17 April 2015

60 Tahun KAA: 85 Persen Kasus HIV/AIDS Global Ada di Asia dan Afrika


* Besok (19/4-2015) pembukaan acara Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, tapi kasus HIV/AIDS di Asia dan Afrika diabaikan ....

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Tentu saja tidak ada satu pun peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung di Kota Bandung 60 tahun yang lalu membayangkan kawasan Asia Afrika kelak akan jadi ‘neraka’ karena penyebaran penyakit. Soalnya, kasus (terkait) AIDS pertama dipublikasikan di Amerika Serikat pada tahun 1981, sedangkan HIV sebagai virus yang menyebabkan AIDS baru diakui Badan Kesehatan Sedunia (WHO) pada tahun 1986.

Tapi, setelah 60 tahun konferensi itu sejarah mencacat bahwa kasus HIV/AIDS paling banyak terdeteksi di kawasan Asia Afrika.  

Tanggal 19-24 April 2015 berlangsung peringatan 60 tahun KAA yang diselenggarakan di Jakarta dan Bandung. Celakanya, agenda KAA hanya penuh dengan nuansa politik. Pergolakan, perang saudara, perebutan kekuasaan, pemberontakan, pertikaian paham agama, perkosaan, pembunuhan, dll. justru terjadi di kawasan Asia dan Afrika.

Abaikan AIDS

Dengan jumlah kasus HIV/AIDS di Asia dan Afrikayang mencapai 29.500.000 atau 84.29 persen dari kasus global serta estimasi infeksi baru yang mencapai 1.500.000 atau 71.43 persen dari estimasi global, pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah pembicaraan politik lebih penting daripada membahas upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS?

Dampak epidemi HIV/AIDS pun akan berimbas ke sektor ekonomi, politik dan keamanan, tapi hal ini diabaikan dengan memakai ‘baju moral’ yang mengesankan perilaku di kawasan AA tidak seperti di Eropa Barat dan Amerika. Padahal, tidak semua perilaku berisiko tertular HIV/AIDS ada kaitannya secara langsung dengan moral.

Tampaknya, para pemimpin di kawasan Asia dan Afrika akan tetap memilih pembicaraan politik karena hanya beberapa negara di kawasan ini yang sudah menerima HIV/AIDS sebagai fakta medis. Selebihnya, mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama sehingga negara-negara tsb. tidak menjalankan program pencegahan yang realistis.

Epidemi HIV/AIDS sendiri menggerogoti perekonomian karena banyak hal yang terpapar, misalnya, tenaga kerja di berbagai sektor berkurang karena banyak penduduk usia produktif yang meninggal karena penyakit terkait AIDS. Penghasilan keluarga yang berkurang bahkan bisa tidak ada ketika suami mengidap HIV/AIDS karena dia tidak bisa lagi bekerja secara efektif. Bahkan, pada suatu saat akan berhenti atau diberhentikan.

Kebutuhan uang pada keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang mengidap HIV/AIDS pun bertambah al. untuk biaya pengobatan, bisa tes darah, ongkos ke rumah sakit, beli obat-obatan, dll. Bagi keluarga yang tidak didukung oleh asuransi tentulah kondisi ini akan memberatkan.

Di salah satu negara di Asia, misalnya, ada sebuah wilayah yang terkenal dengan cewek-ceweknya yang cantik-cantik yang banyak menjadi pekerja seks komersial (PSK) di kota. Ketika mereka bekerja sebagai PSK mereka mengirim uang ke kampung. Keluarga di kampung memakai uang untuk membeli tanah dan binatang ternak. Tapi, ketika ada di antara mereka yang mengidap HIV/AIDS dan tidak bisa lagi bekerja sebagai PSK, maka semua yang dibeli habis untuk biaya hidup dan pengobatan.

Pengalaman Thailand menghadapi epidemi HIV/AIDS bisa jadi pelajaran bersama. Di awal tahun 1990-an kalangan ahli mengingatkan bahwa Thailand harus menjalankan program penanggulangan yang komprehensif, tapi negara itu anggap remeh karena meraka merasa sebagai bangsa yang berbudaya dan bergama. Kondisi ini sekarang terjadi di banyak negara, seperti Indonesia yang selama ini juga selalu mengedepankan norma, moral dan agama dalam menanggulangi HIV/AIDS. Maka, tidaklah mengherankan kalau sampai 31 Desember 2014 sudah terdeteksi 225.928 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 160.138 HIV dan 65.790 AIDS dengan 11.801 kematian.

Tapi, apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian di Thailand?

Sampai awal tahun 2000-an dana yang dikeluarkan negara untuk penanggulangan HIV/AIDS secara langsung dan tidak langsung mencapai 8,7 miliar dolar AS. Di tahun 2000 saja diperlukan dana 2,2 miliar dolar AS. Devisa yang diperoleh negara itu dari pariwisata hanya cukup dua pertiga dari dana yang dibutuhkan. Nah, kondisi ini akan terjadi di negara lain. Indonesia, misalnya, dana penanggulangan HIV/AIDS akan menggerogoti APBN dan APBD.

Debat Kondom

Pasien-pasien dengan penyakit terkait AIDS tidak tertampung di tempat tidur rumah sakit. Thailand beruntung karena vihara menampung pasien-pasien AIDS tadi. Pertanyaannya: Apakah gereja dan masjid kelak mau menampung pengidap HIV/AIDS yang tidak tertampung di rumah sakit? 

Dengan kasus yang mendekati 1.000.000 pemerintah Thailand pun menjalankan lima program dengan skala nasional secara simultan. Salah satu adalah program “wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki yang ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran. Program ini menurunkan insiden infeksi HIV baru dengan indikator kasus HIV pada calon taruna angkatan bersenjata.

Isu lain yang menjadi masalah besar adalah harga obat karena ada hak paten obat-obatan terkait dengan HIV/AIDS. Bagi pengidap HIV/AIDS obat antiretroviral (ARV) adalah ‘penyambung nyawa’ karena mereka meminum obat ARV sepanjang hidupnya tanpa ada kemungkinan sembuh.

Begitu pula dengan reagent untuk tes HIV yang juga tidak murah. Di Indonesia, misalnya, tes HIV berkisar Rp 290.000. Kalau saja negara-negara AA menjadikan HIV/AIDS sebagai salah satu tema atau isu yang dibahas tentulah sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup puluhan juta penduduk AA yang terpapar HIV/AIDS. Misalnya, menggalang kerja sama untuk membangun pabrik obat ARV dan reagent untuk tes HIV sehingga tidak lagi tergantung kepada negara produsen obat dan reagent. 

Masalah lain yang tidak kalah peliknya yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam penanggulangan epidemi HIV/AIDS adalah: (a) Stigmatitasi (pemberian cap buruk atau negatif) terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan identitasnya diketahui masyarakat dengan kaca mata norma, moral, agama dan hukum. Padahal, tidak semua orang yang tertular HIV/AIDS terkait dengan norma, moral, agama dan hukum, seperti istri yang tertular dari sumai, anak yang tertular dari ibu di kandungan, orang-orang yang tertular melalui transfusi darah, dll., dan (b) Diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan identitasnya diketahui masyarakat. Padahal, tidak ada risiko penularan HIV/AIDS melalui pergaulan sosial sehari-hari.

Selain itu mobilitas penduduk AA pun mendorong penyebaran HIV/AIDS pula. Banyak negara di kawasan Asia dan Afrika yang tidak memberikan izin untuk hiburan malam dan industri terkait seks. Tapi, kasus HIV/AIDS di negara-negara itu ternyat juga banyak. Hal itu terjadi karena ada laki-laki dari negara-negara itu yang mencari seks ke negara lain, baik di AA maupun di luar AA.

Di beberapa negara kemiskinan mendorong pelacuran dan perdagangan manusia. Selain untuk ‘perbudakan’ perdagangan manusia juga terkait dengan pelacuran. Kondisi ini menjadi salah satu aspek yang menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS. Pola utama penularan HIV/AIDS di kawasan AA adalah melalui hubungan seksual dalam industri seks sehingga diperlukan langkah bersama yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki pembeli seks.

Kasus di atas tentulah layak jadi topik pembicaraan di KAA karena menyangkut nasib perempuan dan anak-anak. Singapura, misalnya, meminta laki-laki beristri menjalani tes HIV sukarela jika kembali dari daerah Riau da Kepulauan Riau. Tentu saja hal ini masuk akal karena di dua daerah itu PSK datang dari berbagai daerah bahkan dari negara lain. Kondisinya kian runyam karena pelacuran di Riau dan Kepulauan Riau tidak diregulasi sehingga tidak ada intervensi yang mengharuskan laki-laki pakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Sebuah laporan menunjukkan sejak awal tahun 1990-an penemuan kasus baru di beberapa wilayah sudah mulai menunjukkan grafik yang mendatar, seperti di Amerika, Oseania, Eropa Barat dan Afrika. Sebaliknya di kawasan Asia Pasifik kasus baru HIV/AIDS justru meroket.

Kalau di Amerika, Eropa Barat dan Oseania kasus baru mulai mendatar karena di negara-negara di kawasan itu sudah dijalankan cara-cara pencegahan HIV/AIDS yang konkret, terutama melalui hubungan seksual, terutama pada laki-laki dewasa yaitu memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko: (1) Hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, dan (2) Hubungan seksual dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan, al. PSK.

Celakanya, di kawasan Asia Pasifik perdebatan soal kondom sudah masuk ke ramah ‘debat kusir’ yang tidak berkesudahan. Kondom dikait-kaitkan dengan moral yaitu dikatakan sebagai legalisasi perzinaan. Padahal, pezina-pezina yang ngeseks dengan PSK tidak akan pernah mau memakai kondom dengan 1001 macam alasan.

Itulah sebabnya banyak kasus HIV/AIDS pada perempuan, khususnya ibu rumah tangga, yang sama sekali tidak melakukan perilaku beisiko tertular HIV/AIDS.

Sedangkan di Afrika penemuan kasus baru mendatar karena penularan lebih banyak terjadi pada bayi. Ini terjadi karena orang-orang dewasa banyak yang mengidap HIV/AIDS sehingga kasus baru pada kalangan dewasa tidak sebanyak di awal-awal epidemi.

Kerja sama dalam sektor penanggulangan HIV/AIDS, memproduksi obat dan reagent serta saling dukung menjadi kerangka kerja sama yang jauh lebih penting bagi negara-negara di Asia dan Afrika daripada hanya sekedar ‘mengaum’ di hingar-bingar globalisasi yang akan tetap dimenangkan oleh negara-negara Barat. ***

14 April 2015

Pelacuran dan "Esek-esek" via Media Sosial Pindah ke Ranjang di Rumah (Kos), AIDS pun Menyebar Tak Terkendali

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Media Sosial Jadi Lahan Baru Bisnis Esek-esek.” Ini judul berita di inet.detik.com (13/4-2015). Memang, di Facebook dan Twitter tinggal klik ‘bispak’ (cewek bisa pakai), ‘bisyar’ (cewek habis pakai bayar), ‘cewek kampus’, ‘ayam kampus’, dll. sudah muncul gambar-gambar cewek dengan berbagai pos dan berbagai gaya mulai dari yang hanya memakai Bra dan CD sampai yang bugil.

Penutupan lokasi dan lokalisasi pelacuran, di era Orba disebut resos yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pekerja seks komersial (PSK) melalui regulasi, di era reformasi meninabobokkan masyarakat karena dikesankan hal itu menghapus atau memupus praktek perzinaan, dalam hal ini pelacuran. Maka, gubernur, bupati dan walikota pun menepuk dada: Di daerah saya tidak ada pelacuran.

Jenis Layanan

Ya, secara de jure itu benar. Tapi, secara de facto praktek pelacuran justru merajelala dalam berbagai bentuk dan dengan modus yang beragam pula.

Lihat saja kasus pembunuhan Deudeuh Alfisahrin, 26 tahun, alias Tata alias Mpie di salah satu rumah kos di Tebet, Jakarta Selatan, membuktikan praktek pelacuran melalui jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, Ponsel, dll. Korban disebut-sebut sebagai ‘cewek bispak’ melalui jaringan media sosial. Sebelumnya juga pelacuran online ramai setelah seorang mahasiswi pergurutan tinggi agama di Bandung, Jawa Barat, terbongkar kedoknya sebagai ‘ayam kampus’.

Mulai Jumat sore sampai hari Minggu losmen dan hotel-hotel melati selalu penuh. “Tidak bisa pesan, Pak. Mau nginap langsung saja datang,” kata seorang karyawan hotel melati di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur. Rupanya, kalau di-booking itu artinya kamar jadi hak selama 24 jam. Padahal, banyak tamu yang hanya “nginap” dua atau tiga jam. Jadi, kalau di-booking mereka rugi karena dalam 24 jam sudah bisa 5-7 pemesan yang ngamar.

Yang tidak masuk akal adalah tidak sedikit tamu yang datang ke hotel melati itu dengan membawa cewek yang memakai pakaian berpenutup kepala. Kalau mereka suami-istri tentulah hal yang naif harus ngamar di hotel melati karena di kamar kos juga tidak masalah kalau sudah ada surat nikah.

Tentu saja kalau seorang laki-laki membawa cewek ke losmen, hotel melati atau hotel berbintang serta apartemen itu bisa jadi indikator bahwa bisa jadi dia pernah atau sering ganti-ganti pasangan. Begitu juga dengan cewek yang mau dibawa ke ngamar bisa jadi juga pernah atau sering ganti-ganti pasangan.

Itu artinya perilaku mereka berisiko tertular dan menularkan IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

Celakanya, di hotel itu sama sekali tidak ada penjangkauan untuk memberikan informasi tentang risiko tertular IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyait yang ditularkan melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dari pengidap IMS ke pasangan seksnya jika laki-laki atau suami tidak memakai kondom, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) atau HIV/AIDS. Bisa juga dua-duanya sekaligus jika pasangan seks mengidap IMS dan HIV/AIDS.

Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena praktek pelacuran terjadi melalui media sosial yaitu cewek ‘dipesan’ melalui jaringan media sosial.

Ada juga yang menawarkan diri dengan berbagai persyaratan,tarif, waktu, kondisi dan layanan yang disediakan: bayar DP (uang muka) ke rekening, ada pula yang cash di tempat tidur sebelum ‘bertempur’. Layanan yang diberikan selain seks vaginal ada juga servis BJ (blow job yaitu seks oral), CIF (cum in face atau crot di wajah), CIM (cum in mouth atau crot di dalam rongga mulut), dan servis lain seperti tertera di status media sosial. Juga dijelaskan langkah-langkah yang harus dilalui ‘pemesan’ agar bisa sampai ke peraduan.

Memang, ada juga yang memberikan syrat harus pakai kondom, tapi tidak ada jaminan karena bisa saja laki-laki menolak memakai kondom atau transaksi dibatalkan. Tentu saja cewek ‘bispak’, ‘bisyar’ atau ‘ayam kampus’ tidak punya pilihan lain selain melayani laki-laki yang tidak memakai kondom.

PSK Tidak Langsung

Itu artinya risiko penyebaran HIV/AIDS terbuka luas. Laporan Dijen PP & PL, Kemenkes RI per tanggal 12 Februari 2015 menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS mencapai 225.928 yang terdiri atas 160.138 HIV dan 65.790 AIDS dengan 11.801 kematian. Kasus ini tersebar dari Aceh sampai Papua. Artinya tidak ada daerah yang bebas HIV/AIDS.

Kondisi penyebaran HIV/AIDS kian runyam karena sama sekali tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada orang-orang yang tertular HIV. Itu artinya banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS sehingga mereka pun tidak menerapkan seks (yang) aman, al. laki-laki memakai kondom, ketika melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.

Persoalan lain yang muncul dari cewek ‘bispak’, ‘bisyar’, ‘ayam kampus’, dll. adalah ketika mereka mengalami kejanggalan di vagina, misalnya, ada cairan yang berbau atau tidak berbau mereka minum jamu atau membeli obat di pedagang obat atau membeli obat antibiotik. Kondisi itu menunjukkan mereka tertular IMS. Celakanya, pada perempuan IMS nyaris tanpa gejala seperti pada laki-laki yang akan terasa sakit ketika buang air kecil. Ini yang menjadi masalah besar karena setiap penyakit IMS berbeda obatnya. Pengobatan oleh dokter dilakukan melalui diagnosis setelah ada hasil laboratorium cairan vagina.

Praktek pelacuran yang melibatkan cewek-cewek melalui media sosial menjadi jembatan penyebaran IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus yaitu dari laki-laki ke cewek-cewek itu dan dari cewek-cewek itu ke laki-laki yang ngeseks dengan mereka. Kalau laki-laki yang menularkan IMS atau HIV/AIDS ke cewek-cewek itu atau yang tertular IMS dan HIV/AIDS dari cewek-cewek itu mempunyai istri, maka ada risiko penularan IMS dan HIV/AIDS ke istri mereka. Pada akhirnya kalau istri mereka tertular IMS dan HIV/AIDS ada pula risiko penularan kepada bayi yang dikandung istri (vertikal).

Ada laporan yang menyebutkan jumlah laki-laki yang menjadi pelanggan PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata seperti di lokasi pelacuran atau yang di jalanan jumlahnya 6,7 juta. Dari jumlah ini 2,2 juta beristri.

Nah, dengan terbukanya media sosial sebagai saluran pelacuran maka jumlah laki-laki yang berisiko kian banyak karena pelacur yang dipesan melalui media sosial ini adalah PSK tidak langsung.

Jumlah PSK tidak langsung tidak bisa dimonitor karena tidak terpusat di satu tempat. Mereka pun bekerja sendiri-sendiri, sebagian ada yang dikendalikan germo, sehingga PSK tidak langsung tidak bisa diintervensi untuk sosialisasi risiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

Itu artinya penyebaran IMS dan HIV/AIDS melalui PSK tidak langsung menjadi penyumbang terbesar dalam epidemi HIV/AIDS yang pada gilirannya akan menjadi pemicu “ledakan AIDS” di Tanah Air. *** 

Ilustrasi (Repro: merdeka.com)