15 September 2015

Bekerja di Kawasan Industri di Indonesia Rentan Tertular HIV/AIDS, Koq Bisa, Sih?

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Pernyataan Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, ini benar-benar menjungkirbalikkan akal sehat. Coba simak ini: "Para pekerja yang bekerja di kawasan-kawasan industri rentan terhadap penularan HIV dan AIDS." (Pekerja di Kawasan Industri Rentan Tertular HIV/AIDS, republika.co.id, 15/9-2015).

Kalau dikaitkan dengan faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS, yaitu: (a) hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS, (b) menerima transfusi darah yang mengandung HIV, (c) memakai jarum suntik yang berisi darah yang mengadung HIV, dan (c) menyusui ke perempuan yang mengidap HIV/AIDS, maka minimal salah satu dari faktor-faktor risiko ini terjadi di kawasan-kawasan industri di Indonesia.

Sedangkan risiko tinggi tertular HIV bisa terjadi jika: (1) melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondon dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks komersial/PSK langsung dan PSK tidak langsung), (3) memakai jarum suntik secara bergantian, dan (4) menerima transfusi darah yang tidak diskirining HIV.

Jika pekerja yang disebut Pak Menteri tertular HIV ketika bekerja di kawasan-kawasan industri di Indonesia, maka lagi-lagi minimal ada salah satu dari empat kondisi di atas di kawasan industri tsb.

Ketika informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah menyebar luas, sayang Pak Menteri rupanya lebih memilih pendapatnya daripada fakta.

Soalnya, apa iya pekerja-pekerja tsb. tertular pada jam kerja di kawasan-kawasan industri tempat mereka bekerja?

Tentu saja tidak. Maka, apa, dong, yang menyebabkan pekerja rentan tertular HIV/AIDS?

Yang perlu diingat adalah bahwa pekerja-pekerja yang tertular HIV/AIDS tidak tertular pada jam kerja di kawasan industri tempat mereka bekerja.

Lalu, di mana, kapan dan mengapa mereka (pekerja atau buruh) tsb. tertular HIV?

Nah, jawaban dari pertanyaan di ataslah yang menjadi kunci persoalan sehingga tidak muncul pernyataan yang ngawur.

Pekerja atau buruh yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tertular, al. melakukan perilaku berisiko dalam hal seks, yaitu:

-   melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS

-     melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSK yang kasat mata yaitu PSK di tempat-tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat plus, ABG, anak sekolah, ayam kampus, cewek SPF, artis prostitusi online, cewek panggilan, dll.) karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS

Kegiatan di atas tentu saja tidak ada di kawasan industri, tapi ada di sekitar kawasan industri.

Kemudian, mengapa pekerja atau buruh rentan tertular HIV/AIDS?

Tentu saja banyak faktor yang semuanya tergantung pada sikap dan moralitas buruh. Kalau misalnya disebut karena jauh dari keluarga, dalam hal ini istri, bisa saja subjektif karena ternyata tidak semua pekerja atau buruh yang tidak membawa istri otomatif melakukan perilaku berisiko.

Kalau tetap mereka memilih melakakuman hubungan seksual dengan PSK langsung ata PSK tidak langsung, maka lakukanlah dengan aman yaitu selalu memakai kondom dari awal sampai akhir pada saat terjadi hubungan seksual.

Faktor yang paling dominan adalah para pekerja atau buruh itu berada pada usia seksual aktif sehingga mereka membutuhkan penyaluran dorongan hasrat seksual. Hal ini hanya efektif jika dilakukan dengan hubungan seksual karena substitusi apa pun tidak akan menyelesaikan masalah karena dorongan seksual hanya bisa disalurkan melalui hubungan seksual.

Disebutkan pula oleh Dhakiri bahwa upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dapat dilaksanakan dengan cara menyebarluaskan informasi dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tentang HIV/AIDS serta mengembangkan kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di lingkungan kerjanya masing.

Mencegah agar para pekerja atau buruh tidak tertular HIV tidak dilakukan di tempat mereka bekerja di kawasan industri, karena mereka melalukan perilaku berisiko di luar tempat mereka bekerja.

Yang menjadi persoalan besar adalah informasi tentang pencegahan HIV/AIDS selalu dibumbui dengan norma dan moral sehingga fakta empiris tentang cara mencegah penularan HIV pun kabur dan berujung pada mitos (anggapan yang salah). 

Untuk itulah sudah saatnya materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS tidak dibalut dengan norma dan moral, tapi sampaikanlah secara faktual: cara mencegah agar tidak tertular melalui hubungan seksual berisiko, di dalam dan di luar nikah, adalah dengan memakai kondom. Celakanya, hal ini tidak pernah disampaikan secara baik karena selalu dibumbui dengan moral. Maka, kasus HIV/AIDS pada pekerja atau buruh akan terus terjadi. ***

Ilustrasi (Repro: shutterstock.com)

Di Kota Probolinggo, Jatim: Penanggulangan HIV/AIDS dengan Menggencarkan Sosialisasi ke Salon-salon Kecantikan

Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Lho, koq, ke salon kecantikan?

Rupanya, di Kota Probolinggo disebutkan bahwa “Siapa yang pernah mengira bahwa salon potong rambut bisa menjadi tempat berjangkitnya virus mematikan HIV/AIDS? Melalui silet atau pisau cukur yang digunakan terhadap pengidap HIV/AIDS, virus itu bisa pula menjangkiti orang lain karena bekas darah yang mungkin menempel.” Ini ada di lead berita “Awas, Virus HIV/AIDS Menular dari Pisau Cukur di Salon” di kompas.com (15/9-2015

Informasi di lead berita itu pun sudah ngawur bin ngaco. Disebutkan ‘virus mematikan HIV/AIDS’. Pernyataan ini menyesatkan dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

HIV sebagai virus atau AIDS sebagai kondisi tidak menjadi penyebab kematian pada pengidap HIV/AIDS.

Yang menjadi penyebab kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah infeksi oportunistik yaitu penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV, seperti TB, diare, dll.

Disebutkan: Melalui silet atau pisau cukur yang digunakan terhadap pengidap HIV/AIDS, virus itu bisa pula menjangkiti orang lain karena bekas darah yang mungkin menempel.

Yang perlu diingat adalah darah yang ada di pisau cuku atau pisau silet sudah kering sehingga virus (HIV) yang ada di darah, jika yang bercukur pengidap HIV/AIDS, sudah mati. Lagi pula pisau cukur itu tidak akan bisa dipakai kalau ada daerah menempel.

Isu yang menyesatkan ini justru menjadi kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS karena orang-orang yang tertular karena berzina, al. melacur, ganti-ganti pasangan, kawin kontrak, nikah mut’ah, dll., akan menepuk dada dengan mengatakan: Saya tertular HIV/AIDS melalui pisau cukur!

Padahal, risiko terbesar seseorang, khususnya laki-laki, tertular HIV/AIDS adalah melalui hubungans seksual tanpa kondom yang dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, serta dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata, seperti di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, ayam kampus, ABG, ibu-ibu, cewek pijat plus-plus, artis prostitusi online, cewek gratifikasi seks, dll.).

Maka, permintaan Komisi C DPRD Kota Probolinggo, Jawa Timur, kepada Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Probolinggo untuk menggencarkan sosialisasi di salon-salon yang ada merupakan langkah yang naif. Bak menggantang asap. Sia-sia karena risiko terbesar ada para praktek pelacuran.

Oh, Komisi C DPRD Kota Probolinggo dengan membusungkan dada mengatakan: Di Kota Probolinggo tidak ada pelacuran!

Dari segi de jure benar karena sejak reformasi pusat-pusat rehabilitasi dan resosialisasi pelacuran ditutup.

Tapi, apakah Komisi C DPRD Kota Probolinggo bisa memberikan jaminan bahwa di kota ini sama sekali tidak ada praktek pelacuran?

Tentu saja tidak karena secara de facto praktek palcuran terjadi dalam berbagai bentuk di sembarang tempat dan sembarang waktu, seperti di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang dengan cewek panggilan.

"Dinkes mulai sekarang harus turun ke salon-salon. Salon kecantikan atau salon rambut yang menggunakan silet harus hati-hati. Silet yang sudah dipakai jangan dipakai untuk pelanggan yang lain. Darah yang menempel dari silet yang digunakan untuk mencukur penderita HIV/AIDS bisa menular ke yang lain," kata Ketua Komisi C DPRD Kota Probolinggo Agus Rianto dalam dengar pendapat bersama Dinkes Probolinggo, Selasa (15/9/2015). 

Tak hanya itu, Agus menyatakan, Komisi C juga merekomendasikan agar aparat dinkes turun ke sekolah-sekolah dan mendekati pelajar agar menjauhi perilaku yang bisa menimbulkan risiko penularan HIV/AIDS.

Menurut Agus, tugas memberantas penularan HIV/AIDS adalah tugas bersama semua elemen masyarakat. Tak hanya dinkes, tokoh agama dan toko
h masyarakat dilibatkan dalam sosialisasi ini. 

"Terlebih lagi, jumlah penderita HIV/AIDS mengkhawatirkan. Untuk tahun 2014 hingga September, penderita HIV/AIDS sebanyak 17 laki-laki, 7 perempuan, dan 7 orang meninggal dunia," kata dia. 

Kalau saja Pak Ketua itu tahu bahwa angka yang dilaporkan itu hanya sebagian kecil karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es tentulah jauh lebih mengkhawatirkan. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.

Atau lagi-lagi Pak Ketua mengatakan bahwa penduduk Kota Probolinggo, khususnya laki-laki dewasa, tidak ada yang pernah atau sering melacur dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Kota Probolinggo atau di luar Kota Probolinggo.

Syukurlah kalau memang Pak Ketua bisa menjamin bahwa tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Probolinggo yang pernah atau sering melacur dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Kota Probolinggo atau di luar Kota Probolinggo.

Dalam berita ini sama sekali tidak ada informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang rasional. Padahal, HIV/AIDS sebagai fakta medis bisa dicegah dengan cara-cara yang rasional.

Berita ini sama sekali tidak membawa perubahan pada perilaku orang per orang di Kota Probolinggo, tapi menggiring opini masyarakat ke wacana yang menyesatkan yaitu salon kecantikan sebagai sumber penyebaran HIVmelalui pisasu cukur.

Kalau saja Komisi C DPRD Kota Probolinggo dan Dinkes Kota Probolinggo berpikir jernih, toh Pemkot Probolinggo sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 9 Tahun 2005 tanggal 7 April 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, tapi seperti perda-perda lain perda ini pun tidak berguna karena tidak menyasar akar masalah (Lihat: Perda AIDS Probolinggo).

Selama Pemkot Probolinggo tidak menyasar cara-cara penularan yang potensial yaitu hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Kota Probolinggo akan terus terjadi yang kelak bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

Ilustrasi (Repro: theidadvisor.com)

14 September 2015

Dinkes Kota Medan Menanggulangi HIV/AIDS di Hilir


Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

“Kota Medan (Provinsi Sumatera Utara-pen.) terus berupaya meningkatkan langkah dalam pencegahan penularan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).” Ini ada di lead berita “Dinkes Medan Tingkatkan Upaya Pencegahan HIV/AIDS” di MedanBisnis (14/9-2015).

Wah, langkah bagus. Tapi, ketika lanjutan kalimat di atas dibaca maka buyarlah semua karena yang dilakukan Dinkes Kota Medan hanyalah di hilir. Itu artinya Dinkes Kota Medan menunggu penduduk tertular HIV/AIDS baru ditangani. Coba simak ini: “Sejak akhir tahun 2014, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan sudah menambah jumah klinik Voluntary Counseling Test (VCT) hingga 50%. Satu diantaranya klinik VCT di Puskesmas Denai.”

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hilir. Artinya, program yang dijalankan mencegah agar tidak ada lagi penduduk yang tertular HIV, terutama melalui hubungan seksual dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokasi, lokalisasi atau di jalanan). Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan intervensi yaitu program yang menjangkau laki-laki ‘hidung belang’ agar memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung.

Celakanya, PSK langsung sudah tidak dilokalisir dengan regulasi di Kota Medan, dan di semua daerah di Indonesia, sehingga laki-laki ‘hidung belang’ melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung (cewek cafe, cewek diskotek, cewek pijat plus, ABG, cewek artis prostitusi online, ayam kampus, SPG, dll.) sehingga tidak bisa dilakukan intervensi karena praktek PSK tidak langsung tidak terlokalisir.

Maka, insiden penularan HIV baru terhadap laki-laki ‘hidung belang’ (dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, teman ‘kumpul kebo’, suami nikah mut’ah, suami nikah kontrak, dll.) tidak bisa dicegah. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena suami mereka al. ngeseks dengan PSK tidak langsung.

Disebutkan bahwa Kepala Puskesmas Medan Denai, Budi Ikhsan, mengatakan bahwa sejak klinik VCT hadir di Puskesmas tsbl. sudah lebih dari 300 orang yang menjalani skrinning HIV/AIDS. Syukurnya, semua yang diperiksa negatif tertular penyakit menurunkan kekebalan tubuh ini.

Celakanya, wartawan tidak bertanya tentang sejarah perilaku seks 300 orang itu. Kalau semua adalah orang-orang yang perilaku seksnya tidak berisiko tinggi, ya, tentu saja hasilnya nonreakif. Selain itu ada pula masa jendela yaitu tertular di bawah tiga bulan. Bisa saja ada di antara yang 300 orang itu baru tertular HIV sehingga tes tidak bisa mendeteksi antibody HIV di darah mereka.

Di bagian lain disebutkan: "Sejak akhir tahun 2014, kita telah menghadirkan VCT dan PITC (Provider-Initiated Testing and Counselling), yakni paket pemeriksaan HIV bagi masyarakat resiko tinggi. ....” Ini tidak tepat karena PITC merupakan inisiatif dokter untuk meminta seorang pasien dengan penyakit terkait HIV/AIDS untuk menjalani tes darah setelah menganalisis perilaku, khususnya perilaku seks,  pasien.

Ada lagi pernyataan: “Kita juga mengharuskan ibu hamil melakukan skrinning, baik dilakukan lokal di Puskesmas maupun mobile ke posyandu-posyandu.”

Langkah ini tidak arif karena suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS selalu menolak menjalani tes HIV. Akibatnya, suami-suami itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, langkah yang arif adalah jika ada ibu hamil lakukanlah konseling pasangan. Kalau hasil konseling menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka pasangan itu dianjurkan tes HIV.

Persoalan di Kota Medan ini membuktikan bahwa Peraturan Derah (Perda) Penanggulangan HIV/AIDS di banyak provinsi, kabupaten dan kota sama sekali tidak berguna. Sia-sia. Sama halnya dengan Perda AIDS Kota Medan. ***