada laki-laki yang menikah. Menteri
Kesehatan, dr Nafsiah Mboi, menegaskan bahwa pihaknya mencatat hingga akhir
2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan pekerja seks komersial
(PSK), sehingga pria menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan
HIV/AIDS (antarabali.com, 9/4-2013).
Dari jumlah ini 4,9 juta di antaranya adalah laki-laki beristri.
Suami-suami
itu adalah:
(1)
Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti perselingkuhan, kumpul kebo,
kawin-cerai, kawin kontrak, dll.
(2)
Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK
yang kasat mata yaitu yang mangkal di lokasi pelacuran dan mejeng di jalanan).
(3)
Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung
(PSK yang yang tidak kasat mata yaitu perempuan yang mangkal di kafe, pub,
diskotek, panti pijat plus-plus, ABG, ayam kampus, cewek gratifikasi seks,
dll.).
(4)
Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan waria. Sebuah
penelitian di Kota Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan ketika seorang suami
melakukan hubungan seksual dengan waria suami tadi yang jadi ‘perempuan’, dalam
bahasa mereka ‘ditempong’, sehingga risiko tertular HIV/AIDS sangat tinggi
karena menerima seks anal.
(5)
Suami yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki, disebut
LSL (lelaki suka seks lelaki). Dalam berbagai penjangkauan di banyak daerah LSL
sudah banyak yang teridenfikasi.
Bayi Tabung
Lima
perilaku di atas menggambarkan jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV. Tes
HIV terhadap calon pengantin pun tidak akan bisa menyentuh ‘nikah siri’ dan
kawin-kontrak.
Terkait
denga tes HIV terhadap calon pengantin perlu juga jalan keluar kalau salah satu
atau kedua-duanya ternyata mengidap HIV/AIDS. Apakah pernikahan dibatalkan?
Tidak
ada peraturan yang melarang pernikahan pengidap HIV/AIDS. Penyakit ini adalah
penyakit menular yang bisa dicegah. Kalau rencana pernikahan dibatalkan karena
HIV/AIDS penyakit menular, maka semua pasangan yang mengidap penyakit menular
otomatis gugur pula pernikahannya.
Bahkan,
kalau laki-laki yang mengidap HIV/AIDS pasangan itu bisa punya anak yang tidak
tertular HIV melalui proses bayi tabung karena di sperma tidak ada HIV. Maka,
sperma suami bisa membuahi indung telur istrinya melalui proses bayi tabung.
Yang
luput dari perhatian adalah penyakit-penyaki noninfeksi yaitu penyakit genetika yang diturunkan,
seperti thalasemia dan diabetes. Tapi, karena penyakit ini tidak pernah
dikait-kaitkan dengan moral maka tidak ada persoalan pada pernikahan pasangan
yang mengidap penyakit genetika.
Di
Aceh, misalnya, disebutkan oleh Ketua Pengurus Perhimpunan
Orang Tua Penderita Thalassemia (POPTI), Aceh Heru Noviart, untuk pembawa sifat
(carrier) thalasemia tertinggi di dunia ada di Aceh (kompas.com,
7/5-2015). Nah, dikabarkan di Aceh ada 250 anak penderita thalasemia (thalasemia
adalah kelainan darah yang merupakan penyakit genetika atau diturunkan dari
orang tua, penderita thalasemia tidak bisa memproduksi hemoglobin yang cukup sehingga
jumlah hemoglobin di dalam tubuh sedikit). Mereka ini sepanjang hidupnya
tergantung pada transfusi darah.
Tes HIV bukan Vaksin
Penyakit lain yang juga menular persis serupa dengan HIV/AIDS
adalah virus hepatitis B, tapi lagi-lagi tidak pernah disampaikan secara
terbuka. Orang dengan bangga mengatakan mengidap virus hepatitis B, padahal
kalau orang tsb. tidak pernah transfusi darah yang tidak diskirining, tidak
pernah memakai jarum suntik bergantian, maka kemungkinan tertular melalui
hubungan seksual. Kalau seorang suami terdeteksi mengidap virus hepatitis B
sedangkan istrinya tidak mengidap virus hepatitis B, maka si suami tertular
dari perempuan lain jika tidak pernah transfusi darah yang tidak diskirining
dan tidak pernah pakai jarum suntik bergantian.
Yang menjadi persoalan besar adalah: Apakah tes HIV sebelum
menikah bisa jaminan bahwa pasangan itu, khususnya suami, tidak akan pernah lagi
tertular HIV sepanjang hidupnya?
Tentu saja tidak ada karena setelah menikah bisa saja si
suami melakukan salah satu atau beberapa dari lima perilaku di atas.
Persoalan besar akan muncul jika kelak seorang istri
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Suami akan bertahan dengan surat keterangan
“Bebas AIDS” yang diperoleh ketika tes HIV sebelum menikah. Bisa jadi si suami
akan menuduh istrinya yang selingkuh.
Tes HIV sebelum menikah juga merupakan langkah penanggulangan
di hilir karena ada pembiaran sehingga calon mempelai itu tertular HIV (di
hulu).
Yang bisa dijalankan di hulu adalah intervensi berupa program
‘wajib kondom’ bagi laki-laki yang melacur untuk menurunkan, sekali lagi hanya
untuk menurunkan, jumlah insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa pada
perilkau nomor 2 di atas.
Celakanya, program itu hanya bisa dilakukan kalau pelacuran
dilokalisir. Kebijakan di Indonesia sekarang adalah menutup semua lokasi
pelacuran. Maka, langkah penanggulangan yang konkret tidak bisa lagi dijalankan.
Maka, insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa,
sebagian besar suami, terus-menerus terjadi. Buktinya adalah jumlah ibu rumah
tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS juga terus terdeteksi. Sampai bulan September 2014 sudah ada
6.539 ibu rumah tangga di
Indonesia yang mengidap HIV/AIDS (lifestyle.okezone.com, 9/1-2015).
- Untuk itulah kebijakan yang menerapkan tes HIV sebelum menikah memikirkan langkah konkret agar tidak terjadi kondisi ini: “Bebas AIDS” ketika di pelaminan, tapi bisa terjadi “Pengidap AIDS” dalam ikatan perkawinan. Ironis. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.