Ringkasan Kajian ("Rumah Cemara", Bandung, Jawa Barat): Tantangan Program Harm Reduction (Pengurangan Dampak
Buruk NAPZA) dalam
Trend Penggunaan ATS (Amphetamine-Type Substances)
MAKASSAR, 28 Oktober 2015 - Sejak
pemberlakuan UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, laboratorium
penghasil maupun peredaran gelap stimulan jenis amfetamin (ATS) di dalam negeri
terus diungkap. Pil ekstasi dan metamfetamin kristal (shabu) dilaporkans
sebagai ATS yang populer dikonsumsi di Indonesia. Pada tahun 2011, populasi
konsumen ATS di Indonesia diperkirakan berjumlah 1,2 juta untuk shabu dan 950
ribu untuk ekstasi. Sebagai perbandingan, pada tahun yang sama diperkirakan
terdapat 2,8 juta konsumen ganja dan sekitar 110 ribu konsumen heroin di
Indonesia. Ekstasi dan shabu, terutama yang beredar di Indonesia, merupakan
napza yang sepenuhnya dihasilkan dari proses sintetik sejumlah bahan dan
senyawa kimia. Peralatan laboratoriumnya dapat dikemas dan dipindah-pindah
sehingga proses produksi di dalam sel penjarapun menjadi memungkinkan. Hal ini
tentu menyulitkan upaya-upaya pembasmiannya sehingga saat ini ketersediaan dua
jenis ATS tersebut di masyarakat relatif lebih stabil dibanding napza ilegal
lain yang membutuhkan bahan dasar tanaman seperti ganja atau heroin.
Selain khasiat energi dan ketersediaannya yang cukup
melimpah, ATS dipilih karena cara konsumsinya yang tidak menakutkan seperti
konsumsi heroin yang menggunakan suntikan dan menimbulkan perlukaan. Karenanya
muncul anggapan bahwa napza ini tidak berbahaya dan menimbulkan ketergantungan.
Sayangnya karena produksi dan peredaran ATS dikuasai oleh sindikat kejahatan,
konsumen-konsumennya selalu dihadapkan pada risiko sosial ekonomi terkait napza
ilegal seperti biaya belanja ATS yang tinggi, terlibat dalam jaringan bisnis,
atau menjadi obyek pemerasan aparat penegak hukum. Selain risiko-risiko
tersebut, konsumen ATS juga dihadapkan pada penularan penyakit melalui
peralatan konsumsi napza yang digunakan secara bergantian. Konsumsi shabu
dengan menggunakan alat hisap secara bergiliran saat ini masih populer dan
ditemukan di kedua lokasi kajian. Pemakaian alat hisap pribadi saat mengonsumsi
shabu bersama dianggap tidak sopan.
Di tengah kenyataan bahwa upaya-upaya menghentikan
konsumsi ATS secara total membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang,
praktisi perawatan ketergantungan napza di Batam dan Denpasar belum
mempromosikan cara konsumsi ATS yang lebih aman. Perhatian penyedia layanan di
dua kota tersebut masih belum beranjak dari layanan-layanan yang dirancang bagi
konsumsi napza dengan cara suntik. Layanan-layanan baik medis maupun psikososial
yang disediakan belum mampu menarik minat konsumen ATS di kedua lokasi kajian.
Penekanan bahwa HR ditujukan untuk penularan HIV dari penyuntikan napza secara
bergantian mengesampingkan risiko-risiko lain yang dihadapi konsumen napza yang
tidak dikonsumsi dengan cara suntik dimana jumlah konsumennya jauh lebih
banyak.
Selain merujuk ke lembaga-lembaga yang lebih kompeten,
sebuah ornop di Batam juga bekerja sama dengan puskesmas dalam melakukan
penyuluhan untuk menghentikan konsumsi ATS di kalangan lelaki yang berhubungan
kelamin dengan sesama jenis (LSL). Upaya ini mencatat tingkat kekambuhan
pesertanya secara kasar hingga enam puluh lima persen. Praktisi perawatan
ketergantungan napza di Denpasar menyatakan terapi simptomatik pasien yang
mengalami gejala putus ATS memiliki tingkat drop out yang tinggi, namun,
sebagaimana dengan di Batam, tidak secara spesifik menyatakan tingkat
keberhasilan atau kegagalannya.
Kebijakan pelarangan produksi, distribusi, serta konsumsi
shabu dan ekstasi telah membatasi layanan-layanan bagi konsumen narkoba
tersebut hanya untuk tujuan abstinensia. Namun melalui penerapan kebijakan
tersebut, pemerintah justru menyerahkan penguasaan narkoba secara umum kepada
sindikat kejahatan yang beroperasi melalui kerangka ekonomi pasar gelap,
menjadikan ATS lebih tersedia. Kenyataannya saat ini konsumsi ATS semakin
marak. Tidak hanya terbatas di kalangan mapan, anak-anak muda yang berprofesi
sebagai pengamen jalanan di Batam saat ini mengonsumsi shabu berdampingan
dengan konsumsi dextrometorfan dan uap spidol.
Upaya-upaya penanganan alternatif terhadap situasi yang
berkembang, khususnya dalam hal konsumsi dan ketersediaan ATS, perlu
dikembangkan. Kelompok sasaran dan tujuan layanan-layanan pengurangan dampak
buruk napza (harm reduction – HR) sudah seharusnya diperluas. Dengan
demikian konsumen ATS, bahkan napza lainnya, memiliki pilihan yang lebih
variatif untuk bisa mengurangi risiko-risiko sosial ekonomi yang dihadapi.
Di kedua kota yang dijadikan lokasi kajian terdapat
potensi-potensi dan sumber daya yang memadai untuk dapat mengembangkan HR bagi
konsumen ATS (HR-ATS). Pengalaman dalam menerapkan HR untuk mencegah penularan
HIV di kalangan konsumen napza suntik dapat dijadikan bahan pengembangan HR-ATS
di tingkat kota. Meskipun ada jenis layanan HR-ATS yang masih memerlukan
pedoman teknis dan sejumlah prasyarat lainnya dari pemerintah pusat seperti
terapi substitusi, namun upaya-upaya lain seperti untuk mempromosikan cara
konsumsi napza yang lebih aman dapat segera dilakukan.
Kajian
ini berhasil merumuskan dua prasyarat agar HR-ATS dapat dilaksanakan sesuai
kondisi-kondisi lokal, yaitu prasyarat kelembagaan dan prasyarat
teknis-administratif. Kedua prasyarat tersebut dapat dipenuhi melalui ketiga
upaya berikut:
1. Membangun pemahaman bersama pemangku-pemangku kepentingan
di tingkat kota mengenai konsumsi shabu dan ekstasi serta upaya-upaya untuk
mengurangi dampak buruknya melalui survei dan pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan secara lokal;
2. Memaksimalkan jaringan kerja yang pernah dibangun untuk
pencegahan HIV di kalangan konsumen napza suntik dengan melibatkan konsumen ATS
serta memanfaatkan peluang untuk bergabung dengan jaringan-jaringan yang saat
ini sedang membidik dan mengupayakan HR-ATS di tingkat regional dan global;
3. Memanfaatkan sumber-sumber daya lokal untuk melaksanakan
tugas-tugas HR-ATS yang diusulkan untuk tiap pemangku kepentingan.
Dukungan
pemerintah pusat dalam bentuk pedoman pelaksanaan teknis dibutuhkan untuk
memperluas tujuan dan cakupan HR yang tidak hanya terbatas untuk mencegah
penularan HIV di kalangan konsumen napza suntik. Untuk mengatasi
ketidakterkendalian pasokan dan mengubah pola perolehan serta konsumsinya,
kemungkinan penyediaan substitusi agonis ATS bagi pasien-pasien kambuhan harus
mulai dijajaki.
Catatan: Rumah
Cemara melakukan penelitian ini di Denpasar dan Batam pada pertengahan tahun
2015. Penelitinya adalah Patrianto Budi Handoyo, Riki Febrian, Ardhany
Suryadarma, Raditya Tisnawinata, dan Efnie Indrianie. Kontributor penelitian adalah
Yayasan Embun Pelangi (Batam) dan Yayasan Kesehatan Bali (Bali).
* Makalah ini bahan pada "Konferensi Pers" di Pernas AIDS V Makassar 25-29 Oktober 2015
Foto: Jaka Iswara (penerima beasiswa media Pernas AIDS V 2015).