14 Februari 2015

Risiko Penyebaran HIV/AIDS via “RA”, “Ayam Kampus” di Sebuah Universitas Agama Negeri di Bandung

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Raih Rp 6 juta semalam, 'ayam kampus' UIN RA banyak dibooking pejabat.” Ini judul berita di merdeka.com (15/2-2015).

Dikabarkan RA memasang tarif Rp 2,5 juta untuk dua jam (short time). Kepada dosen yang menyidangkan RA, akibat ulahnya memajang foto-foto “hot” dirinya di Facebook, dia mengaku suda melakoni pekerjaan sebagai, maaf, “ayam kampus” selama tujuh bulan.

Itu artinya setiap malam rata-rata RA meladeni tiga laki-laki. Kalau ada masa jeda karena menstruasi selama sepekan, maka laki-laki yang sudah diladeninya sebanyak 483 (1 malam x 3 laki-laki/malam x 23 hari/bulan x 7 bulan).

Jika dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS, maka perilaku RA itu merupakan perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena RA melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Bisa saja terjadi salah satu dari laki-laki yang dia layani melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS, maka RA berisiko tinggi tertular HIV jika laki-laki tsb. tidak memakai kondom ketika hubungan seksual.

Celakanya, laki-laki yang sudah membayar RA Rp 2,5 juta dan sewa kamar, minuman dan makanan plus rokok tentulah menolak memakai kondom selama hubungan seksual karena mereka merasa rugi.

Koq bisa?

Ya, bisalah. Soalnya, dengan memakai kondom tentulah tidak terjadi gesekan penis dan vagina secara langsung dan tidak pula terjadi ejakulasi di dalam vagina, di kalangan laki-laki hidung belang disebut ‘transfer kenang-kenangan’.

Kondisinya kian runyam karena banyak orang yang termakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yaitu HIV/AIDS hanya menular di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Ini terjadi karena sejak awal epidemi sampai sekarang berbagai kalangan mulai dari aktivis AIDS, LSM, pemuka agama, tokoh masyarakat, pemerintah, dll. selalu mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan pelacuran.

Nah, banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang menganggap ngeseks dengan “ayam kampus”, seperti RA, di luar lokalisasi pelacuran pula tidak ada risiko tertular HIV/AIDS.

Anggapan itu mencelakai banyak orang. Buktinya, sekarang lokasi pelacuran di Indonesia bisa dihitung dengan jari, seperti “sarkem” (Yogyakarta), Sunan Kuning (Semarang), Padanggalak (Denpasar), Tanjung “turki” Elmo (Jayapura), dll., tapi kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga banyak dan terus terdeteksi. Itu artinya suami mereka melacur al. dengan “ayam kampus”, cewek panggilan, cewek kafe, dll. di luar lokasi pelacuran.

Memang, risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom setiap hubungan seksual adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan HIV/AIDS.

Persoalannya adalah sampai sekarang tidak bisa diketahui pada hubungan seksual ke berapa terjadi penularan. Bisa pada hubungan seksual yang pertama, kedua, ketujuh, kedua puluh, kelima puluh, kesembilan puluh sembilan, bahkan yang keseratus. Maka, setiap kali hubungan seksual yang berisiko yaitu (a) yang dilakukan dengan pengidap HIV/AIDS, (b) yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (c) yang dilakukan dengan seseorang yang sering ganti-ganti pasangan seperti RA.

Laporan Depkes RI tahun 2012 menujukkan ada 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK langsung di Indonesia. PKS yang kasat mata seperti di lokasi pelacuran. Sedangkan laki-laki pelanggan PSK tidak langsung, al. seperti RA, jumlahnya bisa jauh lebih besar. Dari 6,7 juta tsb. 2,2 juta adalah laki-laki beristri (kompas.com, 3/12-2012). Itu artinya ada 2,2 juta istri yang berisko tertular HIV/AIDS dari suami. Mereka inilah yang jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakta, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di masyarakat.

Tindakan yang perlu segera dilakukan adalah membujuk RA untuk menjalani tes HIV dengan catatan dia harus menunggu minimal tiga bulan ke depan sejak transaksi seks terakhir. Selain itu salam masa tiga bulan ke depan RA tidak boleh melakukan hubungan seksual agar masa tiga bulan benar-benar dilalui tanpa perilaku berisiko.

Jika status HIV RA positif, maka laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan RA wajib menjalani tes HIV. Ini untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ke istri atau pasangan seks lain, seperti istri simpanan atau istri nikah siri, dll.

Persoalan besar baru muncul jika RA menolak tes HIV atau RA tidak bisa lagi dijumpai untuk konseling. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki yang pernah merasa pernah melakukan hubungan seksual dengan RA dianjurkan tes HIV.

Masalah lain muncul pula jika RA memakai nama khusus dalam pelayanan seksnya. Itu artinya persoalan kian rumit karena sasarannya kemudian adalah semua laki-laki yang pernah ngeseks dengan cewek panggilan atau “ayam kampus” di Bandung dalam kurun waktu tujuh bulan hitung mundur dari Februari 2015 atau sejak Agustus 2014.

Biar pun kasus penyebaran HIV/AIDS sudah banyak, tapi tetap saja banyak laki-laki yang melakukan hubungan seksual bersiko. Memang, laki-laki ada pada posisi tawar yang kuat jika berhadapan dengan istrinya sehingga istri menjadi ;pelengkap penderita’ jika tertular HIV/AIDS. Kondisi kian pelik karena ada pemahaman yang tidak komprehensif yaitu istri hanya bisa masuk sorga jika tidak “melawan” kepada suami. ***

09 Februari 2015

Menyesatkan, DPRD Kab Jember, Kaitkan Keperawanan dan Keperjakaan dengan AIDS

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

"Apa yang terjadi, seks bebas terjadi di kalangan pelajar, kemudian angka penderita HIV/AIDS dari kalangan pelajar dan mahasiswa cukup tinggi, inilah yang membuat kita prihatin." Ini pernyataan Wakil Ketua DPRD Jember, Ayub Junaidi (Soal Tes Keperawanan, DPRD Jember Minta Maaf, kompas.com, 9/2-2015).

Pertama, apa yang dimaksud Ayub dengan ‘seks bebas’?

Kalau pengertian ‘seks bebas’ di kalangan anggota DPRD Kab Jember adalah zina, maka mengaitkan ‘seks bebas’ dengan HIV/AIDS menyesatkan karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks bebas, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta!

Data Telanjang

Kedua, apa yang dimaksud Ayub dengan “seks bebas terjadi di kalangan pelajar”?

Jika yang dimaksud DPRD Kab Jember “seks bebas terjadi di kalangan pelajar” adalah hubungan seksual pada pasangan pelajar yang berpacaran, maka tidak ada risiko penularan HIV/AIDS selama tidak ada di antara pasangan yang pacaran itu melakukan hubungan seksual dengan yang lain.

Salah satu unsur agar terjadi penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah salah satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta.

Jika data tentang kasus HIV/AIDS di Kab Jember diberikan oleh Dinkes Jember dan KPA Jember ke DPRD, maka itu artinya ‘data telanjang’ karena tidak dirinci berapa persen pelajar dan mahasiswa yang tertular melalui hubungan seksual.

Soalnya, selama ini data menunjukkan jumlah kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada pelajar dan mahsiswa dengan faktor risiko (cara tertular) jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) secara bergantian dalam satu kelompok yang memakai narkoba.

Itu terjadi karena pelajar dan mahasiswa penyalahguna narkoba wajib menjalani tes HIV ketika hendak menjalani rehabilitasi.

Nah, pertanyaan untuk DPRD Kab Jember: Apakah jumlah pelajar dan mahasiwa yang menyalahgunakan narkoba lebih besar daripada laki-laki dewasa yang melacur dengan PSK langsung (PSK yang kasat mata di tempat-tempat pelacuran) dan dengan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, ABG, ayam kampus, dll.)?

Secara empiris bisa dilihat di tempat-tempat pelacuran dan tempat yang menyediakan cewek untuk melacur pengunjungnya hampir 90 persen adalah laki-laki dewasa.

Tapi, mengapa Dinkes dan KPA selalu mengatakan: kasus banyak terdeteksi pada usia produktif. Maksudnya pada pelajar dan mahasiswa?

Karena tidak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV/AIDS pada laki-laki ‘hidung belang’ yang pernah atau sering melacur dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung atau dua-duanya.

Pertanyaan untuk Dinkes Jember dan KPA Jember: Apakah suami ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS juga menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya banyak kasus atau angka yang gelap (dark number) yaitu laki-laki dewasa yang sudah tertular HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka ini menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Menurut Ayub, keinginan DPRD Jember tersebut dilatarbelakangi keprihatinan terhadap semakin terbukanya sistem informasi dan komunikasi sehingga pornografi menjadi bagian yang setiap hari secara bebas dapat dinikmati anak-anak. 

Panen AIDS

Waduh, Pak Ayub, apakah orang-orang dewasa tidak memanfaatkan sistem informasi dan komunikasi sehingga pornografi yang menurut Anda terbuka itu?

Jangalah mencari menjadikan anak-anak, pelajar dan mahasiswa jadi tumbal untuk menutupi aib kalangan dewasa.

Silakan ditanya Polres Kab Jember: Berapa kasus pencabulan, perkosaan, pelecehan seksual yang dilakukan anak-anak, pelajar, mahasiswa dan orang dewasa?

Nah, kalau sudah ada data ini bolehlah Anda analisis. Tapi, semua ‘kan hanya berdasarkan asumsi Pak Ayub.

Apakah tidak ada anggota DPRD Kab Jember yang ‘bermain-main’ dengan pornografi?

Di bagian lain Pak Ayub mengakan: "Apa yang terjadi, seks bebas terjadi di kalangan pelajar, kemudian angka penderita HIV/AIDS dari kalangan pelajar dan mahasiswa cukup tinggi, inilah yang membuat kita prihatin.”

Seperti diuraikan di atas, kalau ‘seks bebas’ diartikan zina atau melacur, apakah tidak ada laki-laki dewasa yang melacur?

Karena Pak Ayub mengait-ngaitkan ‘seks bebas’ dengan HIV/AIDS, pertanyaannya adalah: Berapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada remaja putri (sebagai pasangan ‘seks bebas’ pelajar dan mahasiswa) dan ibu-ibu rumah tangga?

Lebih lanjut Pak Ayub mengatkaan: “ .... tingginya angka penderita HIV/ AIDS yang berasal dari kalangan pelajar menjadi pekerjaan rumah bersama.”

Kasus HIV/AIDS pada kalangan pelajar dan mahasiswa sudah berada pada terminal terakhir. Artinya, mereka tidak mempunyai pasangan tetap sehingga tidak menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Bandingkan dengan seorang suami. Jika seorang suami tertular HIV/AIDS, maka dia akan menularkan HIV/AIDS secara horizontal kepada istrinya, jika istrinya lebih dari satu maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian banyak. Kalau istri tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya kelak.

Diberitakan bahwa Komisi D DPRD Jember akan meminta kepada Dinas Pendidikan untuk meningkatkan efektivitas pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah agar anak-anak lebih memahami bahaya seks bebas.

Apakah laki-laki dewasa penduduk Kab Jember sudah melek kesehatan reproduksi?

Apakah ada jaminan tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kab Jember yang berzina, melacur, dll.?

Insiden infeksi HIV baru terus terjadi di Kab Jember karena tidak ada program penanggulangan yang konkret yaitu regulasi yang mewajibkan laki-laki memakai kondom setiap kali ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK).

Celakanya, Pak Ayub akan membusungkan dada dengan mengatakan: “Di Kab Jember tidak ada pelacuran.”

Di satu sisi Pak Ayub benar adanya karena memang tidak ada pelacuran yang dilokalisir dengan peraturan.

Tapi, apakah Pak Ayub bisa menjamin di wilayah Kab Jember tidak ada praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung?

Tentu saja tidak bisa karena praktek pelacuran terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi, terutama pada laki-laki dewasa yakni pelajar, mahasiswa, lajang, duda dan suami melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Maka, Pemkab Jember tinggal menunggu waktu saja untuk “panen AIDS”. ***

08 Februari 2015

Tes HIV Wajib Bagi Yang Pernah Ngeseks dengan Cewek Penghibur Atau PSK di Bali

Ilustrasi hiburan malam di Denpasar, Bali (Repro: nasional.republika.co.id)

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS WatchIndonesia

Big jump in anonymous HIV tests in Singapore”. Ini judul berita di Harian The Nation, Bangkok, Thailand, edisi 16 April 2001. Kalau hanya membaca judul ini tentulah tidak ada kaitanya dengan Indonesia karena berita itu berisi kabar tentang lonjakan permintaan tes HIV sukarela di Singapura. (Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional, Syaiful W. Harahap, Harian ”Sinar Harapan”, Jakarta, 3 Agustus 2001).

Namun, perlu diketahui bahwa yang menjalani tes HIV sukarela di Singapura itu adalah laki-laki dewasa, tertuama yang beristri, yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek penghibur dikenal dengan sebutan PSK tidak langsung (seperti cewek diskotek, karaoke, panti pijat, dll.) atau dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (ada di lokasi pelacuran) di Batam dan tempat-tempat wisata lain di Provinsi Riau dan Provinsi Kepri.

Pemerintah Singapura memang menganjurkan kepada laki-laki dewasa yang pernah melancong dan bekerja di Riau dan Kepri untuk menjalani tes HIV ketika tiba kembali di Singpura.

Lho, mengapa Pemerintah Singapura menjalankan program tsb.?

Alasan Singapura menganjurkan tes HIV itu karena di Riau dan Kepri tidak ada program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang ngeseks dengan cewek penghibur dan PSK, seperti yang dijalankan Pemerintah Thailand.

Itu artinya laki-laki dewasa penduduk Singapura yang ngeseks dengan cewek penghibur atau PSK atau dua-duanya, berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada cewek penghibur dan PSK di Riau dan Kepri.

Sayang, tidak ada berita selanjutnya tentang jumlah atau persentase laki-laki Singapura yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS setelah menjalani tes HIV sepulang dari Riau dan Kepri.

Nah, terkait dengan kebijakan Pemerintah Singapura itu perlu juga pemerintah, baik pusat maupun daerah (provinsi, kabupaten dan kota) untuk menjalankan program tsb. terhadap laki-laki yang pernah melancong ke Bali dengan berbagai alasan, seperti rapat dinas, wisata perusahaan, dll.


Dikabarkan dari Bali bahwa 75 persen PSK idap AIDS (tribunkaltim.co, 4/2-2015). Estimasi jumlah PSK langsung (PSK yang kasat mata yaitu yang mangkal di tempat-tempat pelacuran, barak-barak, dan lokasi pelacuran) di Bali 6.000, maka 75 persen idap AIDS jumlahnya 4.500 PSK. Dari 100 PSK ada 75 yang mengidap HIV/AIDS. Dari 4 PSK 3 di antaranya mengidap HIV/AIDS.

Sedangkan pada PSK tidak langsung (PSK tidak kasat mata karena mereka tidak mangkal, al. cewek panggilan, cewek disko, cewek kafe, cewek bar, cewek pemijar, ABG, ayam kampus, dll.) ada 20 persen yang mengidap HIV/AIDS. Jumlah PSK tidak langsung jauh lebih besar daripada PSK langsung.

Memang tidak semua laki-laki yang melancong ke Bali melakukan hubungan seksual di sana. Maka, anjuran tsb. ditujukan kepada laki-laki dewasa yang pernah ngeseks dengan PSK atau cewek penghibur (PSK tidak lansung) di Bali.

Dinas Kesehatan Prov Bali menyebutkan dari 6.000 PSK langsung di sana (PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ‘praktek’ di tempat-tempat pelacuran) 75 persen mengidap HIV/AIDS. Itu artinya di Bali ada 4.500 PSK yang mengidap HIV/AIDS.

Prevalensi (perbandingan PSK yang idap HIV/AIDS dan PSK yang tidak idap HIV/AIDS) di kalangan PSK langsung di Bali sangat tinggi yaitu 3:1.  Dari 4 orang PSK 3 mengidap HIV/AIDS sehingga probabilias (kemungkinan) hubungan seskual dilakukan dengan PSK pengidap HIV/AIDS sangat besar.

Kondisinya kian runyam karena Pemprov Bali sama sekali tidak mempunyai program penanggulangan yang komprehensif. Bahkan, dalam Peraturan Daerah (Perda) AIDS tingkat provinsi, kabupaten dan kota sama sekali tidak ada satu pun pasal yang menukik ke akar persoalan. Yang ada hanya jargon-jargon moral untuk konsumsi orasi politis (Perda AIDS Provinsi Bali).

Dengan kondisi HIV/AIDS pada PSK langsung sebesar 75 persen dan pada PSK tidak langsung 20 persen adalah masuk akal meniru cara yang dijalankan Pemerintah Singapura. Yaitu anjuran tes HIV bati laki-laki dewasa unutuk menjalani tes HIV sepulang dari Bali.

Langkah di atas sebagai bagian dari penanggulangan yaitu mencegah penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh laki-laki dewasa yang kemungkinan tertular di Bali. Soalnya, kalau mereka tidak terdeteksi, maka mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ini peringatan bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia terkait dengan penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh warganya yang pernah ngeseks di Bali. Soalnya, Bali menjadi tujuan wisata utama bagi orang Indonesia.

Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota boleh-boleh saja lepas tangan, tapi ketika kelak kasus HIV/AIDS meledak itu artinya pemerintah setempat tidak akan mampu menangani pasien-pasien dengan latar belakangan pengidap HIV/AIDS. ***