18 Desember 2015

AIDS pada Remaja Ada di Posisi Terminal Terakhir



* AIDS pada Laki-laki Dewasa (Akan) Tersebar Luas ....


Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

"Terhitung sampai Maret 32,2% merupakan persentase usia 20-29, dan 3,1% usia 15-19 yang terkena AIDS." Ini disampaikan oleh Kepala Pusat Promosi Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Edi Gustina, dalam berita “Hari AIDS Sedunia, Menkes Gandeng Remaja Indonesia” (detiknews, 19/12-2015).

Angka-angka ini dipakai untuk menjadikan remaja sebagai objek. Padahal, ada fakta yang ‘digelapkan’ terkait dengan data tsb, yaitu:

(1) Kasus HIV/AIDS pada usia 20-29 (32,2 persen) dan usia 15-19 (3,1 persen) sebagian besar terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

(2) Kasus HIV/AIDS pada usia 20-29 dan usia 15-19 banyak terdeteksi karena mereka wajib menjalani tes HIV ketika hendak masuk pusat atau panti rehabilitasi.

Dua fakta di atas selalu digelapkan agar remaja jadi ‘sasaran tembak’ sementara kalangan dewasa yang melakukan hubungan seksual berisiko, di dalam dan di luar nikah, tidak terdeteksi karena tidak ada mekanisme untuk memaksa mereka menjalani tes HIV. Dampaknya justru terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga ketika mereka memeriksakan kehamilan atau ketika hendak persalinan.

Lagi pula, maaf, jika remaja tertular HIV itu sudah ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap. Bandingkan dengan laki-laki dewasa yang mempunyai istri, pasangan tetap, selingkuhan, kawin-kontrak, dll. jika tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di lead berita disebutkan: Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menghadiri Hari AIDS sedunia. Ia mengajak remaja berpartisipasi dalam kampanye pencegahan HIV/AIDS. 

Celakanya, dalam berita tidak ada keterangan dari Menkes Nila tentang cara remaja berpartisipasi dalam pencegahan HIV/AIDS.

Satu hal yang perlu diingat adalah dorongan biologis terkait dengan hasrat seks sangat kuat di masa remaja. Penyaluran dorongan biologis tidak bisa diganti dengan kegiatan lain di luar hubungan seksual atau kegiatan yang terkait dengan (organ-organ) seks.

Adalah hal yang naif ketika hasrat seks seorang remaja memuncak dianjurkan untuk olahraga. Bayangkan, apakah layak di tengah malam buta mereka harus lari-lari kecil di halaman atau jogging di jalan raya hanya untuk meredam gejolak hasrat seks.

Memang, penyaluran dorongan seksual melalui hubungan seksual akan berhadapan dengan masalah, yaitu:

(a) Kalau dengan pacar ada risiko kehamilan sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang berimbas pada masalah sosial di masyarakat.

(b) Kalau dorongan seksual disalurkan dengan pekerja seks komersial (PSK) ada risiko tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamdia, jengger ayam, dll.) atau HIV/AIDS. Bisa juga kedua-duanya sekaligus.

Namun, risiko tertular IMS atau HIV/AIDS dapat dicegah dengan cara-cara yang realistis yaitu menghindarkan pergesekan penis dengan vagina (seks vaginal) atau dengan anus (seks anal).

Jika penyaluran hasrat dorongan seksual remaja dikaitkan dengan moral, maka pilihannya adalah memberikan pemahaman kepada remaja tentang cara penyaluran dorongan hasrat seksual tanpa harus melakukan hubungan seksual, al. onani dan masturbasi.

Tapi, karena kita membalut lidah dengan moral cara-cara penyaluran  dorongan hasrat seksual yang tidak berisiko tidak pernah kita sampaikan secara terbuka.

Atau langkah yang lebih konkret adalah laki-laki dan perempuan dewasa berbagai pengalaman cara menyalurkan dorongan hasrat seksual sebelum menikah dan selama ikatan pernikahan selain dengan istri.

Berbagi pengalaman, tentu saja fakta empiris bukan opini dengan balutan moral, dengan remaja menjadi bagian dari upaya melindingi remaja dari kegiatan terkait seks yang tidak bermoral. ***

Di Aceh (Ada) Suami Yang Menularkan HIV ke Istrinya



Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Penyakit ini tak mengenal bangsa dan jenis kelamin. Semunya berisiko. Dia dirujuk dari daerah,” kata seorang perawat. Ini pernyataan yang dimuat di dalam berita “Lipsus. Duh, Para Istri Tertular HIV” (Harian “Serambi Indonesia”, Banda Aceh, 17/12-2015).

Penyakit yang dimaksud perawat tadi adalah HIV/AIDS. Perawat ini rupanya memakai moralitas dirinya dalam menjelaskan epidemi HIV/AIDS sebagai fakta medis. Tidak semua orang berisiko tertular HIV/AIDS karena penularan HIV hanya melalui cara-cara yang sangat spesifik, al. melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS, melalui darah yang terkontaminasi HIV/AIDS melalui jarum suntik dan transfusi darah, dan air susu ibu (ASI) yang mengandung HIV.

Nah, orang-orang yang berisiko tertular HIV/AIDS adalah: (a) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, kawin kontrak, dll., (b) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, ABG, ayam kampus, dll.), (c) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, (d) memakai jarum suntik secara bergiliran dan bergantian, dan (e) menyusu kepada perempuan pengidap HIV/AIDS.

Fasilitas Tes HIV

Pernyataan perawat itulah yang menjadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. Masyarakat akhirnya tidak menangkap fakta, tapi menerima mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Disebutkan bahwa sampai November 2015 kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh mencapai 388 dengan 117 kematian. Tingkat kematian yang mencapai 30,2 persen termasuk tinggi sehingga perlu langkah-langkah yang konkret agar kematian Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bisa ditekan.

Benarkah pengetahuan masyarakat akan bahaya AIDS masih minim? Lalu apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Aceh?

Disebutkan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh, dr Ormaia Nja’ Oemar, MKes, Aceh masih termasuk golongan C karena Aceh berada pada peringkat dengan kasus yang terbilang sedikit penderita HIV/AIDS dibanding sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Papua.

Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi karena banyak orang dari daerah yang menjalani tes HIV di Jakarta. Selain itu banyak pula pengidap HIV/AIDS yang ‘pindah’ ke Jakarta karena di daerah tidak ada sanggar dan pendampingan terhadap Odha.

Sedangkan di Papua banyak kasus terdeteksi karena karena banyak LSM yang melakukan penjangkauan sempai ke pelosok sehingga banyak kasus yang terdeteksi.

Dalam epidemi HIV/AIDS tidak ada penggolongan daerah berdasarkan jumlah kasus karena ada beberapa hal yang tersembunyi di balik angka yang kecil yang ada di Aceh, yaitu:

Pertama, apakah di semua kota dan kabupaten di Provinsi Aceh ada fasilitas tes HIV? Jika tidak ada maka ada kemungkinan orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS di kota dan kabupaten di Aceh tidak terdeteksi.

Kedua, apakah ada LSM yang melakukan penjangkauan terhadap kalangan berisiko di kota dan kabupaten di seluruh Aceh? Kalau tidak ada maka jumlah temuan kasus sangat rendah karena sifatnya pasif yaitu rumah sakit hanya menunggu orang sakit berobat dengan gejala-gejala AIDS.

Ketiga, apakah persediaan obat antiretroviral (ARV) ada sampai ke puskesmas? Kalau tidak ada, maka Odha akan memilih berobat ke Medan atau Jakarta.

Keempat, dalam epidemi HIV/AIDS dikenal fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (388) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Disebutkan dalam berita: “Penyebaran HIV-AIDS sungguh mencemaskan, seorang ODHA berpotensi menularkannya kepada 20 orang lain. Bahkan di kota besar, sesorang berpotensi menulari seratus orang lainnya.”

Pernyataan di atas sama sekali tidak benar karena HIV tidak bisa ditularkan melalui udara, air dan pergaulan sosial. Kalau ‘rumus’ itu benar, maka kasus di Aceh sudah mencapai 38.800. Kalau ini yang terjadi tentulah ruma sakit sudah penuh.

Ketika kasus HIV/AIDS pertama ditemukan di Bireuen tahun 2004, itu artinya pengidap HIV/AIDS tsb. tertular antara tahun 1989 dan tahun 1999 karena secara statistik masa AIDS terjadi pada orang yang tertular HIV antara 5-15 tahun sejak tertular HIV (Lihat Gambar 1).


Disebutkan pula oleh dr Ormaia, kasus di Aceh dialami ODHA dari berbagai kalangan dan profesi, tak terkecuali ibu rumah tangga yang justru tak pernah berbuat serong dan tak pernah tahu tentang narkoba.

Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, serong, menyeleweng, melacur, selingkuh, seks oral, seks anal, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu mengidap dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom).


Penanggulangan di Hulu

Disebutkan lagi: “ .... Kemungkinan sang suami punya mobilitas tinggi ke luar daerah. Trennya memang kebanyakan ODHA di Aceh berkaitan dengan orang atau pasangan yang pernah tinggal di luar atau tingkat mobilitasnya tinggi.”

Terkait dengan pernyataan di atas, perlu diperhatikan fakta di bawah ini:

(1) Apakah di wilayah Provinsi Aceh tidak ada praktek pelacuran?

(2) Apakah di wilayah Provinsi Aceh tidak ada penduduk yang melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah?

Jawaban dari dua pertanyaan di atas akan memberikan gambaran apakah HIV/AIDS hanya terkait dengan orang-orang yang pernah atau sering ke luar Aceh.

Di lead berita disebutkan “Benarkah pengetahuan masyarakat akan bahaya AIDS masih minim? Lalu apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah Aceh?”

Celakanya, dalam berita sama sekali tidak ada langkah-langkah yang harus dilakukan Pemerintah Aceh dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Begitu juga dengan judul berita yang disebut ‘lipsus’ (liputan khusus) tapi sama sekali tidak memberikan informasi yang komprehensif sehingga tidak ada penjelasan tentang: (1) Mengapa banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS?, (2) Bagaimana ibu-ibu rumah tangga itu tertular HIV/AIDS, dan (3) Bagaimana cara mengatasi agar tidak ada lagi ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV?

Yang perlu dilakukan Pemerintah Aceh adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual melalui intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Seperti di Gambar 2 bisa dilihat bahwa intervensi tidak bisa dilakukan terhadap laki-laki dewasa, bisa saja sebagai suami, yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung yang tidak dilokalisir, PSK tidak langsung, dan cewek gratifikasi seks.

Intervensi hanya bisa dilakukan terhadap PSK langsung jika dilokalisir. Tapi, hal ini mustahil dilakukan di Aceh. Maka, insiden penularan HIV kepada ibu rumah tangga akan terus terjadi keculai Pemerintah Aceh bisa menjami tidak ada laki-laki dewasa pendudu Aceh yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung, PSK tidak langsung dan cewek gratifikasi seks di wilayah Aceh atau di luar wilayah Aceh.

Maka, satu-satunya yang bisa dilakukan Pemerintah Aceh hanya menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir agar tidak tertular HIV/AIDS dari ibunya, yaitu melalui peraturan atau qanun:

- Mewajibkan suami dan istri menjalani konseling tes HIV ketika si istri hamil.

- Jika hasil konseling menunjukkan perilaku suami berisiko tertular HIV, maka suami wajib tes HIV.

- Jika hasil tes suami positif, maka istri wajib tes HIV.

Jika ibu rumah tangga yang hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka dijalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Dengan langkah ini risiko bayi tertular HIV bisa ditekan sampai nol persen.

Atau bisa juga mencontoh Singapura. Laki-laki beristri yang bekerja di wilayah Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau lebih dari beberapa hari wajib tes HIV ketika tiba kembali di Singapura.

Karena di Aceh disebutkan HIV/AIDS dibawa oleh penduduk Aceh yang pernah ke luar daerah, maka laki-laki dewasa yang sering bepergian ke Medan, Jakarta, Batam, dll. wajib menjalani tes HIV.

Tanpa program di hulu, maka Pemerintah Aceh tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***

15 Desember 2015

Takut Kena AIDS Karena Punya Pasangan Seks di Luar Nikah

Tanya Jawab AIDS No 1/Desember 2015

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar semua pembaca bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke Syaiful W. Harahap di AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: SW Harahap, Markas BaraJP, Jl. Bhinneka Raya No 3, Cawang Baru, Jakarta Timur 13340, (2) Telepon (021) 8566755, (3) e-mail: aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya disuruh teman kasih solusi.  Apakah seorang perempuan yang pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah hanya dengan seorang laki-laki dapat menyebabkan tertular HIV/AIDS?

Via SMS (6/12-2015)

Jawab: Pertama, penularan HIV/AIDS tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, selingkuh, melacur, dll.) karena risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual, yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Kedua, biar pun perempuan teman Saudara tsb. hanya ngeseks dengan satu laki-laki, persoalannya adalah apakah teman Saudara bisa membuktikan bahwa laki-laki itu tidak mengidap HIV/AIDS?

Ketiga, jika tidak punya bukti, maka pertanyaannya kemudian adalah: Apakah teman Saudara itu bisa menjamin bahwa laki-laki yang ngeseks dengan dia tidak pernah ngeseks dengan perempuan atau laki-laki lain sebelum kenal dan selama jadi pasangan seks?

Yang menjadi kunci adalah poin ketiga. Jika laki-laki pasangan seks teman Saudara juga ngeseks dengan perempuan lain,  ini disebut perilaku berisiko yaitu ngeseks dengan pasangan yang berganti-ganti, maka teman Saudara berada pada posisi berisiko tertular HIV/AIDS dari laki-laki pasangan seksnya.

Maka, kesetiaan yang dimaksud bukan hanya pada saat jadi pasangan tapi juga perlu diperhatikan apakah ybs. juga pernah setia dengan pasangan lain sebelum dengan teman Saudara itu.

Jika teman Saudara itu tidak bisa menjamin perilaku laki-laki teman kencannya, yaitu tidak pernah ngeseks dengan perempuan lain atau laki-laki, maka itu artinya perilaku  teman Saudara itu berisiko tertular HIV/AIDS.

Akan lebih baik kalau Saudara tawarkan solusi kepada temanmu yaitu: (a) berhenti melakukan hubungan seksual sebelum ada hasil tes HIV, dan (b) menjalani tes HIV di Klinik VCT di rumah sakit umum di daerah Saudara. Hasil tes HIV akan menjadi pedoman perilaku teman Saudara ke depan. Ini akan diberikan oleh konselor pada konseling setelah tes HIV. ***