23 Desember 2015

PSK Tiap Bulan Cek Kesehatan, Apakah PSK Bisa Dipastikan ‘Bebas AIDS’?



Tanya Jawab AIDS No 2/Desember 2015

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: SW Harahap, Markas BaraJP, Jl. Bhinneka Raya No 3, Cawang Baru, Jakarta 13340, (2) Telepon (021) 8566755, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Beberapa hari yang lalu saya melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Pada mulanya saya pakai kondom, tapi belakangan kondom dilepas oleh PSK. Saya khawatir kena AIDS, tapi kata PSK itu saya tidak perlu takut.

Saya tanya: “Apakah aman tidak pakai kondom?”

PSK: “Aman. Tiap tiga bulan saya cek darah.”

Waktu itu si PSK bilang baru saja cek darah. Pertanyaan saya: Apakah saya berisiko tertular HIV?

Via SMS (20/12-2015)

Jawab: Yang perlu dipahami adalah hasil tes HIV bukan vaksin. Artinya, kalau seseorang, apalagi PSK yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena sering ganti-ganti pasangan, menjalani tes HIV dengan hasil nonreaktif (negatif) hasil itu hanya berlaku sampai saat darah diambil.

Setelah itu tidak bisa dijamin seseorang, terutama PSK, hasil tes HIV-nya akan tetap negatif. Bisa saja setelah darah diambil ybs. melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., atau dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan, seperti PSK, sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.

Maka, pernyataan PSK itu tidak bisa jadi pegangan karena setelah tes HIV PSK itu sudah melayani beberapa laki-laki sehingga ada risiko tertular HIV jika di antara laki-laki yang dilayaninya mengidap HIV/AIDS.

Itu artinya tes HIV dengan hasil negatif, apalagi hanya cek kesehatan, tidak jaminan seseorang akan selamanya HIV-negatif.

Maka, ada risiko tertular HIV jika PSK yang melayani Anda mengidap HIV/AIDS. Memang, probabilitas tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko terjadi penularan.

Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksula yang ke berapa terjadi penularna HIV. Bisa yang pertama, kedua, kelima, kelima belas, ketujuh puluh, dst. Maka, setiap hubungan seksual yang berisiko ada risiko penularan HIV. Untuk itu silakan tes HIV di klinik VCT yang direkomendasi pemerintah, seperti di Puskesmas dan rumah sakit. ***

20 Desember 2015

Penanggulangan AIDS di Papua dengan “Kondom Alam”



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Menyambut Hari AIDS Sedunia pemerintah dikiritik lantaran tidak serius memerangi AIDS di Papua.” Ini pernyataan dalam berita “Papua Kewalahan Perangi Infeksi AIDS” (dw.com, 1/12-2015).

Laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI (12/5-2015) disebutkan sampai 31 Maret 2015 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua adalah 29.988 yang terdiri atas 18.147 HIV dn 11.841 AIDS. Jumlah kasus ini menempatkan Papua pada peringkat ketiga secara nasional setelah Jakarta dan Jawa Timur.

Dalam berita ini tidak jelas apa yang dimaksud dengan tidak serius. Lagi pula risiko tertular HIV sangat tergantung pada perilaku orang per orang. Informasi tentang cara-cara mencegah HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual sudah gencar dilakukan. Bahkan, di beberapa lokasi pelacuran ada penjangkuan LSM dan disediakan pula “ATM Kondom”.

Sunat vs Sirkumsisi

Celakanya, masyarakat menolak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran. Kondisinya kian rumit karena ada bupati dan pendeta di Papua yang melarang pemakaian kondom. Mereka membuat semboyan “Seks Yes, Kondom No”.

Karena pemakaian kondom dikait-kaitkan dengan populasi, maka ada pilihan agar tidak mengganggu populasi penduduk asli dan tidak menyebarkan HIV, yaitu: selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV. Hubungan seksual yang berisiko tertular HIV adalah:

- Hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, perselingkuhan, kawin-kontrak, dll.

- Hubungan seksual tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK yang kasat mata yang ada di lokasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek pemijat, cewek kafe, cewek bar, ABG, ayam kampus, cewek bispak, cewek bisyar, cewek artis online, dll.).

Belakangan Pemprov Papua ‘mengganti’ kondom dengan sunat atau sirkumsisi. Ada pendapat yang mengatakan sunat bisa menurunkan risiko, sekali lagi menurunkan risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Namun, di Papua pernyataannya justru menyesatkan yaitu sunat mencegah penularan HIV/AIDS.

Maka, kondom pun digantikan dengan sunat sebagai cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual. Bisa saja terjadi laki-laki yang disunat tidak lagi memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual, al. dengan PSK, karena merasa penisnya sudah ‘memakai’ kondom (Sunat Vs Kondom: Sunat Juga (Bisa) Mendorong Zina dan Pelacuran).

Kalau sunat bisa mencegah penularan HIV tentulah orang-orang yang disunat, al. pemeluk agama Islam, tidak akan (banyak) yang tertular HIV. Tapi, fakta menunjukkan kasus HIV/AIDS juga banyak terdeteksi di negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam.

Upaya penanggulangan, khususnya melalui hubungan seksual dengan PSK, pun tidak bisa lagi efektif karena lokasi pelacuran, seperti Tanjung ‘Turki’ Elmo di tepi Danau Sentani, Kab Jayapura, ditutup oleh pemerintah setempat. Akibatnya, praktek pelacuran yang melibatka PSK bertembaran tanpa bisa dijangkau oleh LSM yang selama ini melakukan advokasi untuk pemakaian kondom.

Yang lebih parah terjadi di Provinsi Papua Barat. Pelacur asal P Jawa dipaksa praktek di lokasi “Maruni 55”, sekitar 3 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Manokwari, sedangkan pelacur asal Manado boleh praktek di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang di Manokwari. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Manokwarai banyak terdeteksi pada pegawai, karyawan dan aparat karena mereka punya untuk membeli seks dengan bayaran kamar yang mahal (‘Praktek’Pekerja Seks Komersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’).

Disebutkan lagi: Selain itu fasilitas kesehatan yang kecil dan dibiayai dari kantong pribadi seperti Hostel Waena tidak akan mampu meredam wabah yang sedang mendekap Papua.

Menyelamatkan Bayi

HIV/AIDS bukan wabah karena tidak menular secara mudah melalui udara, air dan pergaulan sosial. Odha (Orang dengan HIV/AIDS) baru memerlukan perawatan jika sudah kena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti malaria, TBC, dll. Lagi pula sarana kesehatan pemerintah pun tersedia secara luas.

Selain itu apakah ada jaminan laki-laki dewasa Papua tidak ada yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di luar Papua?

Tentu saja tidak ada jaminan. Maka, bisa saja laki-laki dewasa Papua tertular HIV di luar Papua dan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di bagian lain disebutkan: "Pendekatan untuk memerangi penyebaran HIV sudah ketinggalan zaman," kata Aditya Wardhana, aktivis Koalisi Indonesia AIDS. Menurutnya upaya pemerintah selama ini terkonsentrasi pada pekerja seks komersil. Padahal AIDS telah menyebar ke hampir semua lapisan masyarakat di Papua.

Sampai kapan pun PSK tetap jadi bagian dari penanggulangan HIV/AIDS karena:

(a) Laki-laki pengidap HIV/AIDS akan menularkan HIV ke PSK di lokasi atau di luar lokasi pelacuran, dan


(b) Laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK yang mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV jika tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.

Karena pelacuran tidak dilokalisir, maka yang bisa dilakukan sekarang hanya menyelamatkan bayi agar tidak tertular dari ibu yang mengandungnya. Tentu saja ini memerluka regulasi agar mempunyai kekuatan hukum, yaitu:

1.   Mewajibkan konseling HIV/AIDS pasangan ketika istri hamil.

2.  Mewajibkan suami tes HIV jika hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami
     berisiko tertular HIV/AIDS.’

3.  Mewajibkan istri yang hamil tes HIV jika hasil tes suami positif.

Regulasi bisa dalam bentuk peraturan bupati atau walikota atau peraturan daerah (perda). Dengan langkah ini bayi-bayi yang akan lahir bisa diselematkan dari risiko tertular HIV. Selain itu suami-suami yang terdeteksi HIV pun bisa diajak menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Itu artinya mata rantai penyebaran HIV diputus melalui suami-suami yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Jika tidak ada langkah yang konkret, maka Papua tidak menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***