20 Februari 2015

Menunggu Perda AIDS Bengkulu Dengan Pasal-pasal Penanggulangan yang Konkret

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

“DPRD Bengkulu Berinisiatif Buat Perda Penanggulangan HIV/AIDS.” Ini judul berita di sp.beritasatu.com (15/2-2015). Langkah DPRD Bengkulu ini terkesan “maju” karena dikaitkan dengan penanggulangan HIV/AIDS yang menjadi persoalan besar di bidang kesehatan masyarakat.

Tanpa mengurangi rasa hormat langkah DPRD Bengkulu itu justru akan sia-sia karena sampai Februari 2014 sudah ada 81 Perda Penanggulangan AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, serta 9 pertauran gubernur, peraturan bupati dan peraturan walikota tentang penanggulangan HIV/AIDS yang tesebar di seluruh Nusantara.

Tapi, apa yang terjadi?

Perda-perda itu sama sekali tidak bisa diandalkan untuk menanggulangai penyebaran HIV/AIDS karena tidak ada satu pasal pun dalam perda-perda itu yang menukik ke akar persoalan.

Pencegahan dan penanggulangan dalam perda-perda tsb. hanya dalam bentuk normatif dengan pijakan moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa dibuktikan dengan teknologi kedokteran.

Misalnya, dalam Perda Prov Riau No 4/2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Pasal  5 disebutkan: Pencegahan HIV/AIDS dilakukan melalui cara:

a. Meningkatkan Iman dan Taqwa

b. Tidak melakukan hubungan seksual diluar perkawinan yang sah.

c. Setia pada pasangan tetap dan atau tidak melakukan seks bebas.

Tiga langkah pencegahan di atas sama sekali tidak bisa dijalankan karena sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV/AIDS.

Pertama, tentang ayat a: tidak ada alat ukur dan ukuran yang konkret untuk  menetapkan iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV/AIDS.

Kedua, tentang ayat b: penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar perkawinan yang sah).

Ketiga, tentang ayat c: dalam ikatan pernikahan yang sah dengan kesetiaan tetap ada risiko penularan HIV/AIDS jika salah satu dari pasangan tsb mengidap HIV/AIDS.

Perda-perda lain pun tidak berbeda jauh dengan Perda AIDS Riau karena pasal tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS hanya dengan konstruksi norma, moral dan agama sedangkan pencegahan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, harus dilakukan dengan cara-cara yang realistis yaitu: menghindari agar tidak terjadi kontak melalui hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan yang mengidap HIV/AIDS.

Persoalannya kemudian adalah orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali dari fisiknya karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.

Nah, jika DPRD Bengkulu tetap ingin membuat Perda AIDS, maka yang diperlukan adalah pasal-pasal yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi penularan HIV/AIDS.

Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Bengkulu yang mencapai 611 dengan 13 kematian sudah diperlukan langah-langkah yang konkret dan sistmatis untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Paling tidak ada 17 pintu masuk HIV/AIDS yang harus ditutup  dengan dukungan regulasi hukum, dalam hal ini melalui perda, agar penyebaran HIV/AIDS di Bengkulu bisa ditekan karena untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS adalah hal yang mustahil. Soalnya, banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hbuungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Salah satu pintu masuk utama HIV/AIDS ke masyarakat Bengkulu adalah penularan HIV/AIDS baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata, seperti yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan di jalanan) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek pemijat, ABG, ayam kampus, dll.).

Untuk itulah diperlukan intervensi berupa regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Persoalannya adalah yang bisa diintervensi melalui regulasi adalah PSK, yaitu PSK langsung, yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Sayangnya, sejak reformasi semua lokasi atau lokalisasi pelacuran ditutup sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Disebutkan oleh anggota DPRD Bengkulu, Firdaus Jailani: "Anggota DPRD Bengkulu, sudah bersepakat untuk membuat perda tentang penanggulangan HIV/AIDS agar jumlah penderita penyakit mematikan tidak terus bertambah setiap tahun di daerah ini.”

Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS. HIV/AIDS bukan penyakit yang mematikan karena belum ada kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik seperti diare, TB, dll, di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV/AIDS).

Di bagian lain Ketua Yayasan Kipas Bengkulu, Merly Yuanda, mengatakan “ .... , sehingga perda tersebut jika disahkan dan diterapkan benar-benar tetap sasaran menekan angka penderita penyakit mematikan tersebut.”

Bukan menekan angka penderita, tapi menurunkan insiden infeksi atau penularan baru pada laki-laki dewasa. Mereka ini tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung.

Agar perda tsb kelak tepat sasaran, maka yang perlu diperhatikan al. adalah:

(1) Menurunkan insiden infeksi atau penularan HIV/AIDS baru pada laki-laki dewasa

(2) Mencegah penularan HIV/AIDS dari suami ke istri

(3) Mencegah penularan HIV/AIDS dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya

(4) Menjaring atau mendeteksi penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS dengan cara-cara yang etis

(5) Mencegah penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Jika perda itu diharapkan komprehensif, maka 17 pintu masuk HIV/AIDS harus “ditutup”. Itu artinya diperlukan pasal-pasal yang benar-benar menukik ka akar pesoalan yaitu “menutup” 17 pintu masuk HIV/AIDS. ***

17 Februari 2015

AIDS: Ketika Pejabat dan Pengusaha Kepincut “Ayam Kampus” dan Cewek Panggilan


Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia

Mitos adalah anggapan yang salah. Itu pulalah yang mencelakai banyak orang, terutama dari kalangan berduit, terkait dengan risiko tertular HIV/AIDS.

Sejak awal epidemi HIV/AIDS secara global dan nasional penanggulangan HIV/AIDS di negeri ini mengedepankan norma, moral dan agama. Akibatnya, yang muncul hanya mitos.

Misalnya, penularan HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan seskual di luar nikah. Celakanya, di luar nikah dipersempit sebagai hubungan seksual dengan pelacur (pekerja seks komersial/PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran.

Nah, itulah yang merusak pola pikir setengah orang, terutama laki-laki, yang gemar “jajan”. Mereka memilih perempuan di luar lokasi atau lokalsasi pelacuran, seperti cewek panggilan, cewek yang mangkal di hotel, ‘ayam kampus’ (julukan bagi mahasiswi yang melacur), dll.

Dalam benak mereka melakukan hubungan seksual dengan cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ tidak ada risiko tertular HIV/AIDS karena cewek-cewek itu bukan PSK.

Bisa juga disebut pelacuran yang melibatkan cewek panggilan, 'ayam kampus', dll. sebagai pelacuran kelas atas tapi tetap tidak bebas dari risiko tertular HIV/AIDS.

Tapi, mereka lupa karena perilaku seks cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ sama saja dengan PSK yaitu sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Kondisinya kian runyam karena biasanya cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ punya pacar atau pasangan tetap (di kalangan PSK di Jawa Timur disebut ‘kiwir-kiwir’). Pacar mereka itu juga sering melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini membuat pacar mereka itu menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari PSK ke cewek panggilan atau ‘ayam kampus’.

Maka, risiko cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ tertular HIV/AIDS sangat tinggi, karena:

(a) Mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondsi laki-laki tidak memakai kondom, dan

(b) Mereka melakukan hubungan seksual dengan pacar mereka dengan kondisi pacar mereka tidak memakai kondom.

Cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ tidak bisa dijangkau oleh kalangan aktivis HIV/AIDS sehingga mereka tidak mempunyai pandangan yang luas tentang upaya melindungi diri mereka agar tidak tertular HIV/AIDS dari laki-laki yang mengencani mereka.

Mitos tentang cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ yang bukan PSK kian menjadi pegangan bagi laki-laki ‘hidung belang’. Apalagi ada isu bahwa cewek panggilan mempunyai dokter pribadi.

Yang perlu diketahui adalah pemeriksaan kesehatan rutin tidak otomatis bisa mendeteksi HIV/AIDS jika tidak dilakukan tes HIV. Yang bisa dilakukan dokter pribadi cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ hanyalah sebatas memeriksa IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti GO, sifilis, klamdia, jengger ayam, virus hepatitis B, dll.).

Lagi pula pemeriksaan kesehatan atau tes HIV bukan vaksin karena setelah pemeriksaan kesehatan dan tes HIV dengan hasil negatif pun hanya bertahan sampai saat ketika tes HIV dilakukan. Soalnya, setelah tes HIV bisa saja mereka tertular HIV/AIDS ketika mereka melayani laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.

Di Manokwari, Papu Barat, misalnya, ada dikotomi PSK dengan cara membedakan tempat ‘praktek’. PSK asal Pulau Jawa dan daerah lain dipaksa praktek di lokasi pelacuran “Maruni 55” sekitar 2 jam dengan kendaraan bermotor  dari Manokwari. Sedangkan ‘cewek manado’ diizinkan buka praktek di hotel di kota. “Pak, tolong beritakan ini tidak adil. Mosok kami dipaksa di sini (Maruni 55-pen) sedangkan cewek manado boleh di hotel.” Ini permintaan seorang PSK di Maruni 55 dalam satu kunjungan pelatihan wartawan di kota itu (Lihat: ‘Praktek’ Pekerja SeksKomersial (PSK) di Manokwari, Papua Barat, ‘Dikapling’).

Cewek panggilan dan ‘ayam kampus’ memasang tarif yang sangat tinggi untuk ‘short time’ (1 sampai 2 jam). RA, mahasiswi UIN Bandung, misalnya dikabarkan pasang tarif Rp 25 juta per dua jam. Jumlah ini belum termasuk sewa kamar hotel, minuman dan makanan, serta rokok.

Maka, tidak heran kalau yang banyak mem-booking (memesan) RA adalah pejabat. Ini logis karena hanya merekalah yang dengan mudah menghambur-hamburkan uang karena mudah mendapatkanya, al. melalui koruspsi atau tanda tangan.

Kota kecil seperti Kota Kendari di Sulawesi Tengara dan Kota Parepare di Sulawesi Selatan mempunyai armada  taksi. Kotanya kecil, tapi taksi banyak. Ini taksi resmi memakai argometer.

“Ya, untuk atar jemput ceweklah, Pak,” kata seorang sopir taksi di Kota Kendari.

Cewek?

Ya, cewek panggilan. Tetangga cewek panggilan itu kan tidak curiga karena diantar jemput taksi.

Apakah sopir taks tsb. bisa mendapat uang sejumlah setoran yang ditentukan perusahaan?

“Bisa, Pak,” ujar sopir taksi tadi sambil menjelaskan bahwa seorang sopir taksi punya dua atau tiga cewek langganan. Jika dijemput tarifnya sekitar Rp 100.000 Ini belum termasik tips kalau si cewek dapat ‘mangsa’ yang royal. Nah, kalau semua minta dijemput tentulah setoran taksi sudah lunas karena setoran sekitar Rp 300.000 per hari (Lihat: “Selangit”,Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra).

Di Kota Kendari tarif cewek panggilan minimal Rp 500.000 untuk short time dan umumnya dilakukan di sebuah hotel berbintang di dekat pantai. “Yang pesan banyak pejabat, Pak,” kata seorang sopir taksi yang mengaku punya tiga cewek panggilan sebagai langganan tetap. Di hotel berbintang itu memang tidak sembarang orang bisa masuk sehingga sangat tertutup.

Di beberapa daerah belakangan ini kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada kalangan berduit, mereka itu adalah pejabat, aparat, PNS, karyawan dan pengusaha karena hanya mereka yang mampu membayar cewek panggilan atau ‘ayam kampus’.

Sudah saatnya pemerintah memupus mitos ‘risiko tertular HIV/AIDS hanya dengan PSK’ karena cewek panggilan, ‘ayam kampus’, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, dll. dalam prakteknya sama persis dengan PSK yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Tampaknya, pemerintah tetap akan memakai pijakan norma, moral dan agama dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Itu artinya mitos akan tetap dikedepankan dan pada akhirnya menggelembungkan kasus HIV/AIDS sehingga kelak sampai pada ‘ledakan AIDS’. ***

15 Februari 2015

Miris, di Kota Serang, Banten, Tidak Ada Program Penanggulangan HIV/AIDS yang Konkret



Oleh Syaiful W. Harahap AIDS Watch Indonesia

“Berdasarkan data dari Dinkes Kota Serang, jumlah penderita HIV AIDS selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Inikan sangat miris.” Ini pernyataan Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P3KL) Dinkes Kota Serang, Ella Mei Delena dalam berita “47 Penderita HIV/Aids di Serang Meninggal Dunia” (indopos.co.id, 14/2-2015).

Pernyataan Ella ini justru membuat miris karena hal itu menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terkait dengan epidemi HIV/AIDS.

Pertama,  pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga jumlah angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun banyak penderitanya yang meninggal dunia. Maka, tiap ada kasus baru otomatis jumlah kasus yang dilaporkan akan bertambah.

Kedua, yang miris adalah Pemprov Banten tidak mempunyai program penangguilangan HIV/AIDS yang efektif di hulu. Bahkan, dalam Perda AIDS Prov Banten pun sama sekali tidak ada satu pasal pun yang menjadi pijakan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: Perda AIDS Provinsi Banten).

Waria dan PSK

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Serang sampai tahun 2014 dilaporkan 174 terdiri atas  60 HIV dan 114 AIDS dengan 47 kematian.

Yang perlu diingat jumlah ini tidak menggambarkan kasus yang ada di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (174) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut.

Yang jadi persoalan besar bukan kasus yang terdeteksi, tapi kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat yang tidak terdeteksi karena pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selain itu 47 penduduk pengiap HIV/AIDS yang meninggal. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi pada mada AIDS. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Pada rentang waktu ini tidak ada tanda-tanda, gajala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan kesehatan pengidap HIV/AIDS.

Jika pengidap HIV/AIDS yang meninggal seorang suami, maka istrinya berisiko tertular HIV (horizontal) yang selanjut akan menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya (vertikal). Kalau istrinya lebih dari satu, maka perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak yang seterusnya menambah jumlah bayi yang lahir dengan HIV/AIDS pula.

Kalau pengidap HIV/AIDS yang meninggal seorang istri, maka suaminya berisiko tertular HIV (horizontal). Sedangkan dia sendir akan menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya (vertikal). Kalau perempuan tsb. kawin-cerai, maka laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS pun kian banyak. Bisa juga laki-laki ini punya pasangan seks lain sehingga berisiko pula tertular HIV/AIDS.

Yang jadi persoalan besar adalah kalau ada di antara pengidap HIV/AIDS tsb. pekerja seks komersial (PSK) adan waria. Seorang PSK berisiko menularkan HIV/AIDS kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan dia tanpa memakai kondom. Jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS melalui 1 PSK saja adalah 4.500 – 13.500  (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 25 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun). Kalau pengidap HIV/AIDS itu ada lebih dari 1 PSK, maka laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS pun semakin banyak pula.

Studi sebuah Kelompok Dukungan LGBT di Surabaya, Jatim, menunjukkan laki-laki heteroseksual (baca: suami) selalu menjadi ‘perempuan’ ketika melakukan seks anal dengan waria, di kalangan waria disebut ‘ditempong’ sedangkan waria ‘menempong’. Artinya, suami-suami itu dianal oleh waria sehingga risiko tertular HIV/AIDS sangat tinggi. Suami-suam itu pun akhirnya menjadi jembatan penyebaranHIV/AIDS dari kalangan waria ke masyarakat.

Dalam berita tidak ada penjelasan tentang jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yang masuk dalam jumlah 174 tsb.

Kalau ada ibu rumah tangga, maka pertanyaan untuk Dinkes Kota Serang dan KPA Kota Serang adalah: Apakah suami ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjalani tes HIV?

Program di Hilir

Jika jawabannya TIDAK, itu artinya penyebaran HIV/AIDS antar penduduk di Kota Serang sangat tinggi karena suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dikatakan oleh Ella bahwa ratusan penderita HIV/Aids tersebut berdasarkan hasil penyisiran petugas Dinkes ke sejumlah tempat hiburan dan kos-kosan di Kota Serang.

Lagi-lagi yang dilakukan Ella ini adalah di hilir. Artinya, sudah terjadi penyebaran HIV/AIDS baru disisir.

Pertanyaan besar adalah: Mengapa dilakuan pemeriksaan terhadap puluhan orang di empat cafe yang ada di Kota Serang?

Kafe ‘kan hanya tempat minum-minum sambil mendengarkan musik. Kalau karyawan kafe itu disisir untuk menjalani tes HIV itu artinya di kafe itu terjadi hubungan seksual antara cewek kafe dengan laki-laki pengunjung kafe.

Koq bisa, sih?

Kota Serang dan Prov Banten ‘kan mengusung syariat Islam. Lalu, mengapa terjadi perzinaan di kafe?

Kesalahan bukan pada cewek kafe, tapi laki-laki yang datang ke kafe untuk melakukan hubungan seksual berisiko.

Di bagian lain Ella mengatakan: “Dinkes Kota Serang menargetkan pemeriksaan HIV AIDS, dapat dilakukan terhadap 250 jiwa.”

Untuk apa Bu Ella?

Langkah ini di hilir. Anda membiarkan penduduk Kota Serang tertular HIV/AIDS dahulu baru diperiksa HIV/AIDS-nya.

Yang diperlukan adalah langkah yang konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi menurunkan karena mustahil menghentikan, insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK, termasuk cewek kafe.

Diperlukan program dengan intervensi melalui regulasi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan PSK. 

Tentu saja intervensi tidak bisa dilakukan karena di Kota Serang tidak ada lokasi pelacuran. Praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu, seperti di penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, apartemen, kafe, panti pijat plus-plus, dll.

Ella juga mengatakan bahwa pemeriksaan tes HIV AIDS dilakukan terhadap tiga  kelompok, yakni pengguna narkoba, waria, dan wanita tuna susila (WTS).

Waria dan PSK yang mengidap HIV/AIDS tertular dari laki-laki, bisa saja seorang suami, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom.

Nah, kalau pun Ella menemukan waria dan PSK yang mengidap HIV/AIDS, persoalan besar bukan pada waria dan PSK, tapi pada laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada mereka. Bisa saja laki-laki yang menularkan HIV/AIDS itu seorang suami, maka laki-laki itu menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Selain itu masalah besar juga terjadi pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan waria dan PSK yang mengidap HIV/AIDS.

Selama Pemkot Serang tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret dan sistematis di hulu, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru terjadi yang berujung pada penyebaran HIV/AIDS di masyarakat dengan muara “ledakan AIDS”. ***