Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
Kongres
AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina, 1997. Di salah
satu sesi Namru-2 mempresentasikan 11
anggota TNI yang pulang dari Kamboja sebagai “Pasukan Perdamaian PBB” (1996)
terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Penulis berusaha memperoleh keterangan dari Dirjen
P2PL, Depkes RI, waktu itu dijabat oleh (alm) Hadi M. Abednego, tapi ybs.
menolak memberikan keterangan. “Kebijakan kita hanya menyebut jenis kelamin,
umur dan faktor risiko (cara tertular-pen.),” kata Hadi waktu itu sambil
menutup pintu kamar hotel.
Informasi
tentang 11 prajurit TNI baru dibuka untuk umum melalui pemberitaan di media
massa setelah reformasi bergulir. Namru-2
adalah Naval
Medical Research Unit Two (Unit Riset Medis Angkatan Laut Dua) adalah
laboratorium riset biomedis milik Angkatan Laut Amerika Serikat yang
didirikan dengan tujuan untuk mempelajari penyakit-penyakit menular yang
memiliki potensi penting dari sudut pandang pertahanan di Asia (id.wikipedia.org).
Seks
Yes, Kondom No
Berbagai
komentar muncul. Dari salah seorang petinggi di bagian kesra Kantor Menkokesra
mengatakan bahwa prajurit TNI melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS di
Kamboja karena jauh dari keluarga. Tapi, tunggu dulu. Jarak Jakarta-Phnom Penh
adalah 1.970km (setara dengan 1.224 mil atau 1.064 nautical miles). Bandingkan
dengan jarak Amsterdam-Phnom Penh 11.363 km (setara dengan 7.061 mil atau 6.135
nautical miles). Maka, alasan karena jarak pun gugur.
Alasan
yang masuk akal adalah prajurit TNI tidak disiapkan menghadapi fakta terkait
dengan prevalensi HIV/AIDS di kalangan pekerja seks komersial (PSK) di Kamboja.
Ketika itu di kalangan PSK langsung perbandingan antara yang mengidap HIV/AIDS
dan tidak mengidap HIV/AIDS adalah 21-64 persen. Artinya, dari 100 PSK langsung
ada 21-64 yang mengidap HIV/AIDS. Sedangkan prevalensi di kalangan PSK tidak
langsung, seperti cewek bar, 6-34 persen.
Seorang
pakar AIDS ketika itu (waktu di Manila-pen.) mengatakan ada kemungkinan
prajurit TNI diwanti-wanti agar tidak ngeseks
dengan PSK. Bisa jadi mereka melakukannya dengan PSK tidak langsung. Tapi,
tetap bisa celaka tertular HIV/AIDS karena prevalensi HIV/AIDS di kalangan PSK
tidak langsung juga tinggi. Kalau ketemu PSK tidak langsung dengan prevalensi
34 persen itu artinya tiga kali ngeseks
ada kemungkinan ketemu dengan PSK tidak langsung yang mengidap HIV/AIDS.
Sedangkan dengan PSK langsung dua kali saja sudah ada kemungkinan dengan
pengidap HIV/AIDS.
Sebaliknya,
tentara Belanda yang juga ikut sebagai ‘Pasukan Perdamaian’ di Kamboja tidak
ada yang tertular HIV/AIDS. Bahkan, tertular IMS pun tidak ada. IMS adalah
infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.
Koq,
bisa? Ya, bisalah karena tentara Belanda selain membawa bedil juga dibelaki
dengan kondom. Sedangkan prajurit TNI membawa senjata dengan dibelaki slogan-slogan
moral.
Lalu,
diberitakan pula banyak tentara dan polisi yang bertugas di Papua meninggal
karena penyakit terkait HIV/AIDS. Lagi-lagi pejabat terkait membela dengan
mengatakan mereka bertugas jauh dari keluarga. Persoalannya, mungkin adalah PSK
yang ‘praktek’ di Papua adalah PSK yang sudah malang-melintang di lokasi
pelacuran di Nusantara sehingga ada kemungkinan mereka pengidap HIV/AIDS. (MenyikapiKasus AIDS di Kalangan Prajurit Kodam Cenderawasih Papua).
Celakanya, di Papua anjuran memakai kondom jika ngeseks dengan PSK ditampik dengan semboyan “Seks Yes, Kondom No”. Belakangan Pemprov Papua menjadikan sunat pada laki-laki sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Bisa jadi tentara dan polisi mengikuti anjuran ini sehingga mereka celaka dua belas.
Celakanya, di Papua anjuran memakai kondom jika ngeseks dengan PSK ditampik dengan semboyan “Seks Yes, Kondom No”. Belakangan Pemprov Papua menjadikan sunat pada laki-laki sebagai alat mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Bisa jadi tentara dan polisi mengikuti anjuran ini sehingga mereka celaka dua belas.
Bertolak
dari dua kasus itu sudah selayaknya TNI dan Polri menjalankan program yang konkret
untuk melindungi prajurit agar tidak tertular HIV/AIDS. Jika melihat pernyataan
berikut, itu artinya tidak ada program yang konkret dijalankan. “Sebanyak 1.328
anggota TNI terjangkit HIV/AIDS, dan hingga 30 Juni 2015 tercatat 343 orang di
antaranya meninggal dunia, kata Wakil Komandan Lantamal IV/Tanjungpinang
Kolonel Laut (P) Guntur Wahyudi.” (Wadan Lantamal: 1.328 anggota
TNI terjangkit HIV/AIDS, antaranews.com, 12/1-2016).
Tingkat
kematian terkait dengan penyakit HIV/AIDS di kalangan TNI itu pun yaitu 25,83 persen, tergolong tinggi. Ini bisa
terjadi karena penanganan yang terlambat. Misalnya, prajurit baru terdeteksi
HIV/AIDS ketika berobat dengan indikasi penyakit-penyakit infeksi oportunistik,
seperti diare, pnemonia, TBC, malaria, dll.
Publikasi
TNI ini merupakan langkah konkret untuk penanggulangan HIV/AIDS di kalangan
prajurit khususnya dan pada masyarakat Indonesia umumnya karena tidak semua
kasus HIV/AIDS terkait langsung dengan moral. Apakah pada lembaga, badan, perusahaan, institusi,
instansi, dll. tidak ada kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pegawai dan
karyawannya? Tentu saja ada. Tapi, yang berani terus terang hanya TNI.
Perilaku Berisiko
Disebutkan
oleh Wahyudi “....HIV/ AIDS masih
merupakan masalah penting di bidang kesehatan masyarakat, karena jumlah kasus
yang dilaporkan dari tahun ke tahun masih terus meningkat.”
Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia
dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu
seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar
pun semua penderitanya meninggal dunia.
Yang jadi persoalan adalah insiden
infeksi HIV baru, tertutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK. Celakanya,
praktek pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga pemerintah tidak bisa
menjalankan program penanggulangan berupa intervensi yang memaksa laki-laki
selalau memakai kondom jika ngeseks dengan PSK.
Disebutkan
pula bahwa “ .... TNI AL dengan dukungan berbagai pihak telah melaksanakan upaya pencegahan
secara intensif, pendeteksian kasus HIV/AID secara dini, dan peningkatan akses
layanan perawatan.”
Sayang, dalam berita tidak disebutkan
cara pencegahan yang disebut intensif itu. Kalau ‘pendeteksian kasus HIV/AID
secara dini’ adalah penanggulangan di hilir. Artinya, dibiarkan dulu prajurit
melakukan perilaku berisiko kemudian tertular baru dideteksi.
Ada lagi pernyataan: Guntur
menjelaskan globalisasi dan perubahan gaya hidup pada sebagian masyarakat
Indonesia mempengaruhi perilaku dan nilai masyarakat.
Perilaku berisiko tertular HIV, al.
(1) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, kumpul kebo,
dll., dan (2) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang
sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung sudah
ada di negeri jauh-jauh hari sebelum ada arus globalisasi.
Sayang, dalam berita tidak dijelaskan faktor risiko
(cara penularan) pada 1.328 kasus yang
terdeteksi pada prajurit TNI tsb. Berdasarkan faktor-faktor risiko itulah bisa
dijalankan program penanggulangan yang konkret.
Kalau
hanya mengandalkan sosialisasi tidak akan berguna karena dibutuhkan waktu yang
lama untuk mengubah perilaku. Pada rentang waktu dari mulai sosialisasi sampai perilaku
berubah tentu saja bisa terjadi perilaku berisiko. Artinya, sudah ada prajurit
yang tertular HIV/AIDS.
Maka,
yang diperlukan adalah program penanggulangan yang konkret di hulu agar insiden
infeksi HIV pada prajurit TNI bisa ditekan. Karena untuk menghentikan insiden
infeksi HIV baru, terutama pada sebagian laki-laki dewasa, adalah hal yang
mustahil karena tidak bisa semua prajurit diawasi perilaku seksnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.