Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS
Watch Indonesia
Laporan
Ditjen PP & PL, Kemenkes RI (2015) menyebutkan estimasi (perkiraan) kasus
HIV/AIDS di Indonesia mencapai 668.489,
sedangkan yang sudah terdeteksi sampai Juni 2015 adalah 233.724 yang terdiri
atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS. Itu artinya yang ditemukan baru 35 persen.
Ada 434.765 lagi penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS yang tidak
terdeteksi sehingga mereka berpotensi sebagai mata rantai penyebar HIV di
masyarakat tanpa mereka sadari.
Jika
dikaitkan dengan epidemiologi HIV yang erat kaitannya dengan fenomena gunung
es, maka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi atau yang dilaporkan (233.724)
digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut,
sedangkan kasus yang tidak terdeteksi (434.765) digambarkan sebagai bongkahan
gunung es di bawah permukaan air laut.
Pemicu Insiden
HIV
Kasus
yang tidak terdeteksi (akan) terus bertambah karena infeksi HIV baru terutama
pada laki-laki dewasa melalui perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS terus
terjadi, yaitu: (a) hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan perempuan yang bergati-ganti (seperti perselingkuhan, kawin kontrak dan
kawin cerai), dan (b) hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yakni PSK
langsung dan PSK tidak langsung.
Persoalan
besar terkait dengan kondisi (b) adalah:
Pertama, terkait dengan
PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau tempat
pelacuran dan jalanan mereka ‘praktek’ di sembarang tempat dan sembarang waktu
karena tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa
kewajiban bagi laki-laki untuk memakai kondom setiap hubungan seksual.
Kedua, terkait dengan
PSK tidak langsung yaitu perempuan-perempuan yang melayani laki-laki melakukan
hubungan seksual dengan imbalan uang tidak bisa terdeteksi karena mereka tidak
menunjukkan ciri-ciri khas atau mangkal di tempat pelacuran. Mereka itu al.
cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat plus-plus, ABG, anak
sekolah, ayam kampus, cewek bispak, cewek bisyar, prostitusi artis online,
cewek gratifikasi seks, dll. Karena mereka tidak dilokalisir dan kesepakatan
terjadi melalui perantara atau germo yang memakai SMS, e-mail, dan media sosial
sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa kewajiban bagi laki-laki untuk
memakai kondom setiap hubungan seksual.
Dua
kondisi di ataslah (Lihat: Gambar 1) yang menjadi pemicu insiden infeksi HIV
baru pada laki-laki dewasa yang selanjutnya laki-laki dewasa yang tertular HIV
akan menularkan HIV pula kepada istrinya atau perempuan lain yang menjadi
pasangan seksnya (horizontal). Hal ini terjadi karena laki-laki yang tertular
HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala dan keluhan kesehatan yang khas AIDS.
Istri-istri
atau perempuan-perempuan yang jadi pasangan seks laki-laki pengidap HIV/AIDS
akan menjadi ‘koban’ yaitu tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV belum
berakhir karena istri-istri atau perempuan-perempuan yang tertular HIV kelak akan
menularkan HIV kepada bayi yang mereka kandung (vertikal).
Celakanya, program penanggulangan
HIV/AIDS secara nasional dan regional di provinsi, kabupaten dan kota tidak
dilakukan di hulu, tapi dilakukan di hilir yaitu tes HIV terhadap warga, pasien
dengan indikasi penyakit terkait AIDS, dan ibu hamil.
Langkah
di atas menunjukkan pemerintah membiarkan laki-laki dewasa tertular HIV melalui
hubungan seksual berisiko karena tidak ada program pencegahan yang konkret di
hulu. Selanjutnya pembiaran pun terjadi terhadap perempuan, dalam hal ini
ibu-ibu rumah tangga atau istri, karena tidak ada program nyata pecegahan HIV
dari suami-ke-istri.
Yang
dijalankan pemerintah di tingkat kabupaten dan kota adalah anjuran tes HIV
terhadap ibu hamil. Ini langkah di hilir dan hanya menyelamatkan bayi dari
kemungkinan tertular HIV dari ibu yang mengandungnya. Sedangkan si ibu
dibiarkan tertular HIV dari suami atau pasangannya (Lihat Gambar 2).
Langkah
Sistematis
Dengan kondisi seperti sekarang ini yaitu insiden
infeksi HIV baru terjadi terus pada laki-laki dewasa (hulu), maka langkah
konkret yang bisa dijalankan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui
laki-laki dewasa, adala melokalisir
pelacuran sehingga bisa dilakukan intervensi yang konkret berupa regulasi yang
memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan
PSK .
Langkah
ini memutus penyebaran IMS (infeksi menular seksual, penyakit-penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti kencing nanah/GO, raja
singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS dari laki-laki
dewasa ke PSK dan dari PSK ke laki-laki dewasa (Lihat Gambar 3).
Terkait
dengan epidemi HIV/AIDS yang bisa dilakukan secara ril hanyalah menurunkan
insiden penularan (infeksi) HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual
dengan PSK langsung yang dilokalisir. Adalah hal yang mustahil menghentikan
penyebaran HIV karena banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi
dan mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Langkah di atas, melokalisir pelacuran, mustahil
dilakukan karena sejak reformasi lokasi dan lokalisasi pelacuran dititutup di
banyak daerah. Akibatnya, praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung menjadi terselubuh
dan mereka pun menjadi ‘PSK tidak langsung’. Itu artinya intervensi program
penanggulangan tidak bisa dijalankan.
Maka langkah konkret yang bisa dilakukan paling
tidak memutus mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan
dari laki-laki dewasa ke pasangannya adalah membuat regulasi dalam bentuk UU,
Keppres, Kepmen, Perda, dst. Dengan pasal-pasal yang eksplisit, yaitu:
(1) Ada pasal yang mewajibkan suami atau pasangan dari perempuan
hamil menjalani konseling HIV/AIDS.
(2) Ada pasal yang mewajibkan suami atau pasangan perempuan
hamil menjalani tes HIV jika hasil konseling terhadap suami atau pasangan ibu
hamil mengarah ke perilaku berisiko tertular HIV
Lagi-lagi
langkah ini juga hanya di hilir karena tidak ada program yang konkret untuk
mencegah penularan HIV kepada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan
PSK di hulu.
Dengan
langkah-langkah parsial yang dilakukan di beberapa daerah, al. tes HIV terhadap
ibu hamil, pasangan ibu hamil, calon pengantin, pasien dengan penyakit terkait
AIDS, penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) merupakah
langka di hilir dan tidak bisa menjaring pengidap HIV/AIDS yang ada di
masyarakat.
Maka,
diperlukan langkah-langkah yang strategis dan sistematis untuk menjaring
pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat. Tanpa langkah strategis
dan sistematis, maka epidemi HIV/AIDS di Indonesia tinggal menunggu ‘ledakan
AIDS’. ***