“Pasar Bebas ASEAN, Warga Asing Pengidap HIV/AIDS
Bebas Masuk” Ini judul berita di tempo.co (17/1-2016). ‘Hari gini’ masih saja
ada yang tidak memahami HIV/AIDS secara benar.
Pertama, perlu diingat bahwa warga negara Indonesia
(WNI) pun banyak yang mengidap HIV/AIDS. Laporan Kemenkes RI sampai tanggal 31
Maret 2015 ada 233.724 penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS. Tentu saja ada di
antara WNI pengidap HIV/AIDS yang juga bepergian ke negara lain, al. ke
negara-negara Asean.
Kedua, biar pun banyak WN asing pengidap HIV/AIDS
yang masuk ke Indonesia tidak akan terjadi penyebaran HIV/AIDS selama tidak WNI
yang melakukan perilaku berisiko dengan WNI dan WNA.
Perilaku berisiko, al. (a) melakukan hubungan
seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., (b) melakukan
hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang sering ganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata
yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran, dan PSK tidak langsung (PSK tidak
kasat mata, yaitu cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat, ABG,
ayam kampus, prostitusi artis online, cewek gratifiasi seks, dll.).
Di bagian lain berita disebutkan: “Berlakunya pasar
bebas ASEAN akan meloloskan orang asing pengidap HIV/AIDS masuk Indonesia.”
Tentu
saja pengidap HIV/AIDS hanya bisa dikenali kalau ada surat keterangan kesehatan
yang menyebutkan bahwa ybs. pengidap HIV/AIDS. Yang jadi persoalan besar adalah
orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di negaranya dan di negara lain jika ybs. melakukan
perilaku berisiko.
Menanggapi
dampak pasar bebas Asean yang akan meloloskan pengidap HIV/AIDS, Sekretaris
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Yogyakarta, Kaswanto, mengatakan: .
"Sebab, tak ada satu pun regulasi, baik di tingkat undang-undang maupun
peraturan daerah, yang mengatur kewajiban orang asing diperiksa kesehatannya,
apakah dia mengidap atau steril dari HIV/AIDS."
Lagi-lagi pernyataan yang sangat naif karena
persoalan HIV/AIDS bukan pada kewajiban memeriksa status HIV seseorang, tapi
ada pada perilaku (al. perilaku seks) orang per orang.
Terkait dengan ‘kewajiban orang asing diperiksa
kesehatannya, apakah dia mengidap atau steril dari HIV/AIDS’ adalah langkah
mundur penanggulangan HIV/AIDS karena banyak persoalan baru akan muncul, al.
biaya pembelian reagent, penyiapan tenaga konseling dan medis, dst. Tentu
jumlah yang akan diperiksa ribuan orang per hari.
Persoalan besar adalah kalau orang asing itu baru
tertular HIV di bawah tiga bula itu artinya masa jendela sehingga tes HIV akan
menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif
atau positif) atau negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi hasil tes
nonreaktif atau negatif).
Dua kondisi tsb. merugikan dan membuat persoalan
baru. Kalau hasil tes positif atau positif palsu, apakah orang asing itu
kemudian dideportasi?
Yang paling merugikan adalah kalau hasil tes
negatif palsu. Orang asing tsb. bisa tidak menerapkan seks aman dan penyebaran
HIV/AIDS pun terjadi di Indonesia karena orang asing itu mengidap HIV/AIDS tapi
karena dites HIV pada masa jendela maka hasilnya negatif palsu.
Disebutkan pula oleh Kaswanto: perilaku
warga asing yang bekerja di Indonesia justru patut diwaspadai, karena mereka
biasanya terikat kontrak lama dengan perusahaannya. Jadi, saat merantau ke
Indonesia, mereka mencari hubungan baru dan cenderung berganti-ganti pasangan
tanpa ikatan resmi.
Pertanyaan
untuk Kaswanto: Apakah Saudara bisa menjamin perilaku seks semua WNI yang pergi
ke luar negeri dalam waktu singkat dan jangka panjang?
Maka,
sama saja. Bahkan, jauh sebelum Pasar Bebas ASEAN ratusan ribu tenaga kerja
kita bekerja di luar negeri.
Apakah
ada jaminan mereka semua tidak akan melakukan perilaku berisiko di tempat
mereka bekerja, bertugas dan belajar?
Tentu saja tidak ada jaminan. Buktinya, sudah
banyak tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya tenaga kerja wanita (TKW), yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS ketika mereka menjalani tes HIV setelah tiba di
Tanah Air. TKW berisiko tinggi tertular HIV bukan hanya karena perilaku
berisiko, tapi ketika mereka ‘dinikahi’ majikan pun ada risiko. Di beberapa
negara tujuan TKW prevalensi HIV sangat tinggi di kalangan laki-laki dewasa.
Prevalensi adalah perbandingan antara pengidap HIV dan yang tidak mengidap HIV.
Pernyataan ‘ikatan resmi’ adalah mitos (anggapan
yang salah) dan merupakan frasa yang menjadi kontra produktif terhadap penanggulangan
HIV/AIDS karena dikesankan HIV menular karena zina atau karena tidak ada ikatan
resmi (tidak menikah).
Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa)
terjadi kalau salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom
setiap kali ngeseks (kondisi hubungan seksual) bukan karena hubungan seksual
dilakukan di luar nikah, tanpa ikatan resmi, zina, homoseksual, dll. (sifat
hubungan seksual).
Kaswanto
pun angkat bicara: "Pengawasan di lokalisasi, kafe, dan penginapan yang
perlu ditingkatkan.”
Seperti
apa pengawasannya? Tidak dijelaskan dalam berita.Yang
diperlukan adalah sosialisasi tentang cara penularan dan pencegahan HIV yang
akurat bukan dengan bumbu norma, moral dan agama.
Coba kita simak pernyataan di dalam Peraturan Daerah
(Perda) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2010 tentang tentang Penanggulangan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ini: pasal 15 ayat (1) disebutkan: ”Untuk
mencegah potensi penularan HIV melalui hubungan seks, setiap orang yang
berhubungan seks dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga bahwa
dirinya dan/atau pasangannya terinfeksi HIV wajib melindungi dirinya dan pasangannya
dengan menggunakan alat
yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV.” (PerdaAIDS Daerah Istimewa Yogyakarta).
Aduh, apa pulaklah ‘alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang
mengandung virus HIV’? Ini frasa moral yang justru tidak baku. Mengapa
tidak menyebut kondom karena kata kondom adalah terminologi yang sudah
diketahui masyarakat luas.
Kaswanto
sibuk mengawasi orang asing, padahal pada waktu
yang sama terjadi insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa WNI di
Indonesia dan di luar negeri. Laki-laki WNI yang tertular HIV ini menjadi mata
rantai penyebaran HIV di masalah, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.