30 Oktober 2015

RINGKASAN KAJIAN, Tantangan Program Harm Reduction NAPZA

Ringkasan Kajian ("Rumah Cemara", Bandung, Jawa Barat): Tantangan Program Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk NAPZA) dalam Trend Penggunaan ATS (Amphetamine-Type Substances)

MAKASSAR, 28 Oktober 2015 - Sejak pemberlakuan UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, laboratorium penghasil maupun peredaran gelap stimulan jenis amfetamin (ATS) di dalam negeri terus diungkap. Pil ekstasi dan metamfetamin kristal (shabu) dilaporkans sebagai ATS yang populer dikonsumsi di Indonesia. Pada tahun 2011, populasi konsumen ATS di Indonesia diperkirakan berjumlah 1,2 juta untuk shabu dan 950 ribu untuk ekstasi. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama diperkirakan terdapat 2,8 juta konsumen ganja dan sekitar 110 ribu konsumen heroin di Indonesia. Ekstasi dan shabu, terutama yang beredar di Indonesia, merupakan napza yang sepenuhnya dihasilkan dari proses sintetik sejumlah bahan dan senyawa kimia. Peralatan laboratoriumnya dapat dikemas dan dipindah-pindah sehingga proses produksi di dalam sel penjarapun menjadi memungkinkan. Hal ini tentu menyulitkan upaya-upaya pembasmiannya sehingga saat ini ketersediaan dua jenis ATS tersebut di masyarakat relatif lebih stabil dibanding napza ilegal lain yang membutuhkan bahan dasar tanaman seperti ganja atau heroin.
Selain khasiat energi dan ketersediaannya yang cukup melimpah, ATS dipilih karena cara konsumsinya yang tidak menakutkan seperti konsumsi heroin yang menggunakan suntikan dan menimbulkan perlukaan. Karenanya muncul anggapan bahwa napza ini tidak berbahaya dan menimbulkan ketergantungan. Sayangnya karena produksi dan peredaran ATS dikuasai oleh sindikat kejahatan, konsumen-konsumennya selalu dihadapkan pada risiko sosial ekonomi terkait napza ilegal seperti biaya belanja ATS yang tinggi, terlibat dalam jaringan bisnis, atau menjadi obyek pemerasan aparat penegak hukum. Selain risiko-risiko tersebut, konsumen ATS juga dihadapkan pada penularan penyakit melalui peralatan konsumsi napza yang digunakan secara bergantian. Konsumsi shabu dengan menggunakan alat hisap secara bergiliran saat ini masih populer dan ditemukan di kedua lokasi kajian. Pemakaian alat hisap pribadi saat mengonsumsi shabu bersama dianggap tidak sopan.
Di tengah kenyataan bahwa upaya-upaya menghentikan konsumsi ATS secara total membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang, praktisi perawatan ketergantungan napza di Batam dan Denpasar belum mempromosikan cara konsumsi ATS yang lebih aman. Perhatian penyedia layanan di dua kota tersebut masih belum beranjak dari layanan-layanan yang dirancang bagi konsumsi napza dengan cara suntik. Layanan-layanan baik medis maupun psikososial yang disediakan belum mampu menarik minat konsumen ATS di kedua lokasi kajian. Penekanan bahwa HR ditujukan untuk penularan HIV dari penyuntikan napza secara bergantian mengesampingkan risiko-risiko lain yang dihadapi konsumen napza yang tidak dikonsumsi dengan cara suntik dimana jumlah konsumennya jauh lebih banyak.
Selain merujuk ke lembaga-lembaga yang lebih kompeten, sebuah ornop di Batam juga bekerja sama dengan puskesmas dalam melakukan penyuluhan untuk menghentikan konsumsi ATS di kalangan lelaki yang berhubungan kelamin dengan sesama jenis (LSL). Upaya ini mencatat tingkat kekambuhan pesertanya secara kasar hingga enam puluh lima persen. Praktisi perawatan ketergantungan napza di Denpasar menyatakan terapi simptomatik pasien yang mengalami gejala putus ATS memiliki tingkat drop out yang tinggi, namun, sebagaimana dengan di Batam, tidak secara spesifik menyatakan tingkat keberhasilan atau kegagalannya.
Kebijakan pelarangan produksi, distribusi, serta konsumsi shabu dan ekstasi telah membatasi layanan-layanan bagi konsumen narkoba tersebut hanya untuk tujuan abstinensia. Namun melalui penerapan kebijakan tersebut, pemerintah justru menyerahkan penguasaan narkoba secara umum kepada sindikat kejahatan yang beroperasi melalui kerangka ekonomi pasar gelap, menjadikan ATS lebih tersedia. Kenyataannya saat ini konsumsi ATS semakin marak. Tidak hanya terbatas di kalangan mapan, anak-anak muda yang berprofesi sebagai pengamen jalanan di Batam saat ini mengonsumsi shabu berdampingan dengan konsumsi dextrometorfan dan uap spidol.
Upaya-upaya penanganan alternatif terhadap situasi yang berkembang, khususnya dalam hal konsumsi dan ketersediaan ATS, perlu dikembangkan. Kelompok sasaran dan tujuan layanan-layanan pengurangan dampak buruk napza (harm reduction – HR) sudah seharusnya diperluas. Dengan demikian konsumen ATS, bahkan napza lainnya, memiliki pilihan yang lebih variatif untuk bisa mengurangi risiko-risiko sosial ekonomi yang dihadapi.
Di kedua kota yang dijadikan lokasi kajian terdapat potensi-potensi dan sumber daya yang memadai untuk dapat mengembangkan HR bagi konsumen ATS (HR-ATS). Pengalaman dalam menerapkan HR untuk mencegah penularan HIV di kalangan konsumen napza suntik dapat dijadikan bahan pengembangan HR-ATS di tingkat kota. Meskipun ada jenis layanan HR-ATS yang masih memerlukan pedoman teknis dan sejumlah prasyarat lainnya dari pemerintah pusat seperti terapi substitusi, namun upaya-upaya lain seperti untuk mempromosikan cara konsumsi napza yang lebih aman dapat segera dilakukan.
Kajian ini berhasil merumuskan dua prasyarat agar HR-ATS dapat dilaksanakan sesuai kondisi-kondisi lokal, yaitu prasyarat kelembagaan dan prasyarat teknis-administratif. Kedua prasyarat tersebut dapat dipenuhi melalui ketiga upaya berikut:

1.    Membangun pemahaman bersama pemangku-pemangku kepentingan di tingkat kota mengenai konsumsi shabu dan ekstasi serta upaya-upaya untuk mengurangi dampak buruknya melalui survei dan pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan secara lokal;

2.    Memaksimalkan jaringan kerja yang pernah dibangun untuk pencegahan HIV di kalangan konsumen napza suntik dengan melibatkan konsumen ATS serta memanfaatkan peluang untuk bergabung dengan jaringan-jaringan yang saat ini sedang membidik dan mengupayakan HR-ATS di tingkat regional dan global;

3.    Memanfaatkan sumber-sumber daya lokal untuk melaksanakan tugas-tugas HR-ATS yang diusulkan untuk tiap pemangku kepentingan.

Dukungan pemerintah pusat dalam bentuk pedoman pelaksanaan teknis dibutuhkan untuk memperluas tujuan dan cakupan HR yang tidak hanya terbatas untuk mencegah penularan HIV di kalangan konsumen napza suntik. Untuk mengatasi ketidakterkendalian pasokan dan mengubah pola perolehan serta konsumsinya, kemungkinan penyediaan substitusi agonis ATS bagi pasien-pasien kambuhan harus mulai dijajaki.  

Catatan: Rumah Cemara melakukan penelitian ini di Denpasar dan Batam pada pertengahan tahun 2015. Penelitinya adalah Patrianto Budi Handoyo, Riki Febrian, Ardhany Suryadarma, Raditya Tisnawinata, dan Efnie Indrianie. Kontributor penelitian adalah Yayasan Embun Pelangi (Batam) dan Yayasan Kesehatan Bali (Bali). 

* Makalah ini bahan pada "Konferensi Pers" di Pernas AIDS V Makassar 25-29 Oktober 2015

Foto: Jaka Iswara (penerima beasiswa media Pernas AIDS V 2015).