Perihal: Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia
Dengan hormat,
Bapak Presiden Joko ”Jokowi” Widodo Yth., sebagai warga negara saya sangat
khawatir terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Soalnya, sejak kasus
HIV/AIDS pertama ditetapkan pemerintah yaitu April 1987 sampai sekarang tidak
ada program penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif.
Dalam kaitan itulah bersama surat ini saya berharap agar Bapak sebagai
presiden dengan bantuan menteri kesehatan merancang program penanggulangan
HIV/AIDS yang realistis.
Sekarang ada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dengan jaringan KPA
di provinsi, kabupaten dan kota, tapi programnya juga tidak konkret dalam
menanggulangi insiden penularan HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa
melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Bapak Presiden,
Selain itu program yang diusung KPA pun hanyalah yang berpijak pada moral
sehingga penanggulangan hanya sebatas retorika.
Ada baiknya penanggulangan HIV/AIDS dilakukan oleh badan atau lembaga yang
langsung di bawah presiden sehingga program dan pendanaan lebih efektif.
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mendesak karena secara
nasional sejak April 1987 sd. Tanggal 30 September 2014 kasus kumulatif
HIV/AIDS mencapai 206.084 yang
terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian.
Yang jadi persoalan besar adalah jumlah kasus yang
dilaporkan yaitu 206.084 adalah jumlah penduduk yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS. Ini bukan jumlah penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat karena
penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang
dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang menucul ke atas permukaan
air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan
gunung es di bahwa permukaan air laut.
Penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, disebut juga dark number, menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Secara global laporan UNAIDS pada tahun 2013 diperkirakan 35,3 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Dari jumlah ini 2,1 juta HIV/AIDS terdeteksi pada penduduk usia 10-19 tahun. Sejak kasus AIDS pertama terdeteksi diperkirakan 36 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit terkait AIDS. Perkiraan WHO pada tahun 2012 sekitar 2,3 juta penduduk dunia tertular HIV/AIDS.
Penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, disebut juga dark number, menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Secara global laporan UNAIDS pada tahun 2013 diperkirakan 35,3 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Dari jumlah ini 2,1 juta HIV/AIDS terdeteksi pada penduduk usia 10-19 tahun. Sejak kasus AIDS pertama terdeteksi diperkirakan 36 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit terkait AIDS. Perkiraan WHO pada tahun 2012 sekitar 2,3 juta penduduk dunia tertular HIV/AIDS.
Kasus HIV/AIDS dilaporkan dari seluruh wilayah Nusantara mulai dari Aceh
sampai Papua. Bahkan, di 22 provinsi kasus HIV/AIDS ada di atas angka 1.000,
sedangkan di beberapa provinsi lain kasus HIV/AIDS justru sudah mencapai
belasan dan puluhan ribu.
Di kawasan Asia Indonesia merupakan negara ketiga setelah Tiongkok dan
India dengan angka pertambahan kasus HIV baru yang tertinggi. Untuk itulah
Bapak Presiden Joko Widodo diharapkan mengambil langkah-langkah yang konkret
untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS agar tidak sampai terjadi “ledakan
AIDS”.
Jika dilihat dari aspek epidemiologi, maka ada beberapa “pintu masuk” HIV/AIDS yang sangat potensial sebagai
penyebarann HIV/AIDS di Indonesia, yaitu:
(1) Melalui laki-laki dewasa heteroseks yang
tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom
dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks
komersial (PSK) di wilayah Indonesia atau di luar negeri.
Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi
penyebaran HIV/AIDS pada kasus nomor (1) adalah program yang konkret untuk
menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dengan PSK. Langkah konkret adalah menjalankan program ‘wajib kondom
100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Cara ini
sudah terbukti sangat efektif menurunkan insiden penularan HIV baru di Thailand
dengan indikator jumlah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS berkurang
dari tahun ke tahun.
Risiko penularan HIV/AIDS dari PSK ke laki-laki atau sebaliknya terjadi
karena banyak di antara laki-laki pelanggan PSK itu tidak memakai kondom ketika
melakukan hubungan seksual dengan PSK. Data Kementerian Kesehatan RI
menunjukkan hanya 35 persen dari 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK yang memakai
kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (kompas.com,
6/12-2012). Itu artinya ada 4.355.000 laki-laki pelanggan PSK yang berisko
tertular HIV/AIDS. Sebagian besar yaitu 2,2 juta adalah suami. Maka, ada 2,2
juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS yang pada terminal terakhir ada 2,2
juta kehamilan yang berisiko melahirkan bayi denga HIV/AIDS.
Program ini hanya bisa dilakukan dengan efektif jika
pelacuran dilokalisir. Persoalan besar yang akan Bapak hadapi adalah penolakan
dari segelintir orang yang membalut lidahnya dengan moral akan menolak program
ini karena dianggap melegalkan pelacuran.
Pak Jokowi,
Jika praktek pelacuran tidak dilokalisir, maka
upaya-upaya intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan
hubungan seksual dengan PSK tidak akan pernah bisa dilakukan.
(2) Melalui laki-laki dewasa heteroseks yang
tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom
dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, beristri lebih dari
satu di wilayah Indonesia atau di luar negeri.
Dalam kaitan ini tidak ada program konkret yang bisa
dijalankan karena pemerintah tidak mungkin mengawasi perilaku seks semua
laki-laki terkait. Program yang bisa dijalankan di hilir yaitu melakukan tes
HIV terhadap perempuan hamil.
(3) Melalui laki-laki dewasa heteroseks yang
tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan sebagai
cewek gratifikasi, yaitu cewek yang dijadikan “upeti”.
Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui cewek
gratifikasi ini, maka diperlukan UU Anti Gratifiksi Seks yang mengatur
gratifikasi seks sebagai tindakan korupsi dan penyuapan. Pihak yang menyodorkan
cewek, germo atau mucikari, dan yang menerima cewek terkait dengan gratifikasi
termasuk kategori yang dijerat dengan UU Anti Gratifikasi Seks.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS pada
kondisi (1), (2) dan (3) secara
vertikal dari pasangan mereka, dalam hal ini istri, kepada bayi yang dikandung
istri maka diperlukan regulasi, undang-undang, yang mewajibkan perempuan hamil
menjalani tes HIV yang diawali dengan konseling pasangan.
Dalam kaitan tes HIV kepada perempuan hamil perlu
regulasi yang komprehensif yaitu mewajibkan pasangan suami-istri mengikuti konseling
HIV/AIDS ketika istri hamil yang dilanjutkan dengan tes HIV pasangan jika
perilaku seks suami berisiko tertular HIV/AIDS.
Regulasi yang mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV juga sudah tidak
bisa ditunda-tunda karena berdasarkan laporan Kemenkes RI sampai 31 Desember
2013 HIV/AIDS terdeteksi pada 1.009 anak usia 0-4 tahun.
Mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil merupakan langkah konkret untuk
menjalankan program pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang
dikandungnya. Jika seorang perempuan hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka
bayi yang dikandungnya bisa diselamatkan agar tidak tertular HIV.
Agar tidak menjadi perbuatan yang melawan hukum dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), maka perempuan hamil yang
diwajibkan tes HIV adalah yang datang berobat atau memeriksakan kehamilan
dengan di sarana kesehatan pemerintah dan dengan fasilitas pemerintah, seperti
Kartu Jakarta Sehat (KJS), Jamkesda, surat miskin, Askes, Jamsostek dan BPJS
dengan surat miskin. Artinya, ada pilihan bagi perempuan hamil yang tidak
bersedia menjalani tes HIV yaitu periksa kehamilan atau berobat di sarana
kesehatan swasta dan dengan dana pribadi.
Langkah lain untuk memutus mata rantai penyebaran
HIV/AIDS melalui (1), (2) dan (3) adalah membuat regulasi yang mewajibkan tes HIV bagi semua
pasien yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah dengan fasilitas pemerintah,
seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), Jamkesda, surat miskin, Askes, Jamsostek dan
BPJS dengan surat miskin. Artinya, bagi tidak mau tes HIV ada pilihan yaitu berobat
di sarana kesehatan swasta dan dengan dana pribadi.
Kondisi nomor (1), (2) dan (3) sudah pada level darurat karena Laporan Kementerian Kesehatan RI
menyebutkan pada tahun 2012 di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki yang gemar
melakukan hubungan seksual dengan PSK. Dari jumlah ini 2,2 juta di antaranya
adalah laki-laki yang mempunyai istri (kompas.com, 3/12-2012).
Itu artinya ada 2,2 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari
suaminya karena para suami itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual dengan PSK atau dengan cewek gratifikasi seks. Dampaknya, sudah
terdeteksi 6.230 ibu rumah tangga dengan kasus
AIDS. Jumlah ini akan lebih besar jika ada di antara suami-suami yang
mengidap HIV/AIDS mempunyai istri lebih dari satu.
(4) Melalui laki-laki dan perempuan dewasa yang
tertular HIV melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba (narkotika dan
bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan bergantian.
Pak Presiden,
Karena penyebaran HIV/AIDS terjadi melalui jarum suntik
yang mereka pakai bersama-sama, maka program yang sudah berjalan di banyak
negara adalah pertukaran jarum suntik steril. Penyalahguna narkoba diberikan
jarum suntik baru agar tidak menjadi media penyebaran HIV/AIDS.
Selain itu ada pula program yang mereduksi penyebaran
HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba yaitu rumatan metadon. Penyalahguna
narkoba dengan jarum suntik dialihkan memakai narkoba sintetis secara oral
sehingga mereka tidak lagi memakai jarum suntik. Program ini sudah berjalan di
Indonesia tapi terbatas di beberapa kota besar saja. Untuk itulah Pak Jokowi
sebagai presiden diharapkan meluaskan cakupan program rumatan metadon sebagai salah satu upaya
memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahguna
narkoba.
(5) Perempuan dewasa yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di berbagai daerah di Indonesia.
(5) Perempuan dewasa yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di berbagai daerah di Indonesia.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui PSK ke
suami, laki-laki ‘hidung belang’ atau pasangannya di kampung halamannya, maka
diperlukan regulasi berupa kerja sama pemerintah daerah asal PSK dengan
daerah-daerah tempat PSK tsb. beroperasi.
Daerah-daerah tujuan PSK yang “menyediakan” tempat
pelacuran secara rutin melakukan survailans tes HIV terhadap PSK. Jika ada PSK
dari satu daerah yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka konselor dari daerah
asal PSK tsb. mendampingi PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS agar kelak
tidak menyebarkan HIV/AIDS di kampung halamannya.
(6) Melalui transfusi darah. Biar pun Palang Merah
Indonesia (PMI) menjalankan uji saring darah donor, tapi tetap ada risiko
karena skirining terhadap darah tidak akurat jika donor mendonorkan darahnya
pada masa jendela. Artinya, jika ada donor yang tertular HIV/AIDS di bawah tiga
bulan, maka hasil skirining darah di PMI bisa negatif, tapi negatif palsu (HIV
sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi).
Untuk itulah PMI harus melakukan skrining awal berupa
pertanyaan dalam formulir kesediaan mendonorkan darah: Kapan Anda terakhir melakukan
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan?
Jika jawaban yang diberikan di bawah tiga bulan, maka ada
dua pilihan: (a) Menolak ybs. mendonorkan darah, atau (b) Tetap menerima ybs.
mendonorkan darah, tapi darah tidak dipakai.
Soalnya, hasil skrining HIV terhadap darah donor yang
tertular HIV di bawah tiga bulan bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada
di dalam darah tapi tes reaktif) atau negatif palsu (HIV ada di dalam darah
tapi tidak terdeteksi).
Sesuai dengan pemaparan Bapak di Debat Capres II (15/6-2014 tentang upaya menurunkan angka kelahiran), maka penanggulangan HIV/AIDS, terutama di lingkungan keluarga, sekaligus dapat dilakukan dengan program keluarga berencana (KB).
Sesuai dengan pemaparan Bapak di Debat Capres II (15/6-2014 tentang upaya menurunkan angka kelahiran), maka penanggulangan HIV/AIDS, terutama di lingkungan keluarga, sekaligus dapat dilakukan dengan program keluarga berencana (KB).
Caranya adalah mendorong pasangan peserta KB memakai kondom sebagai alat
kontrasepsi sehingga dengan satu langkah dua hal bisa dilakukan yaitu: (1)
Mencegah kehamilan, dan (2) Mencegah penularan HIV/AIDS dari suami ke istri
atau sebaliknya.
Jika penanggulangan HIV/AIDS tidak segera dilakukan, maka dana untuk
membeli obat antiretroviral (ARV) akan menggerogoti APBN (Anggaran Pembangunan
dan Belanja Negara) karena obat ini harus diminum seumur hidup oleh seorang
pengidap HIV/AIDS.
Tahun 2010 saja dengan harga obat ARV Rp 360.000/bulan pemerintah menganggarkan
dana APBN sebesar Rp 167 miliar. Jika kasus terus bertambah, maka dana untuk
pembelian obat ARV pun akan bertambah besar pula.
Dengan langkah-langkah penanggulangan di atas diharapkan penyebaran
HIV/AIDS di Indonesia bisa ditekan agar tidak terjadi “ledakan AIDS” sehingga
dana APBN tidak digerogoti untuk pembelian obat ARV.
Semoga Bapak Jokowi dilindungi oleh Yang Maha Kuasa dan selalu diberikan keteguhan iman untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai presiden.
Semoga Bapak Jokowi dilindungi oleh Yang Maha Kuasa dan selalu diberikan keteguhan iman untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai presiden.
Jakarta, 20 Maret 2015
Salam,
Syaiful W. Harahap
Aktivis AIDS Bara JP