21 Januari 2016

AIDS dan Pasar Bebas ASEAN




“Pasar Bebas ASEAN, Warga Asing Pengidap HIV/AIDS Bebas Masuk” Ini judul berita di tempo.co (17/1-2016). ‘Hari gini’ masih saja ada yang tidak memahami HIV/AIDS secara benar.

Pertama, perlu diingat bahwa warga negara Indonesia (WNI) pun banyak yang mengidap HIV/AIDS. Laporan Kemenkes RI sampai tanggal 31 Maret 2015 ada 233.724 penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS. Tentu saja ada di antara WNI pengidap HIV/AIDS yang juga bepergian ke negara lain, al. ke negara-negara Asean.

Kedua, biar pun banyak WN asing pengidap HIV/AIDS yang masuk ke Indonesia tidak akan terjadi penyebaran HIV/AIDS selama tidak WNI yang melakukan perilaku berisiko dengan WNI dan WNA.

Perilaku berisiko, al. (a) melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., (b) melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, dan PSK tidak langsung (PSK tidak kasat mata, yaitu cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat, ABG, ayam kampus, prostitusi artis online, cewek gratifiasi seks, dll.).

Di bagian lain berita disebutkan: “Berlakunya pasar bebas ASEAN akan meloloskan orang asing pengidap HIV/AIDS masuk Indonesia.”

Tentu saja pengidap HIV/AIDS hanya bisa dikenali kalau ada surat keterangan kesehatan yang menyebutkan bahwa ybs. pengidap HIV/AIDS. Yang jadi persoalan besar adalah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.  Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di negaranya dan di negara lain jika ybs. melakukan perilaku berisiko.

Menanggapi dampak pasar bebas Asean yang akan meloloskan pengidap HIV/AIDS, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Yogyakarta, Kaswanto, mengatakan: . "Sebab, tak ada satu pun regulasi, baik di tingkat undang-undang maupun peraturan daerah, yang mengatur kewajiban orang asing diperiksa kesehatannya, apakah dia mengidap atau steril dari HIV/AIDS."

Lagi-lagi pernyataan yang sangat naif karena persoalan HIV/AIDS bukan pada kewajiban memeriksa status HIV seseorang, tapi ada pada perilaku (al. perilaku seks) orang per orang.

Terkait dengan ‘kewajiban orang asing diperiksa kesehatannya, apakah dia mengidap atau steril dari HIV/AIDS’ adalah langkah mundur penanggulangan HIV/AIDS karena banyak persoalan baru akan muncul, al. biaya pembelian reagent, penyiapan tenaga konseling dan medis, dst. Tentu jumlah yang akan diperiksa ribuan orang per hari.

Persoalan besar adalah kalau orang asing itu baru tertular HIV di bawah tiga bula itu artinya masa jendela sehingga tes HIV akan menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif atau positif) atau negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi hasil tes nonreaktif atau negatif).

Dua kondisi tsb. merugikan dan membuat persoalan baru. Kalau hasil tes positif atau positif palsu, apakah orang asing itu kemudian dideportasi?

Yang paling merugikan adalah kalau hasil tes negatif palsu. Orang asing tsb. bisa tidak menerapkan seks aman dan penyebaran HIV/AIDS pun terjadi di Indonesia karena orang asing itu mengidap HIV/AIDS tapi karena dites HIV pada masa jendela maka hasilnya negatif palsu.

Disebutkan pula oleh Kaswanto: perilaku warga asing yang bekerja di Indonesia justru patut diwaspadai, karena mereka biasanya terikat kontrak lama dengan perusahaannya. Jadi, saat merantau ke Indonesia, mereka mencari hubungan baru dan cenderung berganti-ganti pasangan tanpa ikatan resmi.

Pertanyaan untuk Kaswanto: Apakah Saudara bisa menjamin perilaku seks semua WNI yang pergi ke luar negeri dalam waktu singkat dan jangka panjang?

Maka, sama saja. Bahkan, jauh sebelum Pasar Bebas ASEAN ratusan ribu tenaga kerja kita bekerja di luar negeri.

Apakah ada jaminan mereka semua tidak akan melakukan perilaku berisiko di tempat mereka bekerja, bertugas dan belajar?

Tentu saja tidak ada jaminan. Buktinya, sudah banyak tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya tenaga kerja wanita (TKW), yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ketika mereka menjalani tes HIV setelah tiba di Tanah Air. TKW berisiko tinggi tertular HIV bukan hanya karena perilaku berisiko, tapi ketika mereka ‘dinikahi’ majikan pun ada risiko. Di beberapa negara tujuan TKW prevalensi HIV sangat tinggi di kalangan laki-laki dewasa. Prevalensi adalah perbandingan antara pengidap HIV dan yang tidak mengidap HIV.

Pernyataan ‘ikatan resmi’ adalah mitos (anggapan yang salah) dan merupakan frasa yang menjadi kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS karena dikesankan HIV menular karena zina atau karena tidak ada ikatan resmi (tidak menikah).

Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali ngeseks (kondisi hubungan seksual) bukan karena hubungan seksual dilakukan di luar nikah, tanpa ikatan resmi, zina, homoseksual, dll. (sifat hubungan seksual).

Kaswanto pun angkat bicara: "Pengawasan di lokalisasi, kafe, dan penginapan yang perlu ditingkatkan.”

Seperti apa pengawasannya? Tidak dijelaskan dalam berita.Yang diperlukan adalah sosialisasi tentang cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat bukan dengan bumbu norma, moral dan agama.

Coba kita simak pernyataan di dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2010 tentang tentang Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ini: pasal 15 ayat (1) disebutkan: ”Untuk mencegah potensi penularan HIV melalui hubungan seks, setiap orang yang berhubungan seks dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya terinfeksi HIV wajib melindungi dirinya dan pasangannya dengan menggunakan alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV.” (PerdaAIDS Daerah Istimewa Yogyakarta).

Aduh, apa pulaklah ‘alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV’? Ini frasa moral yang justru tidak baku. Mengapa tidak menyebut kondom karena kata kondom adalah terminologi yang sudah diketahui masyarakat luas.

Kaswanto sibuk mengawasi orang asing, padahal pada waktu yang sama terjadi insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa WNI di Indonesia dan di luar negeri. Laki-laki WNI yang tertular HIV ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masalah, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.